Salat istikharah adalah salat sunah dua rakaat yang diiringi doa tertentu untuk mohon petunjuk yang baik kepada Allah SWT sehubungan dengan rencana yang masih diragukan untuk dikerjakan atau tidak. Petunjuk Allah SWT ini biasanya diperoleh melalui mimpi setelah mengerjakan salat istikharah dan berdoa. Pekerjaan itu bisa untuk kepentingan pribadi maupun umum.
Salat istikharah dilakukan misalnya ketika akan memberikan nama bagi anak atau memilih jodoh. Dalam al-Agani (buku sastra Arab yang dikarang Abu Faraj al-Isfahani pada abad ke-10) disebutkan, ketika akan mengangkat Yazid menjadi khalifah, Mu‘awiyah melakukan salat istikharah.
Juga Ibnu Sa‘d (w. 230 H/844 M), seorang sejarawan, menyebutkan bahwa Khalifah al-Ma’mun (penguasa ke-7 Dinasti Abbasiyah) melakukan salat istikharah ketika akan mengangkat Abdullah bin Tahir sebagai gubernur Khurasan (820–822).
Pernah juga KH Bisri Sjansuri (tokoh terkemuka Nahdlatul Ulama dan Partai Persatuan Pembangunan atau PPP) melakukan istikharah ketika akan menentukan gambar lambang PPP yang pertama, yaitu gambar Ka’bah.
Cara petunjuk pada umumnya diperoleh melalui mimpi. Tetapi ada juga cara lain untuk memperoleh petunjuk tersebut, yaitu dengan cara membuka mushaf (kumpulan catatan yang tersusun dalam satu jilid) Al-Qur’an.
Dasar melakukan salat istikharah adalah hadis riwayat Imam Bukhari dari Jabir bin Abdullah al-Ansari dan kitab Musnad yang ditulis Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali).
Jabir bin Abdullah berkata yang berarti: “Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita (salat) istikharah dalam menghadapi segala urusan, sebagai mana beliau mengajar kita satu surah dari Al-Qur’an. Beliau bersabda, ‘Apabila salah seorang di antara kamu merencanakan sesuatu maka hendaklah rukuk (salat) dua rakaat bukan salat fardu.
(Setelah itu) berdoalah: Ya Allah, sungguh aku memohon petunjuk yang baik kepada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kemampuan kepada-Mu dari kekuasaan-Mu, aku memohon anugerah-Mu yang Agung, karena hanya Engkaulah yang kuasa sementara aku lemah, Engkaulah Yang Mengetahui dan aku tidak mengetahui, dan Engkaulah Yang Maha Mengetahui atas hal-hal yang gaib.
Ya Allah sekiranya Engkau mengetahui bahwa hal ini (disebut rencana pekerjaannya) adalah baik bagiku dalam urusan agama, kehidupan, kesudahan urusanku (atau beliau bersabda, ‘urusanku sekarang dan yang akan datang’) berikanlah aku kekuatan dan kemudahan untuk mengerjakannya, kemudian berkahilah aku dalam urusan itu.
Dan sekiranya Engkau mengetahui bahwa hal ini buruk bagiku dalam urusan agama, kehidupan dan kesudahan urusanku (atau beliau bersabda, ‘urusanku sekarang dan yang akan datang’) maka jauhkanlah aku daripadanya dan jauhkan ia daripadaku. Dan berikanlah aku kekuatan untuk melakukan yang baik sekiranya ada, kemudian ridailah aku dalam melakukannya.’”
Jadi pada dasarnya, dalam segala urusan dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk memohon petunjuk kepada Allah SWT dengan salat istikharah dua rakaat dan membaca doa seperti tersebut di atas. Hal ini dilakukan baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan umum.
Dalam kitab Musnad, Ahmad bin Hanbal menyebutkan sebuah hadis yang mengatakan bahwa tanda atau upaya memperoleh kebahagiaan (saadah) adalah melakukan salat istikharah untuk memohon petunjuk kepada-Nya.
Riwayat dari Sa‘d bin Abi Waqqas berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda yang berarti: “Sebagian kebahagiaan manusia (anak Adam) adalah istikharahnya kepada Allah, dan kebahagiaan manusia adalah ridanya menerima ketentuan Allah, dan celakanya anak Adam adalah meninggalkan istikharah kepada Allah, dan celakanya anak Adam adalah bencinya kepada ketentuan Allah ‘azza wa jalla (Maha Mulia dan Maha Agung).”
Orang yang suka melakukan istikharah kepada Allah SWT berarti memahami benar bahwa dalam setiap urusan, pada hakikatnya Allah SWT-lah yang menentukan, sedangkan manusia hanya merencanakan dan melaksanakannya.
Dalam kitab al-Jami‘ as-sagir (Himpunan Hadis Singkat) yang disusun Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti (w. 911 H/1505 M) juga disebutkan hadis yang berarti: “Jika kamu merencanakan sesuatu, beristikharahlah kepada Tuhanmu, dalam urusan itu sebanyak tujuh kali, kemudian pertimbangkanlah apa yang telah ada di hatimu, maka pilihan ada di dalamnya.”
Dalam diri manusia sering terdapat keraguan dalam mengambil keputusan. Padahal ada perintah untuk meninggalkan keraguan itu menuju pada yang tidak ragu, dan salah satu jalannya adalah beristikharah memohon petunjuk yang baik kepada Allah SWT.
Salat istikharah sebaiknya dilakukan pada waktu tengah malam yang hening, sehingga doa bisa dilakukan dengan khusyuk. Salat istikharah dikerjakan sebagaimana salat biasa, yakni dengan niat memohon petunjuk Allah SWT.
Dalam kitab al-Adzkar (Zikir) yang ditulis Imam an-Nawawi, diterangkan bahwa surah yang dibaca setelah al-Fatihah adalah surah al-Kafirun pada rakaat pertama dan surah al-Ikhlas pada rakaat kedua.
Menurut sebagian ulama salaf, pembacaan surah al-Kafirun harus dilanjutkan dengan pembacaan surah al-Qasas (28) ayat 68–69 yang berarti: “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih-Nya.
Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan.”
Pada rakaat kedua, pembacaan surah al-Ikhlas harus dilanjutkan dengan pembacaan surah al-Ahzab (33) ayat 36 dengan diulang tujuh kali yang berarti:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
Setelah ucapan salam, dilakukan pembacaan doa seperti disebutkan dalam hadis yang pertama, dimulai dengan hamdalah (alhamdulillah) dan selawat, lalu diakhiri dengan hamdalah.
Menurut sebagian pendapat, setelah doa selesai, dapat dirasakan sesuatu yang pertama kali masuk di hati. Pada saat itulah diperoleh isyarat kebaikan. Menurut pendapat yang lazim, setelah berdoa, sebaiknya tidur (masih dalam keadaan suci) diteruskan dengan menghadap kiblat.
Apabila dalam mimpi ketika tidur itu tampak sesuatu yang berwarna putih atau hijau, maka rencana itu berarti baik. Tetapi apabila dalam mimpi itu tampak sesuatu yang berwarna hitam atau merah, maka rencana itu berarti buruk dan dianjurkan untuk meninggalkannya.