Salat

Salat adalah suatu ibadah yang terdiri atas ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbiratulihram (Allahu Akbar: Allah Maha Besar) dan diakhiri dengan salam (assalamu ‘alaikum wa rahmatullah: salam sejahtera bagimu) dengan syarat tertentu. Salat dapat juga berarti “doa untuk mendapatkan kebaikan atau selawat bagi Nabi Muhammad SAW”.

Kedudukan Salat. Salat mempunyai kedudukan yang amat penting dalam Islam dan merupakan fondasi yang kokoh bagi tegaknya agama Islam. Hal ini digambarkan Rasulullah SAW dalam hadis yang berarti: “Salat itu tiang agama, barangsiapa yang menegakkan salat maka ia telah menegakkan agama dan barangsiapa yang meninggalkan salat berarti ia telah meruntuhkan fondasi agama” (HR. al-Baihaqi).

Ibadah salat dalam Islam sangat penting, sehingga salat harus dilakukan pada waktunya, di mana pun, dan bagaimanapun keadaan seorang muslim yang mukalaf.

Perintah untuk melakukan kewajiban salat ini telah disampaikan Allah SWT dalam Al-Qur’an dan ditegaskan lagi oleh Rasulullah SAW dalam sunahnya.

Dalam Al-Qur’an Allah SWT telah menyatakan perintah salat dalam beberapa ayat, antara lain surah al-Baqarah (2) ayat 43, 83, 110, dan 238; surah an-Nisa’ (4) ayat 77 dan 133; surah Hud (11) ayat 114; surah al-Isra’ (17) ayat 78; surah Maryam (19) ayat 31 dan 55; surah taha (20) ayat 132;

surah an-Nur (24) ayat 56; surah al-‘Ankabut (29) ayat 45; surah ar-Rum (30) ayat 31; surah Luqman (31) ayat 17; surah al-Mujadilah (58) ayat 13; dan surah al-Muzzammil (73) ayat 20.

Adapun penegasan Rasulullah SAW mengenai perintah melaksanakan salat telah dinyatakan dalam beberapa hadis, antara lain hadis yang diriwayatkan Umar bin Khattab yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Islam dibina atas lima dasar, yaitu bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah bagi orang yang mampu.”

Latar Belakang Kewajiban Salat. Salat mulai diwajibkan pada malam isra mikraj Nabi Muhammad SAW, yang menurut pendapat kebanyakan ulama terjadi 5 tahun sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah.

Semula salat ini diwajibkan kepada umat Muhammad SAW lima puluh kali sehari semalam, tetapi kemudian dikurangi sehingga menjadi lima kali sehari semalam. Hal ini didasarkan pada hadis dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Allah mewajibkan atas umatku pada malam isra mikraj lima puluh salat. Kemudian saya meminta kepada Allah keringanan sehingga salat menjadi lima kali sehari semalam” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tujuan Salat. Tujuan hakiki salat adalah pengakuan hati bahwa Allah SWT sebagai pencipta adalah agung dan pernyataan patuh kepada-Nya serta tunduk kepada kebesaran serta kemuliaan-Nya yang kekal dan abadi.

Bagi seseorang yang telah melaksanakan salat dengan penuh rasa takwa dan keimanan kepada penciptanya, hubungannya dengan Allah SWT akan kuat, istikamah (teguh) dalam beribadah kepada-Nya, dan menjaga ketentuan yang digariskan-Nya.

Salat yang dilaksanakan dengan hati yang penuh takwa dan mengharap keridaan Allah SWT akan mempunyai pengaruh yang mendalam dalam jiwa dan menopang manusia untuk berakhlak mulia. Dengan demikian salat dapat berperan sebagai alat penangkal yang dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar (QS.29:45).

Salat termasuk kewajiban yang amat besar dalam Islam sesudah mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia menjadi pembeda antara seorang muslim dan seorang kafir. Rasulullah SAW telah menerangkan bahwa yang membedakan antara yang muslim dan yang kafir adalah salatnya.

Salat tidak hanya merupakan perwujudan rasa terima kasih terhadap nikmat yang dianugerahkan Allah SWT, tetapi juga mempunyai dampak positif bagi yang melaksanakannya.

Dampak tersebut antara lain adalah selalu terjalinnya hubungan yang kuat antara seorang hamba dan pencipta yang membawa kenikmatan, keamanan, ketenangan, dan keselamatan, yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan diri dan penghambaan diri kepada Allah SWT.

Salat juga merupakan sarana untuk mencapai kemenangan dan keberuntungan (surah al-Mukminun [23] ayat 1 dan surah al-Ma‘arij [70] ayat 19). Dalam hadis Rasulullah SAW dinyatakan bahwa salat yang dilakukan lima kali sehari semalam itu dapat menghapus dosa sebagaimana air yang dipakai mandi dapat menghapus daki yang ada di badan (HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, dan an-Nasa’i dari Abu Hurairah).

Dengan salat akan tercipta hubungan yang amat dekat antara pelaku salat dan Allah SWT, sehingga terasa adanya pengawasan dari Allah SWT terhadap segala tindakan yang pada akhirnya akan memberikan ketenangan yang besar dalam jiwa dan menjauhkan seseorang dari kelalaian yang dapat memalingkannya dari ketaatan kepada Allah SWT (QS.51:56).

Salat berjemaah, menurut Wahbah az-Zuhaili (ahli fikih Mesir), dapat berdampak timbulnya rasa persamaan, mencegah diskriminasi, menciptakan satu barisan yang kuat, menjadi sarana untuk patuh melaksanakan persoalan yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dengan mengikuti seorang pemimpin (imam), dan menimbulkan rasa tolong-menolong dalam kebajikan (membantu yang lemah dan yang miskin).

Hukum Salat. Berdasarkan Al-Qur’an, hadis, dan kesepakatan ulama, secara hukum salat adalah wajib atas kaum muslimin dan muslimat yang balig, berakal, dan bersih. Salat merupakan ibadah badaniah yang harus dikerjakan setiap orang dan tidak dapat digantikan atau dilaksanakan oleh orang lain. Orang yang mengingkari kewajiban salat dinyatakan kafir/murtad.

Sanksi Meninggalkan Salat. Orang yang meninggalkan salat dengan sengaja akan mendapat hukuman, baik hukuman duniawi maupun hukuman ukhrawi (QS.74:42, 43; QS.107:4, 5; dan QS.19:59). Yang meninggalkan salat karena kemalasan adalah fasik. Menurut ulama Mazhab Hanafi, hukumannya adalah dikurung dan dipukul sampai keluar darah, sehingga ia melakukan salat dan bertobat.

Menurut imam lainnya, yang meninggalkan salat walaupun hanya satu kali, tanpa uzur, harus bertobat selama 3 hari. Namun demikian, mereka yang tidak salat, apabila telah mati atau dibunuh karena pelanggarannya itu, tetap harus dimandikan, disalatkan, dan dikuburkan di pekuburan Islam, sebagaimana layaknya orang yang salat.

Pendapat mereka ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 48 dan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Ubaidah bin as-Samit.

Macam Salat. Ulama berbeda pendapat mengenai macam salat. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa salat dibagi atas empat macam, yaitu:

(1) salat fardu ain (wajib atas setiap orang), seperti salat lima waktu (salat subuh, zuhur/lohor, asar, magrib, dan isya);

(2) salat fardu kifayah (kewajiban yang hanya cukup dilakukan sebagian orang), seperti salat jenazah;

(3) salat wajib, yaitu yang mencakup salat witir, penggantian salat sunah, dan salat dua hari raya (salat id); dan

(4) salat an-nawafil (sunah), baik salat masnunah maupun salat mandubah. Menurut mereka, sujud tilawah (sujud) tidak termasuk salat.

Ulama Mazhab Maliki membagi salat atas lima macam yang dikelompokkan dalam dua bagian. Bagian pertama adalah:

(1) salat fardu yang lima;

(2) salat an-nawafil dan salat sunah; dan

(3) salat ragibah, yaitu salat fajar dua rakaat.

Bagian kedua adalah:

(1) salat fardu yang terdiri atas sujud tilawah saja dan

(2) salat yang mencakup takbir dan salam yang di dalamnya tidak terdapat rukuk dan sujud, yaitu salat jenazah.

Ulama Mazhab Syafi‘i membagi salat atas dua macam, yaitu:

(1) salat yang terdiri atas rukuk, sujud, dan bacaan yang mencakup dua bagian, yaitu salat fardu yang lima dan salat nafilah, dan

(2) salat yang di dalamnya tidak terdapat rukuk dan sujud, tetapi terdiri atas takbir dan salam, yaitu salat jenazah. Mereka tidak menamakan sujud tilawah itu salat.

Ulama Mazhab Hanbali membagi salat atas tiga bagian:

(1) salat yang terdiri atas rukuk, sujud, takbiratulihram, dan salam; mencakup salat fardu yang lima dan salat-salat sunah;

(2) salat yang terdiri atas takbir, salam, dan bacaan yang di dalamnya tidak terdapat rukuk dan sujud, yaitu salat jenazah; dan

(3) salat yang hanya terdiri atas sujud, yaitu sujud tilawah.

Syarat Salat. Syarat salat ada dua macam, yaitu syarat wajib dan syarat sah. Ulama Mazhab Maliki membagi syarat salat atas tiga bagian, yaitu syarat wajib, syarat sah, dan syarat wajib sekaligus sah. Syarat wajib menurut golongan ini adalah balig dan tidak adanya paksaan untuk meninggalkan salat.

Syarat sah adalah bersih dari hadas, bersih dari kotoran, menghadap kiblat, dan menutup aurat. Adapun syarat wajib dan sekaligus sah adalah telah sampai kepadanya dakwah Nabi Muhammad SAW, berakal, telah masuk waktu salat, bersih dari hadas kecil dan hadas besar, tidak tidur dan lupa, serta bersih dari haid dan nifas.

Ulama Mazhab Syafi‘i membagi syarat salat atas dua bagian, yaitu syarat wajib dan syarat sah. Syarat wajib mencakup enam syarat, yaitu telah sampai kepadanya dakwah Nabi SAW, Islam, berakal, balig, bersih dari haid dan nifas, dan pancaindranya normal walaupun hanya pendengaran dan penglihatan.

Adapun syarat sah mencakup tujuh syarat, yaitu bersih badan dari hadas kecil dan hadas besar; bersih badan, pakaian, dan tempat dari kotoran; menutup aurat; menghadap kiblat; telah masuk waktu salat; mengetahui cara melaksanakan salat; dan meninggalkan segala sesuatu yang membatalkan salat.

Ulama Mazhab Hanafi juga membagi syarat salat atas dua bagian, yaitu syarat wajib dan syarat sah. Syarat wajib menurut mereka mencakup lima, yaitu telah sampai kepadanya dakwah Nabi Muhammad SAW, Islam, berakal, balig, dan bersih dari haid serta nifas. Syarat sah mencakup enam, yaitu bersih dari hadas dan kotoran, bersih pakaian dari kotoran (najis), bersih tempat dari najis, menutup aurat, berniat, dan menghadap kiblat.

Adapun ulama Mazhab Hanbali mengatakan bahwa syarat salat itu ada sembilan, yaitu Islam; berakal; tamyiz (dapat membedakan yang baik dan yang buruk); bersih dari hadas; menutup aurat; bersih badan, pakaian, dan tempat dari najis; niat; menghadap kiblat; dan telah masuk waktu salat.

Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh membagi syarat salat atas dua bagian, yaitu syarat wajib dan syarat sah. Syarat wajib mencakup Islam, balig, dan berakal.

Adapun syarat sah salat menurut az-Zuhaili yang disepakati kalangan fukaha (ahli fikih) ada sebelas, yaitu: telah masuk waktu salat, bersih dari hadas kecil dan hadas besar, bersih dari najis, menutup aurat, menghadap kiblat, niat, tertib dalam melaksanakan salat, berturut-turut mengerjakannya, tidak berbicara, tidak melakukan pekerjaan lain di luar komponen-komponen salat, dan tidak makan serta tidak minum.

Waktu Salat Fardu. Al-Qur’an tidak menerangkan secara terperinci waktu pelaksanaan salat lima waktu. Al-Qur’an hanya menyatakan bahwa salat itu merupakan kewajiban yang telah ditetapkan waktunya bagi orang beriman.

Hal ini dinyatakan dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 103 yang berarti: “Sesungguhnya salat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” Akan tetapi, di dalam hadis Rasulullah SAW waktu salat telah dinyatakan secara terperinci, batas awal sampai batas akhir waktu setiap salat.

Hadis yang menerangkan hal itu antara lain adalah hadis yang diriwayatkan Bukhari, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ahmad dari Jabir bin Abdullah. Waktu salat fardu adalah sebagai berikut.

Waktu Salat Subuh, mulai dari terbit fajar sadiq sampai terbitnya matahari. Fajar sadiq adalah fajar putih yang sinarnya terbentang di ufuk timur; lawan dari fajar kadzib, yaitu fajar putih yang memanjang dan mengarah ke bagian atas di pertengahan langit. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat an-Nasa’i dan Ahmad dari Abdullah bin Umar yang menyatakan bahwa waktu salat subuh mulai dari terbit fajar sampai terbitnya matahari.

Waktu Salat Zuhur, mulai dari tergelincirnya matahari hingga samanya bayangan dengan bendanya. Apabila bayangan lebih panjang daripada bendanya maka waktu salat zuhur telah berakhir.

Waktu Salat Asar, mulai dari bayangan lebih panjang dari bendanya hingga beberapa saat menjelang terbenamnya matahari. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan enam periwayat (akhrajahu as-sittah; Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibnu Majah) dari Abu Hurairah yang berarti:

“Barangsiapa yang telah mendapatkan satu rakaat salat subuh sebelum terbitnya matahari, maka ia telah mendapat salat subuh seluruhnya, dan barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat salat asar sebelum terbenamnya matahari maka ia telah mendapatkan salat asar seluruhnya.”

Waktu Salat Magrib, mulai dari terbenamnya matahari sampai hilangnya warna merah di ufuk barat. Hadis yang diriwayatkan Muslim dari Abdullah bin Umar menerangkan bahwa waktu salat magrib berlangsung selama tidak hilangnya warna merah di ufuk barat.

Waktu Salat Isya, mulai dari hilangnya warna merah di ufuk barat sampai terbitnya fajar sadiq atau menjelang terbitnya fajar sadiq. Waktu yang terbaik bagi salat isya adalah pada sepertiga malam atau seperdua malam.

Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmizi dari Abu Hurairah, hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Anas, dan hadis yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ahmad dari Ibnu Umar.

Waktu yang Terbaik. Waktu yang afdal (terbaik) untuk melakukan salat adalah sebagai berikut. Mazhab Hanafi mengatakan bahwa waktu yang terbaik bagi kaum laki-laki untuk melaksanakan salat subuh adalah waktu isfar (waktu pertengahan salat subuh, ketika sinar berpancar keras di timur), sedangkan bagi wanita adalah di awal waktu subuh.

Salat zuhur lebih afdal jika dipercepat (lebih awal) pada musim panas, dan diperlambat pada musim dingin. Salat asar lebih afdal diperlambat untuk memberi peluang bagi pelaksanaan salat-salat sunah. Salat magrib lebih baik dikerjakan pada awal waktunya. Salat isya disunahkan untuk ditangguhkan sampai sebelum sepertiga malam pertama.

Menurut Imam Malik, waktu yang terbaik untuk pelaksanaan semua salat, baik perseorangan maupun berjemaah, baik pada musim panas maupun pada musim dingin, adalah pada awal waktunya. Imam Syafi‘i mengatakan bahwa pelaksanaan salat, tidak terkecuali salat isya, lebih baik pada awal waktunya.

Hanya saja Imam Syafi‘i mengecualikan salat zuhur dengan memperlambat pelaksanaannya pada musim panas. Adapun menurut Imam Hanbali, melakukan salat pada awal waktunya lebih afdal, kecuali salat isya serta salat zuhur pada musim panas dan salat magrib dalam keadaan langit berawan. Pelaksanaan salat isya lebih baik diperlambat.

Waktu salat witir adalah sesudah salat isya dan berakhir sebelum terbit fajar. Waktu yang terbaik untuk melaksanakan salat witir adalah akhir malam bagi orang yang terbiasa melakukan salat malam (salat tahajud) dan meyakini bahwa ia akan terbangun pada waktu malam.

Adapun bagi orang yang kurang yakin akan dapat terbangun pada waktu malam, salat witir itu lebih baik dilakukan sebelum tidur (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah).

Pelaksanaan salat ada yang bersifat ada’an, i‘adah, dan qada’an. Salat ada’an adalah salat yang dilakukan pada waktunya. Salat i‘adah berarti mengulangi salat tertentu pada waktunya karena salat yang dilakukan sebelumnya dianggap mempunyai cacat atau kekurangan. Adapun salat qada’an adalah salat yang dilakukan di luar waktunya karena alasan tertentu.

Waktu yang tidak Diperbolehkan Melakukan Salat. Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin Amr al-Juhani dan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Sa‘id al-Khudri, ada lima waktu yang dilarang untuk melakukan salat, yaitu:
(1) sesudah salat subuh sampai matahari meninggi;
(2) waktu terbit matahari hingga naik;
(3) waktu istiwa’ (menjelang tergelincirnya matahari) sampai tergelincirnya matahari;
(4) ketika matahari berwarna kuning hingga terbenam; dan
(5) sesudah salat asar sampai matahari terbenam.

Walaupun demikian, Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa dalam keadaan tertentu diperbolehkan melaksanakan salat pada waktu tersebut, yaitu:

(1) pada hari Jumat (HR. Abu Sa‘id al-Khudri);

(2) di Masjidilharam (Mekah), boleh melakukan salat kapan saja; dan

(3) salat tertentu, seperti salat kusuf, salat Tahyatul Masjid, sunah wudu, dan sujud syukur.

Menurut jumhur (mayoritas) fukaha, salat jenazah boleh dilakukan sesudah salat subuh dan salat asar, tetapi tidak boleh pada saat terbit, terbenam, dan istiwa’ matahari.

Salat Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW memerintahkan agar salat dilakukan seperti yang telah ditunjukkannya (sallu kama ra’aitumuni usalli: salatlah kamu seperti kamu menyaksikan aku salat).

Gambaran mengenai salat yang telah ditunjukkan Nabi SAW terdapat dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Abu Dawud, dan at-Tirmizi dari Muhammad bin Umar bin Ata yang didengarnya dari Abu Humaid as-Sa’idi yang berarti:

“Rasulullah SAW apabila melakukan salat, ia mengangkat kedua tangannya sehingga berdekatan dengan kedua bahunya, lalu bertakbir, lalu membaca, kemudian bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya sehingga berdekatan dengan kedua bahunya, kemudian rukuk dan meletakkan kedua tapak tangannya di atas kedua lututnya,

kemudian meluruskan badannya sedang kepalanya tidak diangkatnya sehingga sejajar dengan punggungnya, kemudian mengangkat kepalanya lalu berkata, sami‘a Allahu li man hamidahu rabbana laka al-hamdu (Maha Suci Allah yang mendengarkan orang-orang yang memuji-Nya. Wahai Tuhan kami, segala puji itu kepunyaan-Mu),

lalu mengangkat kedua tangannya sehingga berdekatan dengan kedua bahunya dan beliau dalam keadaan tegak lurus, lalu beliau berkata, Allahu Akbar, kemudian turun ke lantai dan merenggangkan kedua tangannya dari kedua sampingnya, lalu diangkatnya kepalanya, lalu melipat kakinya yang kiri dan didudukinya.

Ia membuka jari-jari kakinya apabila bersujud, lalu dia bersujud, dan berkata, Allahu Akbar, lalu mengangkat kepalanya, lalu dilipatnya kakinya yang kiri dan didudukinya, sehingga setiap tulang ke tempatnya masing-masing, dan beliau melakukan hal yang sama pada rakaat lain.

Kemudian apabila berdiri untuk melakukan rakaat kedua, beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya sehingga berdekatan dengan kedua bahunya, sebagaimana beliau bertakbir ketika takbiratulihram. Kemudian beliau melakukan hal yang sama pada rakaat-rakaat berikutnya.”

Dalam riwayat Bukhari dan an-Nasa’i disebutkan bahwa ketika melakukan sujud, Rasulullah SAW meletakkan kedua tangannya dengan tidak terbentang dan menghadapkan ujung jari beliau ke arah kiblat.

Tata Cara Pelaksanaan Salat. Tata cara pelaksanaan salat didasarkan pada petunjuk Rasulullah SAW yang mencakup syarat salat, rukun salat, sunah salat, dan etika salat. Secara berurut, tata cara pelaksanaan salat sebagai berikut.

(1) Sebelum melaksanakan salat, menutup aurat dan membersihkan badan, pakaian, dan tempat salat dari najis.

(2) Berwudu.

(3) Azan dan iqamah.

(4) Menghadap kiblat.

(5) Berniat di dalam hati sambil bertakbiratulihram (mengucapkan Allahu Akbar). Melafalkan niat bagi kebanyakan ulama, kecuali ulama Mazhab Maliki, adalah sunah secara hukum. Ketika mengucapkan takbir, kedua tangan dengan tapak tangan terbuka dan menghadap kiblat diangkat sampai kedua ibu jari mendekati kedua telinga.

Menurut ulama Mazhab Hanafi dan Hanbali, setelah diangkat, kedua tangan diturunkan dan diletakkan di atas pusat dengan tapak tangan kanan di atas tapak tangan kiri. Menurut ulama Mazhab Syafi‘i, kedua tangan diletakkan di bawah dada. Adapun menurut ulama Mazhab Maliki, kedua tangan direntangkan lurus kebawah. Selama berdiri, pelaku salat selalu memandang ke tempat sujud.

(6) Membaca as-sana (pujian), menurut Mazhab Hanafi dan Hanbali, yaitu subhanaka Allahumma wa bi hamdika wa tabaraka ismuka wa ta‘ala jadduka wa la ilaha gairuka (Maha Suci Engkau ya Allah, dan dengan segala puji bagi-Mu, Maha Agung Nama-Mu, Maha Tinggi Kebesaran-Mu, dan tidak ada Tuhan selain daripada-Mu);

membaca tawajuh, menurut Mazhab Syafi‘i, yaitu Wajjahtu wajhiya li al-ladzi fathara as-samawati wa al-arda hanifan musliman wa ma ana min al-musyrikin, inna salati wa nusuki wa mahyaya wa mamati li Allahi rabbi al-‘alamin, la syarika lahu wa bi dzalika umirtu wa ana min al-muslimin (Sesungguhnya kuhadapkan mukaku kepada Yang Menciptakan langit dan bumi dalam keadaan suci dan menyerahkan diri dan aku tidak termasuk orang yang menyekutukan-Nya.

Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku milik Allah seru sekalian alam, tidak ada sekutu baginya, dan dengan itu aku diperintahkan, dan aku termasuk orang muslim [yang menyerahkan diri kepada-Nya]). Kedua ucapan ini, yang dikenal dengan sebutan doa iftitah (doa pembukaan salat) menurut Mazhab Maliki tidak perlu dibaca.

(7) Membaca taawuz (a‘uzu billahi min asy-syaithan ar-rajim: aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan yang terkutuk) dengan suara pelan (sirr) dan kemudian membaca basmalah (Bismi Allah ar-Rahman ar-Rahim) dengan suara keras menurut Mazhab Syafi‘i dan tidak dibaca menurut Mazhab Maliki.

Lalu taawuz diikuti dengan membaca surah al-Fatihah dan ucapan amin (terimalah doa kami ya Allah) dengan suara pelan (sirr) menurut Mazhab Maliki dan Hanafi, atau dengan suara keras (jahr) menurut Mazhab Syafi‘i dan Hanbali.

(8) Membaca satu surah pendek atau beberapa ayat sesudah membaca surah al-Fatihah.

(9) Melafalkan takbir untuk rukuk, sambil mengangkat kedua tangan menurut kebanyakan ulama, kecuali ulama Mazhab Hanafi. Rukuk dilakukan dengan cara menempelkan kedua tangan pada kedua lutut dengan jari terbuka, meluruskan posisi punggung dengan kepala (kepala tidak diangkat dan tidak ditundukkan), dan meluruskan betis sambil membaca subhana rabbi al-‘azim (Maha Suci Tuhan Yang Maha Agung).

Menurut kebanyakan ulama, kecuali ulama Mazhab Hanafi, bacaan tersebut ditambah dengan wa bi hamdihi (dan dengan segala puji bagi-Nya).

(10) Iktidal (berdiri tegak), sambil mengucapkan sami‘a Allahu li man hamidahu dan Rabbana laka al-hamd (Wahai Tuhan, hanya Engkaulah yang pantas dipuji).

(11) Sujud, dengan cara meletakkan kedua lutut, lalu kedua tangan, dan diikuti oleh dahi serta hidung dengan tuma’ninah (berdiam diri sebentar) sambil mengucapkan subhana Rabbi al-a‘la (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung) dan ditambah dengan ucapan wa bihamdihi (dan dengan segala puji bagi-Nya).

(12) Mengangkat kepala sambil mengucapkan Allahu Akbar dan duduk tuma’ninah dengan posisi menghamparkan kaki kiri, lalu mendudukinya, dan membentangkan kaki kanan.

Sementara itu kedua tangan diletakkan di atas kedua paha. Adapun bacaan yang dilafalkan ketika duduk di antara dua sujud adalah Rabbi igfir li wa irhamni wa ujburni wa irfa‘ni wa urzuqni wa ihdini wa ‘afini wa u‘fu ‘anni (Wahai Tuhanku, ampunilah aku, rahmatilah aku, beri tolonglah aku, angkatlah derajatku, berilah rezeki kepadaku, beri petunjuk kepadaku, bebaskan, dan maafkan aku dari dosaku).

Lalu takbir diucapkan untuk sujud kedua kalinya, seperti sujud pertama dengan bacaan yang sama pula.

(13) Melafalkan takbir untuk mengerjakan rakaat kedua. Menurut ulama Mazhab Hanafi, ketika bangkit menggunakan kedua pangkal kaki, pelaku salat tidak duduk dan tidak menyandarkan kedua tangannya di lantai, tetapi menyandarkan kedua kakinya sambil mengangkat kedua tangan.

Pada rakaat kedua dilakukan gerakan dan bacaan sama seperti pada rakaat pertama. Bedanya, pada rakaat kedua tidak ada bacaan doa iftitah. Tetapi pada salat subuh menurut ulama Mazhab Maliki disunahkan membaca doa kunut sebelum atau sesudah rukuk; menurut Mazhab Syafi‘i, doa kunut dilakukan sesudah rukuk; sedangkan menurut Mazhab Hanbali doa kunut dilakukan hanya pada witir semua salat sunah.

(14) Duduk untuk tasyahud (membaca syahadat) pertama. Cara duduk tasyahud ini sama dengan duduk di antara dua sujud, dengan posisi tangan berada di atas kedua paha dan jari-jari terbuka serta menghadap kiblat. Menurut Mazhab Hanafi, semua jari tangan harus terbuka.

Menurut Mazhab Maliki, jari tangan kiri dibuka dan jari tangan kanan ditutup (digenggam), kecuali telunjuk dan ibu jari; sedangkan menurut Mazhab Syafi‘i, kecuali telunjuk saja. Menurut Mazhab Hanafi, menunjuk dengan telunjuk dilakukan ketika sampai pada ucapan la ilaha (tiada Tuhan) dan berakhir pada ucapan illa Allah (selain Allah).

Bagi Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali menunjuk dengan telunjuk dilakukan ketika sampai pada ucapan illa Allah tanpa menggerak-gerakkannya. Adapun menurut Mazhab Maliki, telunjuk itu harus digerak-gerakkan dan menunjuk terus sejak awal tasyahud.

Terdapat perbedaan pendapat ulama tentang lafal doa yang dibaca ketika tasyahud. Bacaan tasyahud menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali adalah:

at-tahiyyat li Allah wa as-salawatu at-tayyibat, as-salamu ‘alaika ayyuha an-nabiyyu wa rahmat Allah wa barakatuh, as-salamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibad Allah as-salihin,asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasuluhu

(penghormatan dan selawat yang baik-baik hanya untuk Allah, semoga selamat atasmu, Muhammad, semoga Allah memberi rahmat dan berkah-Nya kepadamu, semoga selamat sejahtera pula atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh, aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad itu hamba dan utusan Allah; HR. Jamaah).

Menurut Mazhab Maliki, bacaannya­ adalah at-tahiyyatu li Allah, az-zakiyyat li Allah, ath-thayyibat as-salawatu li Allah, (penghormatan hanya untuk Allah, kesucian hanya untuk Allah, selawat yang baik-baik hanya untuk Allah) lalu disambung dengan bacaan yang sama dengan bacaan menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali.

Menurut Mazhab Syafi‘i, bacaannya adalah:

at-tahiyyat al-mubarakat as-salawat ath-thayyibat li Allah, as-salamu ‘alaika ayyuha an-nabiyyu wa rahmat Allah wa barakatuh, as-salamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibad Allah as-salihin, asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allah

(penghormatan-penghormatan yang maha berkat dan selawat-selawat yang baik hanyalah untuk Allah, semoga selamat atasmu, Muhammad, semoga Allah memberi rahmat dan berkah-Nya kepadamu, semoga selamat sejahtera pula atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; HR. Syafi‘i, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i).

Jumhur ulama tidak menambahkan ucapan apa pun sesudah kalimat ‘abduhu wa Rasuluhu pada tasyahud pertama ini, sedangkan Mazhab Syafi‘i menambahkan bacaan selawat kepada Nabi SAW, yaitu Allahumma salli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad (Ya Allah, berselawatlah atas Muhammad dan keluarganya).

Adapun pada tasyahud akhir sesudah bacaan di atas ditambahkan bacaan selawat kepada Nabi Ibrahim AS, yaitu kama sallaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim wa barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama barakta ‘ala Ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim fi al-‘alamin innaka hamidun majid (sebagaimana Engkau berselawat atas Ibrahim dan keluarganya, dan berkatilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberkati Ibrahim dan keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung).

Menurut kebanyakan ulama, kecuali Mazhab Hanafi, duduk pada tasyahud kedua dilakukan dengan posisi pantat langsung menyentuh lantai (tidak duduk di atas telapak kaki kiri seperti pada tasyahud pertama). Kemudian setelah membaca bacaan di atas, menurut Mazhab Hanafi, boleh dibaca doa yang ma’tsur (yang diajarkan Rasulullah SAW) yang berasal dari Al-Qur’an dan sunah. Adapun menurut kebanyakan ulama, boleh dibaca apa saja yang diinginkan.

(15) Mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri bagi salat dua rakaat. Menurut kebanyakan ulama, salam dilakukan dengan mengucapkan assalamu ‘alaikum wa rahmat Allah, sedangkan menurut Mazhab Maliki ditambah wa barakatuh.

Apabila salat yang dilakukan itu berjumlah tiga rakaat atau lebih, setelah selesai tasyahud pelaku salat langsung bangkit lagi untuk menunaikan rakaat berikutnya dan tasyahud akhir serta melakukan salam pada rakaat terakhir. Pada rakaat ketiga atau keempat bacaan surah al-Fatihah diucapkan dengan suara rendah (sirr) dan sesudah itu tidak ada bacaan surah atau ayat.

Rukun Salat. Rukun salat harus dilakukan dalam salat dan tanpa itu salat tidak sah. Mazhab Hanafi membedakan antara fardu salat (fara’id as-salah) dan wajib salat (wajibat as-salah). Fardu salat ada enam, yaitu takbiratulihram, berdiri, membaca, rukuk, sujud, dan duduk yang terakhir pada saat tasyahud (mengucapkan dua syahadat).

Wajib salat menurut Mazhab Hanafi jika ditinggalkan mendapat dosa, tetapi tidak merusak salat, hanya saja perlu dilakukan sujud sahwi (sujud yang dilakukan sebelum salam karena meninggalkan salah satu wajib salat).

Wajib salat itu adalah:

(1) memulai salat dengan lafal Allahu Akbar;

(2) membaca surah al-Fatihah;

(3) membaca satu surah pendek pada rakaat pertama dan kedua salat fardu;

(4) menyentuhkan hidung dan dahi di lantai ketika sujud;

(5) memelihara urutan perbuatan dan ucapan salat;

(6) bertuma’ninah (berhenti sebentar) pada setiap rukun salat dengan mendiamkan anggota badan ketika rukuk, sujud, bangkit, dan iktidal;

(7) duduk pada tasyahud pertama dalam salat yang terdiri dari tiga atau empat rakaat;

(8) membaca tasyahud ketika duduk pertama;

(9) membaca tasyahud ketika duduk terakhir;

(10) bangkit untuk mengerjakan rakaat ketiga;

(11) mengucapkan lafal as-salam tanpa ‘alaikum dua kali pada akhir salat masing-masing satu ke kanan dan ke kiri (lafal ‘alaikum wa rahmat Allah bagi Mazhab Hanafi adalah sunah); (

12) imam membaca keras surah al-Fatihah dan surah atau ayat pada dua rakaat salat subuh, salat magrib, salat isya, salat Jumat, salat Idul Fitri dan Idul Adha, dan salat tarawih serta salat witir pada bulan Ramadan;

(13) imam dan orang yang salat sendiri membaca dengan sirr (pelan) pada salat zuhur dan asar, kecuali dua rakaat pertama salat magrib dan salat isya, dan salat sunah di siang hari;

(14) dan (15) kunut witir dan takbir pada salat dua hari raya; dan (16) diam bagi pengikut (makmum) ketika mengikuti imam pada salat berjemaah.

Rukun salat atau fardu salat menurut Mazhab Maliki ada empat belas, yaitu:

(1) niat,

(2) takbiratulihram,

(3) berdiri untuk melafalkan takbir salat fardu,

(4) membaca surah al-Fatihah bagi imam dan perseorangan,

(5) berdiri pada salat fardu,

(6) rukuk,

(7) bangkit dari rukuk,

(8) sujud,

(9) duduk di antara dua sujud,

(10) salam,

(11) duduk untuk salam,

(12) tuma’ninah (berhenti sebentar) dalam setiap rukun salat,

(13) iktidal sesudah rukuk dan sujud, dan

(14) mengerjakan rukun itu secara berurutan. Menurut Mazhab ini, tidak semua bacaan salat merupakan rukun, kecuali tiga, yaitu takbiratulihram, membaca surah al-Fatihah, dan salam.

Semua perbuatan salat adalah rukun, kecuali tiga, yaitu mengangkat kedua tangan ketika bertakbiratulihram, duduk untuk tasyahud, dan menoleh ke kanan untuk mengucapkan salam.

Menurut Mazhab Syafi‘i, rukun salat itu ada tiga belas, yaitu:

(1) niat;

(2) takbiratulihram;

(3) berdiri pada salat fardu bagi yang mampu;

(4) membaca surah al-Fatihah bagi setiap orang yang melakukan salat, kecuali karena didahului atau lainnya;

(5) rukuk;

(6) dan (7) sujud dua kali;

(8) duduk di antara dua sujud;

(9) tasyahud akhir;

(10) duduk ketika tasyahud akhir;

(11) selawat kepada Nabi SAW sesudah tasyahud akhir dalam posisi duduk;

(12) salam; dan

(13) tertib urutan rukunnya.

Rukun salat, menurut Mazhab Hanbali, ada empat belas, yaitu:

(1) takbiratulihram,

(2) berdiri dalam salat fardu bagi yang mampu,

(3) membaca surah al-Fatihah bagi imam dan perorangan pada setiap rakaat,

(4) rukuk,

(5) iktidal sesudah rukuk,

(6) sujud,

(7) iktidal pada saat sujud,

(8) duduk di antara dua sujud,

(9) bertuma’ninah pada semua perbuatan salat tersebut (mulai dari rukuk sampai dengan sujud),

(10) tasyahud akhir,

(11) selawat kepada Nabi SAW setelah tasyahud akhir,

(12) duduk untuk tasyahud,

(13) mengucapkan salam dua kali, dan

(14) tertib melaksanakan semua rukun.

Walaupun di antara ulama berbeda pendapat tentang rukun salat tersebut, mereka sepakat dalam enam rukun, yaitu (1) takbiratulihram, (2) berdiri, (3) membaca al- Fatihah, (4) rukuk, (5) sujud, dan (6) duduk terakhir selama tasyahud sampai dengan ucapan ‘abduhu wa rasuluh.

Sunah Salat. Sunah salat adalah perkataan dan perbuatan yang dilakukan dalam salat, yang jika dikerjakan, pelakunya diberi pahala dan jika ditinggalkan, pelakunya tidak mendapat dosa dan salatnya tetap sah.

Sunah salat secara garis besar dibagi atas dua macam, yaitu sunah yang masuk dalam salat dan sunah yang ada di luar salat. Jumlah sunah dalam salat diperselisihkan ulama.

Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa ada 51 sunah salat dan 7 adab salat, sedangkan ulama Mazhab Maliki mengatakan ada 14 sunah salat dan 48 adab salat. Menurut ulama Mazhab Syafi‘i, sunah salat dibagi atas dua bagian, yaitu sunah ab‘ad dan sunah hai’at.

Sunah ab‘ad adalah sunah yang harus diganti dengan sujud sahwi jika tertinggal atau terlupakan (seperti tasyahud pertama, duduk tasyahud, selawat kepada Nabi SAW), sedangkan sunah hai’at adalah sunah yang tidak perlu diganti dengan sujud sahwi jika tertinggal atau terlupakan (seperti lupa membaca tasbih pada waktu rukuk dan sujud).

Sunah ab‘ad berjumlah 8 dan sunah hai’at berjumlah 40. Adapun ulama Mazhab Hanbali mengatakan bahwa yang tidak termasuk rukun salat itu ada dua bagian, yaitu yang wajib dan yang sunah. Yang wajib berjumlah 8 dan yang sunah dibagi lagi atas sunah dalam bentuk ucapan, sunah dalam bentuk perbuatan, dan hai’at.

Sunah yang dilakukan dalam salat ada­lah sebagai berikut.

(1) Mengangkat kedua tangan­ pada waktu takbiratulihram.

(2) Menghubungkan takbir makmum dengan takbir imam.

(3) Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada saat kedua tangan diletakkan di pusat.

(4) Memandang ke tempat sujud.

(5) Membaca doa iftitah.

(6) Bertaawuz sebelum membaca surah al-Fatihah dan surah. Menurut Mazhab Maliki, dilarang membaca taawuz dan basmalah sebelum surah al-Fatihah dan surah lain; menurut Mazhab Hanafi dihukumkan sunah pada rakaat pertama saja; dan menurut Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali, dihukumkan sunah membaca dengan pelan (sirr) pada setiap rakaat.

(7) Mengucapkan amin (terimalah doa kami ya Allah).

(8) Berdiam sebentar bagi imam antara akhir bacaan surah al-Fatihah dan awal bacaan surah.

(9) Membukakan kedua kaki sekitar satu jengkal sewaktu berdiri.

(10) Membaca satu surah sesudah surah al-Fatihah.

(11) Mengucapkan takbir (Allahu Akbar) pada saat rukuk, sujud, bangkit, dan ketika berdiri.

(12) Bertasmi‘ (mengucapkan kalimat sami‘a Allahu liman hamidah) oleh imam dan bertahmid (mengucapkan kalimat Rabbana laka al-hamdu) oleh makmum.

(13) Mendahulukan meletakkan kedua lutut, kemudian kedua tangan, lalu muka ketika hendak sujud dan sebaliknya ketika bangkit dari sujud.

(14) Melaksanakan amalan sujud yang lain, seperti meletakkan muka antara dua telapak tangan, menjauhkan perut dari paha dan kedua siku dari kedua samping badan, bertuma’ninah, bertasbih (subhana Allah: Maha Suci Allah) dalam sujud, dan berdoa dalam sujud.

(15) Ketika duduk di antara dua sujud, membentangkan kaki kiri dan kanan dengan jari-jari kaki menghadap kiblat, dan meletakkan kedua tangan di atas kedua lutut.

(16) Berdoa di antara dua sujud.

(17) Tasyahud pertama dan duduk iftirasy (duduk ketika tasyahud).

(18) Meletakkan kedua tangan di atas kedua lutut dengan ujung jari berada di atas dua lutut.

(19) Membaca surah al-Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat dalam salat fardu.

(20) Berselawat kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya pada tasyahud akhir.

(21) Berdoa sesudah selawat kepada Nabi Muhammad SAW.

(22) Menoleh ke kanan dan kemudian ke kiri dengan dua salam.

(23) Merendahkan suara pada salam kedua.

(24) Makmum menghubungkan salamnya dengan salam imam.

(25) Makmum yang masbuq (yang tidak memulai salat bersama imam) menunggu selesainya dua salam imam baru bangkit untuk melanjutkan rakaat berikutnya.

(26) Khusyuk dan memahami kandungan bacaan dan zikir (menurut Mazhab Syafi‘i hal ini adalah sunah secara hukum).

Sunah sebelum pelaksanaan salat adalah bersugi (sikat gigi), azan, iqamah, dan mengambil sutrah (pembatas tempat salat) untuk diletakkan di hadapan orang yang salat.

Dilarang dalam Salat. Hal-hal yang dilarang dalam salat adalah sebagai berikut:

(1) Meninggalkan salah satu dari wajib salat dengan sengaja (bahkan haram hukumnya menurut Mazhab Hanafi), seperti tidak membaca surah al-Fatihah atau tidak membaca surah sesudahnya dan mengeraskan suara pada salat yang seharusnya dikecilkan suaranya atau sebaliknya.

(2) Meninggalkan sunah salat dengan sengaja.

(3) Memperpanjang bacaan pada rakaat kedua daripada rakaat pertama.

(4) Mengulangi satu surah pada rakaat yang sama atau pada rakaat yang berbeda dalam salat fardu.

(5) Membaca ayat yang urutannya berbeda dengan urutan yang terdapat dalam Al-Qur’an.

(6) Berdoa sebelum membaca surah al-Fatihah atau surah lain dan membaca bacaan lain pada saat membaca surah al-Fatihah dan surah lain.

(7) Melakukan hal yang tidak berfaedah di luar perbuatan salat, seperti mempermainkan pakaian, badan, atau janggut dengan tangan, memasukkan tangan ke mulut, atau menutup hidung. Menurut Mazhab Hanafi, perbuatan ini haram dilakukan, berdasarkan hadis Rasulullah SAW yang mengatakan, “Allah SWT membenci tiga hal terhadap kamu, melakukan hal yang tidak berguna di dalam salat, bercampur dengan istri waktu puasa, dan tertawa di kuburan” (HR. al-Qadha’i dari Yahya bin Abi Kasir; hadis mursal/ terputus).

(8) Memejamkan mata, kecuali karena takut pandangannya tertuju pada sesuatu yang dapat memalingkan dirinya dari salat.

(9) Menoleh-noleh dalam salat tanpa hajat yang penting.

(10) Memandang ke langit.

(11) Berdiri dengan kaki sebelah.

(12) Salat sambil menahan kencing, buang air besar, atau kentut.

(13) Memikirkan urusan dunia.

(14) Menguap.

(15) Meludah di hadapannya atau di samping kanannya, walaupun di luar masjid.

(16) Bersandar di tembok atau semacamnya.

(17) Menjawab salam dengan isyarat tangan atau kepala.

(18) Membaca surah atau ayat pada rakaat kedua terakhir pada salat fardu.

(19) Mengeraskan suara pada tempat yang seharusnya direndahkan atau sebaliknya;

(20) Menambah duduk istirahat lebih daripada ukuran duduk di antara dua sujud dan memperpanjang tasyahud.

(21) Menjalin atau mengikat rambut dan menyingsingkan lengan baju. (22) Meluruskan kedua siku.

(23) Salat dengan pakaian sehari-hari atau pakaian kerja kecuali pakaian tersebut suci.

(24) Salat dengan celana panjang atau sarung saja, padahal mampu memakai baju.

(25) Salat dengan pakaian dalamnya bergambar binatang atau manusia.

(26) Salat dekat api yang sedang menyala.

(27) Melepaskan ikatan rambut dalam salat.

(28) Salat dengan pakaian berwarna merah.

(29) Salat dengan pakaian yang tipis dan sempit (menurut Mazhab Maliki).

(30) Melakukan zikir tidak pada tempatnya, yang menunjukkan perpindahan gerakan salat, seperti takbir (Allahu Akbar), tasmi’ (sami‘a Allahu liman hamidahu), dan tahmid (Rabbana laka al-hamdu).

(31) Tidak mengunakan tanda batas di depan tempat salat.

Tidak Dilarang dalam Salat. Menurut Mazhab Hanafi, perbuatan yang tidak dilarang dalam salat adalah:

(1) melakukan salat dekat punggung orang yang berdiri atau duduk sepanjang tidak mengganggu salat;

(2) salat di depan mushaf (kumpulan lembaran) Al-Qur’an atau pedang yang tergantung;

(3) sujud di atas permadani yang bergambar makhluk hidup;

(4) membunuh binatang yang membahayakan sewaktu salat, seperti ular dan kalajengking;

(5) menghilangkan debu pada pakaian;

(6) memberitahukan imam atas kelupaan atau kesalahannya membaca dengan bacaan subhana Allah (Maha Suci Allah) untuk laki-laki dan menepuk tangan untuk wanita; dan

(7) berganti-ganti dengan dua kaki karena lama berdiri di dalam salat.

Disunahkan setelah Salat. Setelah melakukan salat fardu disunahkan melakukan hal berikut:

(1) menunggu atau tinggal sebentar bagi imam bersama jemaah, dengan maksud untuk memberi kesempatan kepada wanita untuk keluar lebih dahulu dan laki-laki tidak bercampur dengan wanita; hal ini didasarkan pada hadis Ummi Salamah yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW apabila telah selesai salat, tinggal sebentar di tempatnya sebelum ia berdiri;

(2) meninggalkan tempat salat ke arah kanan; dan (3) memisahkan antara salat fardu dan salat sunah dengan perkataan atau berpindah tempat.

Tempat yang Dilarang untuk Salat. Ulama sepakat bahwa ada tujuh tempat yang dilarang untuk melakukan salat. Kata “dilarang” oleh Mazhab Hanbali dan Mazhab Hanafi diartikan dengan diharamkan, sedangkan oleh Mazhab Syafi‘i diartikan makruh.

Ketujuh tempat tersebut dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang mengatakan, “Rasulullah melarang untuk melakukan salat pada tujuh tempat: tempat menimbun baja, tempat penyembelihan hewan, kuburan, di tengah jalan, di kamar mandi, tempat berbaring unta, dan di atas Baitullah.”

Hal yang Membatalkan Salat. Hal yang membatalkan salat adalah:

(1) mengucapkan dua huruf di luar ucapan salat;

(2) makan dan minum;

(3) melakukan banyak perbuatan dan berturut-turut di luar perbuatan salat;

(4) membelakangi kiblat;

(5) membuka aurat dengan sengaja;

(6) terjadi dengan tiba-tiba hadas kecil atau hadas besar;

(7) jatuhnya najis yang tidak dimaafkan pada badan, pakaian, dan tempat;

(8) tertawa terbahak-bahak;

(9) murtad, mati, atau menjadi gila;

(10) berubahnya niat;

(11) salah membaca;

(12) meninggalkan rukun salat tanpa kada (penggantian) dan meninggalkan syarat tanpa uzur (halangan);

(13) makmum mendahului imam dalam suatu rukun dengan sengaja;

(14) dalam keadaan salat, yang bertayamum mendapatkan air; dan

(15) dengan sengaja bersalam sebelum sempurnanya salat.

Salat Sunah. Salat sunah disebut juga salat an-nawafil atau at-tathawwu‘. Yang dimaksud dengan an-nawafil adalah semua perbuatan yang tidak termasuk dalam fardu. Disebut an-nawafil karena amalan tersebut menjadi tambahan atas amalan fardu.

Menurut Mazhab Hanafi, salat an-nawafil terbagi atas dua macam, yaitu salat masnunah dan salat mandubah; keduanya berarti sunah. Akan tetapi secara hakiki terdapat perbedaan antara kedua istilah itu.

Salat masnunah adalah salat sunah yang selalu dikerjakan Rasulullah SAW, jarang ditinggalkannya, disebut juga salat sunah mu’akkad (yang dipentingkan). Salat mandubah adalah salat sunah yang kadang-kadang dikerjakan Rasulullah SAW dan kadang-kadang tidak, disebut juga salat sunah gair mu’akkad.

Salat sunah mu’akkad adalah:

(1) dua rakaat sebelum salat subuh;

(2) empat rakaat sebelum salat zuhur atau sebelum salat Jumat dengan satu kali salam;

(3) dua rakaat sesudah salat zuhur ditambah lagi dua rakaat dan empat rakaat sesudah salat Jumat dengan satu kali salam;

(4) dua rakaat sesudah salat magrib;

(5) dua rakaat sesudah salat isya; dan

(6) salat tarawih yang dilakukan pada malam bulan Ramadan, sesudah salat isya hingga terbit fajar. Sunah dilakukan secara berjemaah di masjid.

Adapun salat sunah gair mu’akkad adalah:

(1) dua rakaat setelah mengerjakan salat sunah dua rakaat sesudah salat zuhur;

(2) empat rakaat sebelum salat asar dengan satu kali salam;

(3) empat rakaat sebelum dan sesudah salat isya dengan satu kali salam; dan

(4) salat sunah awwabin, yaitu salat sunah yang dilakukan dengan tujuan mengharapkan tobat dan meminta ampun kepada Allah SWT. Salat ini dilakukan sesudah salat magrib sebanyak enam rakaat dengan satu, dua, atau tiga kali salam.

Hal ini didasarkan pada surah al-Isra’ (17) ayat 25 yang berarti: “…maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat” dan hadis yang diriwayatkan at-Tabrani dari Ammar bin Yasir yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang melakukan salat sesudah magrib enam rakaat, diampunkan segala dosanya.” Salat sunah yang tersebut di atas merupakan salat sunah rawatib (salat sunah yang dikaitkan dengan salat fardu).

Adapun salat sunah yang tidak berkaitan dengan salat fardu adalah sebagai berikut.

(1) Salat duha, dilakukan sebanyak delapan rakaat (sekurang-kurangnya dua rakaat). Waktu pelaksanaannya adalah sekitar setengah jam sesudah matahari terbit sampai dengan beberapa saat sebelum matahari tergelincir.

(2) Dua rakaat sesudah wudu.

(3) Salat tahyatul masjid (penghormatan terhadap masjid), dilakukan sebanyak dua rakaat bagi orang yang memasuki masjid.

(4) Salat tahajud (malam), dilakukan sebanyak dua sampai delapan rakaat.

(5) Salat istikharah yang dilakukan untuk meminta kepada Allah SWT agar memilihkan salah satu dari beberapa pilihan untuk dilakukan. Salat ini dikerjakan sebanyak dua rakaat. Setelah salat dibaca doa istikharah (minta petunjuk memilih).

(6) Salat tasbih, yaitu salat yang di dalamnya dibacakan tasbih. Salat ini dianjurkan; jika dapat, dilakukan setiap malam dan kalau tidak dapat, sekali seminggu, sekali sebulan, sekali setahun, atau sekali seumur hidup. Jumlah rakaatnya empat dengan satu kali salam.

Tasbih yang dibacakan dalam salat tasbih itu adalah subhana Allah wa al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah wa Allah Akbar (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya, tiada Tuhan selain Allah dan Dia Maha Besar); dibaca 300 kali dengan perincian: (a) 15 kali sesudah membaca surah dan sebelum rukuk, (b) 10 kali sesudah membaca tasbih rukuk dan sebelum iktidal, (c) 10 kali setelah membaca tahmid iktidal,

(d) 10 kali setelah membaca tasbih sujud, (e) 10 kali setelah membaca doa duduk di antara dua sujud, (f) 10 kali setelah selesai membaca tasbih sujud kedua, dan (g) 10 kali ketika duduk istirahat sesudah sujud kedua pada rakaat pertama. Semua bacaan tersebut dilakukan kembali pada rakaat kedua, ketiga, dan keempat, sehingga jumlah keseluruhannya mencapai 300 tasbih.

(7) Salat hajat, yaitu salat yang bertujuan agar hajat seseorang mendapat perkenan Allah SWT. Salat sunah yang dibenarkan syarak tersebut dilakukan sesudah salat isya sebanyak dua rakaat (sebanyak-banyaknya dua belas rakaat).

Mazhab Syafi‘i menambahkan lagi beberapa salat sunah.

(1) Salat sunah mutlak, yaitu salat sunah yang dikerjakan kapan saja, kecuali pada waktu-waktu yang dilarang untuk melakukan salat sunah. Jumlah rakaatnya tidak terbatas.

(2) Salat sunah tobat, dilakukan setelah seseorang melakukan dosa atau merasa berbuat dosa, lalu ingin bertobat kepada Allah SWT. Salat ini merupakan perwujudan dari rasa menyesal atas perbuatan dosa yang dilakukan atau merasa berbuat dosa. Jumlah rakaatnya 2 sampai 6 rakaat.

(3) Salat sunah zawal (tergelincirnya matahari), dilakukan beberapa saat setelah tergelincirnya matahari. Jumlah rakaatnya dua. Pada rakaat pertama sesudah surah al-Fatihah dibaca surah al-Kafirun dan pada rakaat kedua dibaca surah al-Ikhlas.

(4) Salat sunah safar, dilakukan sepulang dari perjalanan (safar). Salat ini dilakukan dalam masjid sebelum memasuki rumah tempat tinggalnya.

(5) Salat witir, menurut Mazhab Syafi‘i, adalah sunah mu’akkad. Waktu salat witir adalah sesudah salat isya sampai terbit fajar. Bilangan rakaatnya ganjil, yaitu 1, 3, 5, 7, 9, atau 11 rakaat. Salat witir yang rakaatnya tiga dapat dilakukan dengan dua kali tasyahud serta satu kali salam dan dapat pula dilakukan dengan dua salam serta dua tasyahud.

Mazhab Syafi‘i mengganggap bahwa cara yang kedua itu lebih afdal daripada yang pertama. Surah yang dibaca pada rakaat salat witir adalah surah al-A‘la pada rakaat pertama, surah al-Kafirun pada rakaat kedua, dan surah al-Ikhlas serta al-Mu‘awwidzatain (surah al-Falaq dan surah an-Nas) pada rakaat terakhir.

Kunut dalam Salat. Ulama sepakat bahwa kunut dalam salat adalah sunah secara hukum. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang salat mana yang di dalamnya dapat dilakukan kunut.

Menurut Mazhab Hanafi, Mazhab Syafi‘i, dan Mazhab Hanbali, kunut disunahkan dalam salat fardu apabila turun bencana kepada kaum muslimin. Namun Mazhab Hanbali hanya membatasinya pada salat subuh dan Mazhab Hanafi pada salat jahar (keras bacaannya), yaitu salat magrib, salat isya, dan salat subuh.

Mengkada yang Luput. Kada adalah melaksanakan suatu kewajiban bukan pada waktunya atau setelah berakhir waktu yang ditentukan untuk itu. Salat merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan waktunya. Jika meninggalkan salat dengan sengaja, si pelaku akan berdosa.

Namun karena adanya halangan atau sebab tertentu, seseorang yang tidak dapat melakukan salat pada waktunya dapat melaksanakannya pada waktu lain dengan cara mengkadanya.

Sujud Sahwi. Sujud yang dilakukan dua kali pada akhir pelaksanaan salat karena tidak sengaja meninggalkan atau menambah aspek salat atau meragukan jumlah rakaatnya. Sujud ini disyariatkan untuk menambal dan melengkapi kekurangan yang terjadi di dalam salat.

Sujud Tilawah. Sujud yang dilakukan satu kali karena membaca atau mendengar ayat sajadah. Dalam Al-Qur’an ada 15 ayat sajadah yang terdapat dalam 14 surah.

Salat Khauf. Salat yang dilakukan pada saat genting, seperti dalam peperangan. Syariat salat khauf ini didasarkan atas firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 102 dan sunah Rasulullah SAW. Penyebab dilakukannya salat khauf adalah karena adanya rasa takut terhadap serangan yang datang dari pihak musuh.

Menurut Ibnu Abidin (ahli fikih dan usul fikih), kehadiran musuh merupakan syarat bagi dilaksanakannya salat khauf. Salat ini tidak hanya dilakukan dalam peperangan, tetapi juga dapat dilakukan dalam setiap situasi yang sangat menakutkan, seperti takut dari banjir, kebakaran, singa, pencuri, dan ular.

Adapun syarat salat khauf adalah:

(1) apabila peperangan yang dilakukan itu bersifat mubah atau boleh, baik peperangan yang bersifat wajib (seperti memerangi orang kafir yang menyerang kaum muslimin) maupun yang bersifat jaiz atau boleh (seperti melakukan penyerangan terhadap orang yang ingin merampas harta orang Islam) dan

(2) hadirnya musuh atau bahaya yang mengancam, baik bagi jiwa maupun harta.

Ulama sepakat bahwa salat khauf itu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

(1) dengan cara membagi jemaah atas dua kelompok dan setiap kelompok mempunyai imam, dan

(2) dalam keadaan yang sangat genting, yang tidak memungkinkan untuk berjemaah, diperbolehkan bagi tentara untuk melakukan salat sendiri-sendiri.

Adapun salat khauf yang dilakukan secara berjemaah dengan satu imam telah dijelaskan dalam berbagai hadis, sebagian terdapat dalam Sahih Muslim (kitab hadis Imam Muslim) dan sebagian besar terdapat dalam Sunan Abu Dawud (kitab hadis Abu Dawud).

Ada tujuh belas macam cara salat khauf yang digambarkan dalam hadis Nabi SAW, antara lain salat yang dilakukan oleh Nabi SAW di Asfan. Apabila musuh berada di arah kiblat, pertama-tama imam harus mengelompokkan jemaah atas dua saf atau lebih, kemudian mereka bersama-sama sampai sujud pada rakaat pertama.

Ketika imam sujud, saf yang pertama mengikutinya, sementara saf yang lain mengawasi hingga imam berdiri pada rakaat kedua. Apabila imam telah berdiri, saf yang di belakang sujud.

Pada rakaat kedua, saf yang mengawasi pada rakaat pertama melakukan sujud bersama imam, sementara saf yang lain mengawasi. Ketika imam duduk tasyahud, saf yang mengawasi melakukan sujud, kemudian semuanya bertasyahud bersama dan mengucapkan salam.

Apabila musuh tidak berada pada arah kiblat, yang pertama dilakukan imam adalah membagi jemaah atas dua kelompok, kelompok pertama mengikutinya dan kelompok kedua mengawasi.

Mereka hanya melakukan satu rakaat bagi salat yang jumlah rakaatnya dua dan hanya melakukan dua rakaat bagi salat yang jumlah rakaatnya tiga atau empat. Kemudian mereka masing-masing menyempurnakannya sendiri. Adapun kedua golongan mengikuti imam sampai salat selesai.

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, t.t.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Rifai, Moh. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap). Semarang: CV. Toha Putra, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al‑Fikr, 1989.

A. Thib Raya