Saqifah

(Ar.: as-saqifah)

Saqifah adalah balai pertemuan yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan masyarakat. Dalam sejarah Islam, khususnya dalam sejarah kekhalifahan, terkenal Saqifah Bani Sa’idah. Setelah Nabi SAW wafat, balai ini menjadi penting karena di tempat inilah secara resmi ditentukan khalifah pertama sebagai pemimpin agama dan masyarakat.

Pada waktu itu umat Islam seakan-akan tidak mempunyai pemimpin lagi. Umat, yang sudah biasa hidup aman dan teratur di bawah seorang pemimpin, tiba-tiba dikagetkan oleh wafatnya Rasulullah SAW.

Menurut Syibli Nu’mani (penulis buku sejarah Islam), umat Islam pada waktu itu telah terbagi dalam tiga kelompok: kaum Ansar, Muhajirin, dan Bani Hasyim. Kaum Ansar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah dan Bani Hasyim di rumah Fatimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW.

Adapun kaum Muhajirin belum menampakkan diri, karena kedua tokohnya, Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khattab, sedang menghadapi jenazah Nabi Muhammad SAW yang belum dimakamkan.

Pertemuan kaum Ansar di Saqifah Bani Sa’idah adalah untuk melakukan perdebatan tentang siapa yang akan diangkat menjadi pengganti Nabi SAW. Sebelum Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khattab datang bersama kaum Muhajirin lainnya, suara sudah hampir sepakat untuk mengangkat Sa‘ad bin Ubadah bin Dulaim sebagai pengganti Nabi SAW.

Pertemuan tersebut dilaporkan oleh seorang sahabat kepada Umar. Ia diminta hadir ke tempat tersebut karena telah terjadi perdebatan yang dapat membawa perpecahan dalam kesatuan umat jika tidak ada yang menyelesaikannya. Umar menyampaikan masalah ini kepada Abu Bakar.

Abu Bakar menolak pergi ke Saqifah Bani Sa’idah, dan baru mau pergi setelah diberi penjelasan oleh Umar. Di tengah jalan mereka bertemu dengan Abu Ubaidah bin Jarrah dan mengajaknya ikut ke Saqifah Bani Sa’idah.

Setibanya ketiga tokoh Muhajirin tersebut di Saqifah Bani Sa’idah, ternyata sudah ada pula orang Muhajirin lain di sana. Bahkan telah terjadi perdebatan sengit antara kaum Ansar dan Muhajirin tentang siapa yang akan menjadi pengganti­ Nabi SAW sebagai pemimpin umat.

Abu Bakar mencoba menenangkan suasana dengan mengingatkan hadirin, khususnya kaum Ansar, bahwa Nabi SAW pernah bersabda bahwa kepemimpinan umat itu seyogianya berada di tangan suku Quraisy, karena di bawah pimpinan merekalah kesatuan umat Islam akan terjamin.

Kemudian ia mengusulkan dua orang calon untuk dipilih sebagai pengganti Nabi SAW, yaitu Umar bin Khattab dan Ubaidah bin Jarrah. Ia juga menunjukkan masalah yang akan timbul jika kaum Ansar yang memerintah, yaitu masalah suku mana yang akan diambil. Hal ini timbul karena sejarah Ansar sejak sebelum Islam telah menunjukkan bahwa kedua sukunya, Khazraj dan Aus, tidak pernah berdamai.

Dengan penjelasan tersebut kaum Ansar menjadi tenang dan dapat memahami maksud Abu Bakar. Kesempatan ini tidak disiasiakan Umar. Ia langsung mendekati Abu Bakar untuk membaiatnya sebagai khalifah, seraya menjelaskan kepada hadirin bahwa Abu Bakar mempunyai tempat khusus di sisi Nabi SAW, disayangi, dan dijadikan imam salat tatkala beliau sakit.

Tindakan Umar ini diikuti Abu Ubaidah bin Jarrah dari Muhajirin, Basyir bin Sa‘ad dari suku Khazraj, dan Asid bin Khudair dari suku Aus. Setelah itu para hadirin membaiat Abu Bakar. Baiat terbatas yang dihadiri unsur Muhajirin dan Ansar ini dalam sejarah Islam dikenal dengan nama Baiat Saqifah.

Pembaiatan Abu Bakar ini dihadiri hanya oleh sebagian kecil sahabat senior, karena pertemuan tersebut tidak direncanakan. Menurut Syibli Nu’mani, pada waktu itu Bani Hasyim berkumpul di rumah Fatimah dalam rangka membicarakan bagaimana sebaiknya pemakaman Nabi Muhammad SAW dan bagaimana pula dengan penggantinya.

Oleh sebab itu tidak ada seorang pun dari Bani Hasyim yang membaiat Abu Bakar waktu itu. Adapun sahabat senior lainnya secara sendiri-sendiri kemudian memberikan baiatnya kepada Abu Bakar. Sementara Ali bin Abi Thalib (dan beberapa yang lainnya) baru memberikan baiatnya setelah Fatimah, istri Ali bin Abi Thalib dan putri Nabi SAW, memberikan baiatnya.

Kejadian Saqifah kadang-kadang disalahtafsirkan dalam sejarah Islam, terutama oleh para orientalis, dan dianggap sebagai cikal bakal perpecahan umat Islam.

DAFTAR PUSTAKA
al-Buti, Muhammad Sa’id Ramadan. Fiqhus-Sirah. Beirut: Darul Fikr, t.t.
ad-Duraini, Fath. Khasa’is at-Tasyri‘ al-Islami fi as-Siyasah wa al-hukm. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1982.
Haekal, Muhammad Husain. hayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
al-Mawardi. al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1973.
Nu’mani, Syibli. al‑Farouq, Life of Omar The Great, Second Caliph of Islam. Lahore: Muhammad Ashraf, 1976.
al-Qasimi, Zafir. Nizam al-hukm fi asy-Syari‘ah wa at-Tarikh al-Islami. Beirut: Dar an-Nafa’is, 1980.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1990.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar. Tarikh al-Khulafa’. Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
Nasrun Haroen