Salat gaib adalah salat sunah (jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat dosa) yang dilakukan atas seseorang yang meninggal dunia di suatu tempat atau negeri lain, baik jauh atau dekat. Mayat orang tersebut tidak berada di tempat orang yang melaksanakan salat atasnya.
Hukum salat gaib menurut Mazhab Syafi‘i, Hanbali, al-Auza’i, dan jumhur salaf (sebagian besar ulama yang terdahulu, yaitu generasi sahabat, tabiin, dan tabi‘ at-tabi‘in) adalah sunah.
Mereka menetapkan kesunahannya berdasarkan beberapa hadis Nabi SAW, antara lain hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Jabir RA yang berarti: “Sesungguhnya Nabi SAW melakukan salat atas mayat an-Najasyi (negus atau raja Ethiopia), beliau bertakbir atasnya empat takbir.”
Hadis lain yang senada dengan hadis di atas adalah: “Bahwa Nabi SAW memberitahu kematian an-Najasyi pada hari kematiannya, lalu beliau bersama para sahabat pergi ke musala, menyusun saf dan bertakbir atas an-Najasyi sebanyak empat takbir” (HR. Jamaah dari Abu Hurairah).
Banyak lagi hadis lain yang senada dengan dua hadis di atas yang dijadikan dasar hukum oleh ulama yang memandang bahwa hukum salat gaib adalah sunah.
Di samping pendapat di atas, terdapat pula pendapat lain, yaitu pendapat Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan Imam Malik, yang memandang bahwa pelaksanaan salat gaib tidak disyariatkan. Alasannya, salat gaib yang dilakukan Nabi SAW bersama beberapa orang sahabat hanyalah bersifat khusus (untuk an-Najasyi), bukan untuk setiap orang yang meninggal.
Oleh sebab itu, menurut para ulama ini tidak disyariatkan melakukan salat gaib untuk orang lain yang meninggal dunia di negeri lain, baik jauh ataupun dekat. Jika dilakukan salat gaib atas jenazah mereka, hukumnya adalah makruh.
Selain dari dua pendapat di atas, terdapat pula pendapat ketiga yang mencoba memadukan kedua pendapat yang telah berkembang itu. Pendapat ini dikemukakan oleh Syekh al-Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dan juga pernah disinyalir oleh al-Khattabi dan ar-Ruyani dari kalangan Mazhab Syafi‘i.
Mereka mengemukakan bahwa salat gaib disyariatkan apabila seseorang meninggal di tempat yang jauh dan jenazahnya tidak disalatkan oleh penduduk setempat. Apabila hal seperti itu terjadi, barulah disyariatkan salat gaib. Tetapi kalau tidak demikian, salat gaib tersebut tidak disyariatkan.
Alasan kelompok ini antara lain adalah hadis Nabi SAW yang berarti: “Sesungguhnya seorang temanmu meninggal bukan di tempat kamu, maka laksanakanlah salat untuknya” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan at-Tabrani). Para ulama di atas mengartikan kalimat “bukan di tempat kamu” dengan arti “di tempat yang tidak menyalatkan jenazah orang meninggal karena penduduknya nonmuslim”.
Haji Said Abdullah al-Hamdani, dosen luar biasa Fakultas Syariah IAIN (kini UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam bukunya Risalah Jana’iz cenderung pada pendapat ini, tetapi tetap menganggap baik melakukan salat gaib atas orang yang telah berjasa pada Islam, meskipun jenazahnya telah disalatkan orang di tempat meninggalnya.
Adapun cara melaksanakan salat gaib itu sama saja dengan cara pelaksanaan salat jenazah yang mayatnya ada di tempat salat. Pertama sekali orang yang akan melaksanakan salat itu harus bersih dari hadas besar dan hadas kecil serta bersih dari najis. Kemudian barulah orang yang akan salat itu berdiri menghadap kiblat dengan niat salat gaib.
Rukun selanjutnya persis seperti salat jenazah biasa, yakni takbiratulihram, membaca surah al-Fatihah, kembali takbir, membaca selawat atas Nabi SAW, takbir, membaca doa Allahumma igfir lahu warhamhu wa‘afihi wa‘fu ‘anhu (ya Allah, ampunilah dia, kasihanilah dia, maafkanlah dia, dan maafkanlah atas kesalahannya),
takbir, membaca doa Allahumma la tahrimna ajrahu wa la taftinna ba‘dahu wagfirlana walahu (ya Allah, janganlah Engkau menutup segala pahala amal perbuatannya dan janganlah menimbulkan fitnah setelah kematiannya, ampunilah kami dan dia), lalu membaca salam.
Selain itu tidak ada halangan untuk melakukan salat gaib secara berjemaah, seperti yang diperbuat Nabi SAW bersama sahabat beliau atas jenazah an-Najasyi.
Selanjutnya timbul lagi masalah tentang batas waktu melakukan salat gaib. Imam Syafi‘i tidak memberikan batas waktu yang pasti untuk melakukan salat gaib, tetapi Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) membatasi waktunya selama sebulan terhitung hari meninggalnya orang tersebut.
Imam Ahmad mengkiaskannya dengan salat di atas kubur yang batas waktunya dibolehkannya selama satu bulan, seperti tertera dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Daraqutni dari Ibnu Abbas: “Sesungguhnya Nabi SAW melakukan salat di atas kubur setelah sebulan lamanya.”