Samanhudi adalah pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo. Pada zaman pergerakan hingga kemerdekaan, SDI berubah menjadi partai besar, yaitu Partai Sarekat Islam Indonesia. Ayahnya bernama H Muhammad Zen, pengusaha batik di Lawiyan, Solo. Nama kecilnya adalah Supandi Wiryowikoro. Ketika ia berumur 2 tahun, keluarganya pindah dari Karanganyar ke Lawiyan. Namanya menjadi H Samanhudi setelah ia beribadah haji pada 1904.
Pendidikan pertama Samanhudi adalah mengaji Al-Qur’an dan kemudian dilanjutkan dengan mempelajari pengetahuan agama dari Kiai Jojerno di Surabaya. Ia masuk Sekolah Rakyat selama 6 tahun di Solo ketika ia sudah berumur 13 tahun, kemudian melanjut ke HIS di Madiun tetapi tidak sampai tamat.
Ia terjun dalam dunia yang digeluti ayahnya dengan membantu ayahnya dalam berdagang batik sampai ia dapat berdiri sendiri pada usia 19 tahun. Pada usia itu ia berkeluarga. Pada 1888 ia membuka perusahaan batik sendiri. Usahanya dapat dikembangkannya dengan baik dan mengalami kemajuan.
Pada awal 1900-an, cabang perusahaannya sudah tersebar di berbagai kota, seperti Tulungagung, Bandung, Purwokerto, Surabaya, Banyuwangi, dan Parakan. Di Solo saja pabrik batiknya mempekerjakan kurang lebih dua ratus orang buruh. Ketika itu di Solo ia dapat digolongkan sebagai orang kaya.
Sepulangnya dari ibadah haji 1905, ia menaruh minat yang besar untuk mendirikan organisasi yang bersifat sosial, umpamanya organisasi yang memberi bantuan dalam upacara perkawinan, selamatan, dan upacara kematian, dengan nama Mardi Budhi. Dalam organisasi ini ia sendiri duduk sebagai ketua.
Sesudah berdiri Budi Utomo (BU) 1908, Haji Samanhudi ingin mendirikan organisasi yang besar dan lebih baik lagi. Sementara itu di Jakarta, atas usaha Raden Mas Tirtoadisuryo, didirikan pula satu perhimpunan dagang dengan nama Sarekat Dagang Islamiyah yang bertujuan untuk memajukan perdagangan penduduk Bumiputra.
Kata “Islam” dalam sarekat tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa yang hendak dimajukan itu adalah perdagangan di kalangan Bumiputra, sebab menurut orang Jakarta ketika itu, yang dinamakan orang “Islam” adalah orang bumiputra pada umumnya.
Bersama-sama dengan Syekh Ahmad Bajened dan R.M. Tirtoadisuryo ia mendirikan pula sebuah persekutuan dagang yang lain dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang menarik perhatian para saudagar lain, terutama saudagar di Solo.
Pada 1911 di Solo ada satu perhimpunan yang bernama Kong Sing. Perhimpunan ini mempunyai dua golongan anggota, yaitu golongan Cina dan golongan Jawa. Kerukunan di antara dua golongan itu tidak dapat bertahan lama. Anggota dari golongan Jawa kemudian memisahkan diri di bawah pimpinan Haji Samanhudi karena ia bermaksud mendirikan perhimpunan sendiri.
Mereka ingin mendirikan organisasi yang sama, yakni cabang SDI di Bogor. Pada suatu waktu, Haji Samanhudi pergi ke Bandung untuk urusan usaha dagang, lalu tinggal di sana beberapa lama. Di sana ia bertemu dengan R.M. Tirtoadisuryo, yang dapat memberi semangat per-juangan kepadanya.
Akan tetapi karena ia tidak mengetahui apakah SDI yang di Bogor telah mendapat pengakuan dari pemerintah atau belum, ia mendirikan perhimpunan tersendiri dengan nama yang sama.
Dalam mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) Solo itu, Haji Samanhudi berserikat dengan M. Asmodimejo, M. Kertotaruno, M. Sumowerdoyo, dan Haji M. Abdulrajak, semuanya pedagang di Solo. Dalam organisasi yang baru berdiri itu, Haji Samanhudi duduk sebagai ketua.
Sesuai dengan situasi dan kondisi sosial pada waktu itu, paling tidak ada dua faktor yang melatarbelakangi berdirinya organisasi ini:
(1) kompetisi yang meningkat di bidang perdagangan batik terutama dengan golongan Cina dan sikap superioritas orang Cina terhadap orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina pada 1911; dan
(2) adanya perasaan tertekan di kalangan masyarakat Indonesia di Solo. Organisasi ini dimaksudkan menjadi benteng bagi orang Indonesia yang umumnya pedagang batik di Solo terhadap orang Cina dan para bangsawan. Organisasi ini pertama-tama diarahkan pada usaha untuk memperbaiki pedagang Bumiputra dalam persaingannya dengan golongan pedagang Cina ketika itu.
Organisasi ini dalam waktu singkat mendapat banyak pengikut, terutama dari golongan pedagang muslim. Pada 11 November 1912 nama organisasi ini diubah menjadi Sarekat Islam, dan segera memasuki wilayah kegiatan lebih luas, termasuk lapangan politik. Dalam perubahan seperti itu, Haji Samanhudi tetap memegang pimpinan gerakan itu sebagai ketua sampai 1914.
Kemudian ia digantikan H.O.S. Tjokroaminoto yang telah bergabung dengan Sarekat Islam di Surabaya pada bulan Mei atas ajakan dari pendirinya, Haji Samanhudi, yang memang mencari orang yang telah pernah mendapat pendidikan yang lebih baik dan berpengalaman untuk memperkuat organisasinya itu.
Pada 1914 itu juga, pemimpin Sarekat Islam mengadakan pertemuan di Yogyakarta untuk membentuk pengurus pusat. Dalam pertemuan itu ia diputuskan duduk dalam kepengurusan sebagai ketua kehormatan, sedangkan H.O.S. Tjokroaminoto sebagai ketua, dan Gunawan sebagai wakil ketua.
Selama pimpinan gerakan itu berada di tangannya, Haji Samanhudi berjuang dengan tenaga dan hartanya untuk menghidupkan dan memajukan gerakan itu. Hampir seluruh biaya organisasi keluar dari uang pribadinya, mulai dari biaya kongres sampai dengan biaya rutin administrasi. Oleh karena pengorbanannya yang sangat besar itu, ia kemudian jatuh miskin.
Pada 1953 pemerintah memperhatikan nasibnya dengan memberikan kepadanya pensiun kehormatan sejumlah Rp750 per bulan, bersama-sama dengan Ki Hajar Dewantara dan Abdul Muis. Tidak lama setelah itu, ia berangkat ke Jakarta dengan maksud mengucapkan terima kasih kepada pemerintah, mengunjungi kawan lama, dan berziarah ke makam Haji Agus Salim.
Pada 28 Desember 1956 ia berpulang ke Rahmatullah di Klaten. Dalam upacara pemakamannya hadir para pembesar negara. Presiden Soekarno mengirim kawat belasungkawa atas wafatnya Haji Samanhudi.