Schuon, Frithjof

(Basel, Swiss, 1907 – Bloomington, Amerika Serikat, 1998)

Frithjof Schuon adalah seorang ahli perbandingan agama kontemporer dan juga tokoh filsafat perenial (metafisika tradisional keagamaan yang memperlihatkan hakikat kenyataan Ilahi dalam segala sesuatu). Ia menyimpulkan bahwa seluruh tradisi keagamaan dan spiritual mengajarkan hal yang sama. Karena itu ia menawarkan filsafat perenial, yang menyatukan manusia dan agama secara universal.

Pada mulanya Frithjof Schuon menganut ajaran agama Katolik, lalu hidup sebagai seorang gnostik (ajaran yang skeptis terhadap teologi resmi gereja). Setelah melewati pengembaraan intelektual yang cukup lama, akhirnya pada awal 60-an Frithjof Schuon menentukan pilihannya untuk menjadi seorang muslim dan menyandang nama Muhammad Isa Nuruddin.

Schuon berasal dari keturunan Jerman. Ayahnya seorang musisi dan keluarganya menggeluti bidang seni, termasuk sastra Timur dan Eropa. Ia menghabiskan masa kecilnya di kota kelahirannya, Basel, dan bersekolah di sana sampai ayahnya meninggal. Setelah itu ia dibawa ibunya ke Mulhouse, Perancis, dan menjadi warga negara Perancis.

Ia melanjutkan pendidikannya di sana. Dalam usia relatif muda Schuon telah menguasai dengan sempurna dua bahasa penting: Jerman dan Perancis. Pada usia 16 tahun Schuon meninggalkan sekolah dan berniat menjadi desainer tekstil, cita-citanya sejak masa kanak-kanak.

Sedari kecil pula ia telah tertarik dengan dunia Timur. Ia menggandrungi Bhagavad Gita (kitab spiritual Hindu) sebagaimana ia menyenangi Kisah 1001 Malam (kumpulan kisah populer dalam sastra Arab Islam). Ia juga mempunyai kecenderungan alamiah terhadap metafisika dan telah membaca filsafat Plato (filsuf Yunani; 427–347 SM) serta karya Rene Guenon (filsuf metafisika Perancis) ketika ia masih muda.

Setelah menyelesaikan dinas militer Perancis selama 1,5 tahun, Schuon mengunjungi Paris. Di kota ini Schuon tidak sekadar meneruskan profesi sebagai desainer, melainkan juga mulai belajar bahasa Arab di masjid Paris dan mengenal lebih mendalam kesenian tradisional, khususnya yang berasal dari Asia.

Periode ini menandai semakin kuatnya ketajaman intelektual Schuon yang dipadukan dengan pergaulannya yang semakin intens dengan dunia tradisional, terutama setelah ia berkunjung ke Aljazair pada tahun 1932.

Kunjungannya ke Aljazair merupakan persentuhan aktual pertama Schuon dengan peradaban tradisional dan dunia Islam. Di sini ia mendapatkan pengetahuan tentang tasawuf dari tangan pertama. Pada kunjungan kedua ke Afrika Utara pada 1935, ia tidak hanya mengunjungi Aljazair tetapi juga Maroko.

Kemudian pada 1938 ia bertolak ke Cairo, Mesir, dan bertemu dengan Rene Guenon setelah bertahun-tahun hanya saling berkirim surat. Pada 1939, sebelum menuju India, Schuon kembali mengunjungi Mesir. Tidak berapa lama di India, pecah Perang Dunia II. Keadaan ini memaksa Schuon pulang ke Perancis dan kembali memasuki dinas militer. Beberapa bulan kemudian ia tertawan dan dipenjarakan tentara Jerman.

Ketika mengetahui bahwa Schuon berasal dari keturunan Jerman, mereka berhasrat merekrutnya menjadi tentara Jerman. Schuon menolak dan memilih melarikan diri ke Swiss, yang kelak memberinya status kewarganegaraan. Di negara ini ia tinggal selama 40 tahun.

Pada 1949 Schuon menikah dengan seorang wanita keturunan Jerman-Swiss yang juga berpendidikan Perancis. Wanita ini, selain berbakat melukis, juga memiliki minat yang tinggi terhadap agama dan metafisika. Di Swiss pulalah sebagian karya Schuon lahir dan menyebabkannya banyak dikunjungi para sarjana dan pemikir agama terkenal dari Timur dan Barat.

Sewaktu-waktu Schuon juga mengunjungi negara lain, seperti Maroko dan Turki. Pada 1959 dan 1963 Schuon melakukan perjalanan ke Amerika Serikat, berkunjung ke suku Indian, dan bersama istrinya diterima sebagai anggota keluarga suku Sioux dan Crow di South Dakota dan Montana. Kunjungannya ke berbagai belahan bumi selalu diabadikannya dalam bentuk buku atau tulisan.

Sebagian besar karya Schuon ditulis dalam bahasa Perancis dan sebagian lagi dalam bahasa Jerman. Karya tersebut sudah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa, terutama bahasa Inggris. Subjek yang ditulis dan digelutinya adalah bidang keagamaan, mulai dari agama Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, dan Islam, sampai tradisi keagamaan Indian serta agama orang Jepang, Shinto.

Schuon juga memiliki pola dan cara khas dalam menjelaskan subjek tersebut. Berbeda dari banyak sarjana Barat, yang menganut pola pikir ilmiah dengan menekankan aspek empiris (eksoteris) agama sehingga makna doktrin atau simbol agama tersebut sering kali “kurang berbicara”, Schuon justru memulainya dari makna metafisis (esoteris) suatu agama dan kemudian memperinci kekhasannya dibandingkan dengan agama lain (yang menjadi aspek eksoterisnya).

Karena itu, Schuon mengklaim bahwa tulisannya tentang agama tidaklah bersifat eksklusif. Sayid Husein Nasr, pemikir Islam kontemporer yang menganut pemikirannya, menyatakan bahwa karya Schuon memiliki ciri esensial, universal, dan komprehensif. Bahasa yang digunakan dalam tulisannya pun banyak bersifat simbolis dan dialektis, tetapi penuh dengan kedalaman makna.

Karena itu, tulisannya sulit dipahami orang awam dan para pemula. Untuk memahami pesan yang dilontarkannya, seseorang memerlukan kesiapan intelektual maupun emosional dan membuang praduga.

Gaung dari tulisannya mengundang banyak komentar dari para ahli. Thomas Stearns Eliot (peraih Nobel sastra 1948 dari Inggris; 1888–1965) menulis mengenai buku Schuon, The Transcendent Unity of Religions (Mencari Titik Temu Agama), “Saya tidak menemukan karya yang lebih mengesankan dalam studi perbandingan mengenai agama Timur dan Barat.”

Schuon mampu menginterpretasikan ajaran (tradisi) Timur terhadap dunia masa kini. Huston Smith, seorang ahli agama dari Amerika Serikat, memberi komentar tentang Schuon, “Dia berpikiran cemerlang, mampu memadukan agama dengan intelektualitas, seimbang dalam pendalaman serta penghayatan, dan menjadi teladan bagi zaman kita. Saya tahu tidak seorang pun dapat mengungguli kepiawaiannya.”

Khusus mengenai Islam, sampai 1994 Schuon telah menghasilkan sekurang-kurangnya tiga karya penting dan satu karya yang dipandang sebagai paradigma dalam dialog antaragama.

(1) Understanding Islam (edisi Indonesia: Memahami Islam, diterbitkan Penerbit Pustaka, Bandung). Buku ini adalah karya terpenting yang pernah ditulis oleh seorang Barat tentang Islam dan diterima secara luas oleh kaum muslimin sendiri. Buku ini berbicara tentang makna Islam, Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW, dan tentang “jalan” yang sebagian besar menjelaskan tradisi Islam, termasuk tasawuf.

(2) Dimensions of Islam (Dimensi Islam). Buku kedua ini menekankan segi metafisis dan esoteris Islam, yang meliputi bidang metafisika, kosmologi, dan tafsir Al-Qur’an serta hadis.

(3) Islam and the Perennial Philosophy (edisi Indonesia: Islam dan Filsafat Perenial, Penerbit Mizan, Bandung). Karya ini berkenaan dengan masalah keislaman dalam diskursus (penalaran) metafisis, teologis, dan eskatologis.

Tema keislaman yang dibahas di dalam buku ini antara lain perbedaan Suni-Syiah, sunah (amalan tradisional) Rasulullah SAW dan Al-Qur’an suci yang menjadi faktor penentu bagi gaya rohani dan mentalitas kaum muslimin, serta masalah rumit mengenai teologi Asy‘ariyah.

(4) The Transcendent Unity of Religions (edisi Indonesia: Mencari Titik Temu Agama-Agama, diterbitkan Yayasan Obor, Jakarta). Pada prinsipnya buku ini mengemukakan tesis Schuon mengenai perbedaan antara hakikat dan perwujudan, yakni unsur esoteris lawan eksoteris suatu agama.

Garis pemisah antara yang esoteris dan yang eksoteris tersebut tidak dibagi secara vertikal atas perwujudan historis agama, seperti agama Hindu dari agama Buddha, Kristen dari Yahudi, Islam dari Kristen, dan seterusnya. Sebaliknya, garis pemisah tadi bersifat horizontal dan hanya ditarik satu kali untuk membelah berbagai agama yang ada di kurun sejarah.

Di atas garis itu terletak paham esoterisme, sedangkan di bawahnya paham eksoterisme. Inti pokok pemikiran Schuon tentang agama (atau agama-agama) adalah kesatuan moral, teologis, dan metafisis. Karena agama bersifat adikodrati, tidak seorang pun mampu menjelaskannya dalam nada yang sama.

Menurut Schuon, ada tiga cara pandang untuk mendekati agama: pendekatan filosofis, teologis, dan metafisis. Banyak orang menyamakan pendekatan filosofis dengan metafisis, atau menganggap metafisika hanya sebagai salah satu cabang filsafat. Menurutnya, pendapat ini keliru.

Filsafat didasarkan pada akal budi (yang merupakan kemampuan dasar setiap pribadi manusia), sedangkan metafisika semata-mata berlandaskan intelek. Menurutnya, “Dalam jiwa ada sesuatu yang ‘tidak diciptakan’ dan ‘tidak dapat diciptakan’, yakni intelek.”

Pengetahuan intelektual murni berada di luar jangkauan pribadi manusia karena pada hakikatnya bersifat adi-individual, universal, atau ilahi, dan didasarkan pada inteligensi murni yang langsung dan tidak memerlukan pembahasan.

Pengetahuan tersebut bukan saja jauh melampaui penalaran, bahkan jauh melampaui iman kepercayaan dalam arti biasa. Dengan kata lain, pengetahuan intelektual khususnya juga melampaui sudut pandang teologis, yang jauh lebih tinggi dari sudut pandang filosofis.

Yang membedakan pandangan metafisis dari pandangan filosofis adalah bahwa pandangan metafisis bersifat simbolis dan deskriptif, dalam arti menggunakan cara rasional sebagai simbol untuk menjelaskan atau menerjemahkan pengetahuan yang mempunyai taraf kepastian yang lebih besar daripada pengetahuan indrawi.

Adapun filsafat bukan tanpa alasan disebut ancilla theologiae (hamba teologi) tidak lebih dari apa yang diutarakannya. Bahwa filsafat menggunakan akal budi untuk memecahkan suatu keraguan justru membuktikan bahwa filsafat bertitik tolak dari keraguan yang sedang dipecahkannya.

Suatu rumusan metafisis pada hakikatnya selalu bertitik tolak dari sesuatu yang sudah jelas dan pasti secara intelektual. Sesuatu yang sudah jelas dan pasti itu disampaikan secara simbolis atau dialektis kepada mereka yang mampu menerima atau menangkapnya, dengan maksud untuk menghidupkan pengetahuan yang terpendam (tidak disadari) dan bahkan tersimpan abadi dalam dirinya.

Sebagai contoh, ketiga cara pandang tersebut dapat kita terapkan pada konsep tentang “Tuhan”. Filsafat, sejauh tidak menolak sama sekali adanya Tuhan, berusaha membuktikan adanya Tuhan dengan berbagai macam argumen.

Dengan kata lain, sudut pandang filosofis berusaha membuktikan apakah Tuhan itu “ada” atau “tidak ada”, seolah-olah akal budi yang sebenarnya hanya suatu perantara dan bukan sumber pengetahuan adikodrati dapat memberi pembuktian.

Sebaliknya, teologi tidak mau merepotkan diri untuk membuktikan adanya Tuhan bahkan bersedia mengakui bahwa hal itu tidak mungkin dibuktikan melainkan mendasarkan diri pada keyakinan.

Harus ditambahkan di sini bahwa nilai “iman” tidak dapat diturunkan menjadi sekadar masalah keyakinan belaka, karena dalam tradisi Kristen dan Islam ada “iman yang mampu memindahkan gunung”, dan sudah jelas bahwa keyakinan religius yang biasa tidak mempunyai kemampuan seperti itu.

Akhirnya, metafisika tidak mempersoalkan lagi masalah “pembuktian” atau “keyakinan”, melainkan langsung mencari bukti intelektual yang mengandung kepastian mutlak. Namun, dalam situasi kehidupan umat manusia sekarang, bukti semacam itu hanya dapat dipahami sekelumit elite spiritual. Agama mengandung dan mewariskan pengetahuan intelektual ini di balik tabir berbagai simbol dogmatis dan ibadahnya.

Pada 1980, Schuon bersama dengan istrinya pindah ke Amerika serikat. Ia tinggal di Amerika Serikat hingga akhir hayatnya 1998.

DAFTAR PUSTAKA
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1993.
Nasr, Hossein. ed. The Essential Writings of Frithjof Schuon. Massachusetts: Element, 1991.
Schuon, Frithjof. Islam and the Perennial Philosophy, atau Islam dan Filsafat Perenial, terj. Bandung: Mizan, 1993.
Wach, Joachim. Ilmu Perbandingan Agama, terj. Jakarta: Rajawali, 1984.
Ahmad Asmuni