Gerakan yang berusaha menghidupkan kembali ajaran kaum salaf (orang terdahulu) disebut Salafiyah. Tujuannya adalah agar umat Islam kembali berpegang pada Al-Qur’an dan hadis serta meninggalkan pendapat ulama mazhab yang tidak berdasar dan segala bid’ah yang terselip di dalamnya. Gerakan Salafiyah ini dicetuskan Ibnu Taimiyah (pemikir Islam; 1263–1328).
Salafiyah adalah kata jadian yang berasal dari kata salafa, yaslufu, dan salafan yang berpadanan dengan kata taqaddama dan mada, yang dapat diartikan berlalu, sudah lewat atau terdahulu. As-Salaf berarti al-mutaqaddimuna fi as-sair, yakni orang yang terdahulu, berlalu, dan sudah lewat dalam tindakannya.
Dalam kepustakaan Islam sering disebut perkataan as-salaf as-salih, yang berarti “orang saleh yang terdahulu atau yang sudah lewat”. Para ahli menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan as-salaf as-salih adalah orang muslim yang hidup sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai abad ke-3 H.
Mereka terdiri dari para sahabat, tabiin, tabi‘ at-tabi‘in, dan atba‘ at-tabi‘in. Perhitungan seperti ini mengingat sabda Nabi SAW, “Sebaik-baiknya abad adalah abadku ini, kemudian abad berikutnya, dan abad berikutnya.”
Jika abad tersebut dihitung, yang pertama adalah masa sahabat Nabi SAW seperti Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan sahabat Nabi SAW lainnya; yang kedua adalah masa tabiin dan tabi‘ at-tabi‘in, seperti Ibnu Musayyab, al-Hasan al-Basri, Lais, Abu Hanifah (Imam Hanafi), dan Imam Malik; dan ketiga adalah masa atba‘ at-tabi‘in, seperti Imam Syafi‘i, Imam Hanbali, Bukhari, Muslim, dan pengarang Kitab Hadis Enam (al-Kutub as-Sittah) lainnya.
Walaupun perkataan “salaf” digunakan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, sejarah terjadinya perkataan “salaf” itu sendiri, sebagaimana dipakai dalam istilah sekarang, sulit ditemukan secara tepat. Memang para tokoh ulama yang menganjurkan agar umat Islam meniru ajaran salaf sering secara terang-terangan menyebutkan kata “salaf”.
Ibnu Taimiyah, misalnya, dalam tulisannya sering menyebut kata “salaf”. Ia menganjurkan agar umat Islam mengikuti dan menerapkan ajaran salaf dalam kehidupan agamanya karena pola hidup ajaran salaf adalah pola hidup yang sudah terbentuk oleh Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
Parameter kehidupan mereka adalah Al-Qur’an dan sunah semata dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga merekalah yang menjadi panutan ideal setiap muslim.
Kaum salaf memiliki beberapa sifat, antara lain tidak mencari pertentangan dan pertengkaran yang berkaitan dengan kada dan kadar; menghindarkan diri dari perdebatan yang tidak berujung, seperti masalah akidah; warak dan zahid; setia kepada Rasulullah SAW; dan benci terhadap bid’ah.
Setelah selesai masa salaf muncul masa khalaf, yang berarti “masa pengganti” atau “kemudian”. Ulama pada masa ini disebut ulama khalaf. Perbedaan antara salaf dan khalaf sering tampak pada masalah akidah dan penafsiran Al-Qur’an. Untuk kedua masa ini dalam bidang fikih ulama menggunakan istilah mutaqqaddimin (terdahulu) dan muta’akhkhirin (kemudian). Masa khalaf ini berakhir pada abad ke-4 H.
Setelah itu muncul suatu masa yang disebut masa taklid (meniru atau mengikuti). Pada masa inilah terjadi kemunduran umat Islam. Mujtahid mutlak, sebagaimana pernah terjadi pada masa salaf, tidak terjadi lagi. Yang banyak terjadi pada waktu itu adalah mujtahid mazhab.
Masa taklid disebut masa kemunduran karena umat Islam sangat mundur dalam berbagai bidang, baik pemikiran keagamaan, politik, sosial, ekonomi, maupun moral. Setelah Baghdad jatuh ke tangan pasukan Mongol, negara Islam jatuh bangun, para penguasa tidak berdaya, kezaliman merajalela, dan ulama tidak berijtihad secara murni lagi.
Sementara itu, masyarakat muslim banyak menjadi penyembah kuburan nabi, ulama, tokoh tarekat, dan sufi untuk mengharapkan berkat para nabi dan para wali. Mereka sudah meninggalkan Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW. Ciri masyarakat Islam pada waktu itu adalah melakukan perbuatan syirik dan bid’ah di samping percaya pada khurafat dan takhayul.
Dalam situasi seperti itulah muncul ulama yang ingin membangun kembali alam pikiran kaum muslimin dengan menyadarkan mereka agar kembali pada Al-Qur’an dan hadis sebagaimana yang telah ditempuh kaum Salaf. Melalui tulisannya, Ibnu Taimiyah sebagai tokoh penggeraknya mendesak kaum muslimin dengan gencar agar kembali pada ajaran yang utama, yakni Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW.
Ia menginginkan agar ajaran Islam itu tidak dipertahankan sebagaimana adanya (das sein) dalam masyarakat, akan tetapi harus diwujudkan sebagaimana seharusnya (das sollen) seperti yang dikehendaki pembawanya, Nabi Muhammad SAW. Itulah ajaran yang telah dipraktekkan kaum Salaf.
Gerakan Salafiyah sering disebut pula gerakan tajdid (pembaruan), gerakan islah (perbaikan), dan gerakan reformasi. Ibnu Taimiyah disebut “bapak tajdid”, “bapak islah”, “bapak reformasi” atau “bapak pembaruan” dalam Islam. Bahkan ia dianggap sebagai muhyi atsar as-salaf (yang menghidupkan kembali ajaran salaf).
Tajdid sebenarnya merupakan watak ajaran Islam sendiri, karena di samping memelihara ajaran Islam yang utuh, sebagaimana contoh Nabi SAW, juga memecahkan problema baru yang senantiasa muncul dalam masyarakat Islam. Hal ini mengingat sabda Nabi SAW, “Allah akan membangkitkan bagi umat ini pada tiap-tiap permulaan seratus tahun, seseorang yang memperbarui agamanya” (HR. Abu Dawud).
Sifat gerakan ini tampak sekali dalam berbagai bidang kehidupan, baik yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan bahkan muamalah. Doktrin yang menonjol dalam gerakan ini antara lain adalah :
(1) pintu ijtihad tetap terbuka sepanjang masa;
(2) taklid atau ikut-ikutan tanpa mengetahui sumbernya di haramkan;
(3) kehatihatian dalam berijtihad dan berfatwa;
(4) perdebatan teologis (kalam), seperti Muktazilah, Jahamiyah, dan yang lainnya dihindarkan; dan
(5) ayat Al-Qur’an serta hadis yang mutasyabihat (tidak jelas menunjuk pada satu arti) diartikan apa adanya dengan cara tafwid (menyerahkan), tidak ditafsirkan dan ditakwilkan.
Adapun orang yang dianggap sebagai tokoh ajaran Gerakan Salafiyah atau yang disemangati dengan ajaran salaf sesudah Ibnu Taimiyah adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab.
Semangat salaf, kembali pada Al-Qur’an dan hadis serta berijtihad, dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh, dan Syekh Muhammad Rasyid Rida. Semua gerakan ini terjadi di tanah Arab. Di India, Sir Sayid Ahmad Khan dianggap oleh para penulis sebagai tokoh yang mempunyai semangat salaf.
Gerakan ini akhirnya menembus semua negara Islam dan negara yang berpenduduk muslim, seperti Indonesia yang pada waktu itu sedang berada di bawah cengkeraman kaum kolonial. Ulama Minangkabau, seperti Haji Miskin, sepulangnya dari Mekah menggerakkan dan menyebarkan ajaran salaf.
Gerakan ini seterusnya menyebar ke hampir seluruh pelosok tanah air sehingga menggetarkan kaum penjajah. Munculnya gerakan Paderi, Sumatra Thawalib, al-Irsyad, Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Persatuan Umat Islam (PUI), dilandasi dengan ajaran salaf.
Para penggerak ajaran salaf, baik perseorangan maupun organisasi, menyebarkan idenya melalui buku yang dikarangnya, majalah, madrasah, dan bahkan perguruan tinggi, di samping pesantren. Hasil karya Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, dan Ibnu Qayyim, yang berisi keinginan mereka untuk memperbaiki kondisi keagamaan umat Islam, tersebar di mana-mana.
Dalam menyebarkan ajaran salaf, sejumlah organisasi di Indonesia menyelenggarakan pendidikan formal dan nonformal di samping menerbitkan media cetak, misalnya Muhammadiyah memiliki majalah Suara Muhammadiyah dan Persis menerbitkan majalah Pembela Islam dan Risalah. Arab Saudi merupakan model negara yang bermazhab salaf karena negara ini menganut aliran salaf.