Secara kebahasaan, sahw berarti “siuman” atau “cuaca cerah”. Dalam tasawuf sahw berarti “sadar kembali setelah melalui keadaan mabuk (sakar)”. Tidak ada sahw tanpa sakar. Orang yang berada dalam keadaan sakar sering kali menemui ajalnya. Dalam hal demikian, sahwnya terjadi ketika ia berada dalam keadaan sadar dan kembali ke alam barzakh pada waktu ia bangkit pada hari kiamat.
Dalam keadaan sakar orang kehilangan kesadaran akalnya, tetapi perasaan batinnya tetap berfungsi dan mampu menyadari sesuatu. Lain halnya dalam keadaan sahw, akal dan perasaan batin sama-sama berfungsi.
Dalam keadaan ini, terjadi keseimbangan antara fungsi akal dan perasaan batin dalam diri seseorang, sehingga segala sesuatu yang dihadapinya dapat diolah melalui kedua aktivitas rohani tersebut. Banyak sufi memandang bahwa keadaan sahw lebih tinggi dan lebih utama daripada keadaan sakar.
Dalam sejarah perkembangan tasawuf ada dua tokoh sufi terkenal, yaitu Mansur al-Hallaj (244 H/858 M–309 H/922 M) dan asy-Syibli (w. 334 H/946 M), yang pernah mengalami sakar dan sahw.
Ketika asy-Syibli mendengar bahwa al-Hallaj menjalani eksekusi, ia berkata, “Saya dan al-Hallaj minum dari satu gelas yang sama, lalu saya berada dalam keadaan sahw dan dia berada dalam keadaan sakar, sehingga dia menjalani eksekusi.”
Berbeda dengan yang dialami asy-Syibli, al-Hallaj lebih sering mengalami sakar, sehingga ia terkenal dengan ucapan ganjil (syathahat) yang diucapkannya dalam keadaan seperti itu. Misalnya, “Aku adalah Yang Maha Benar.” Perkataan ini diucapkannya ketika ia merasa dirinya telah hilang dalam kebesaran Yang Maha Mutlak.
Dalam tasawuf dikenal pula peristiwa sakar dan sahw yang dialami Nabi Musa AS sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an surah al-A‘raf (7) ayat 143 yang berarti: “Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.”
Peristiwa ini terjadi ketika Musa memohon untuk dapat melihat Allah SWT. Allah SWT menjawab permohonannya dengan mengatakan bahwa Musa pasti tidak akan sanggup melihat-Nya.
Karena itu, Allah SWT memerintahkannya melihat gunung yang menjadi objek bagi-Nya dalam menampakkan diri. Ketika gunung itu hancur, ia pun pingsan atau berada dalam keadaan sakar. Setelah beberapa lama ia sadar kembali atau sahw.
Sahw, sebagaimana juga sakar, mempunyai dua bentuk. Pertama, sahw karena Allah SWT. Misalnya, seseorang kehilangan kesadaran karena begitu takut kepada azab Allah SWT. Kehilangan kesadaran seperti ini disebut sakar karena (azab) Allah SWT.
Apabila ia sadar kembali, kesadarannya itu disebut sahw karena (azab) Allah SWT. Suatu kali Rabi bin Khaisam, salah seorang tabiin, bertandang ke rumah Abdullah bin Mas‘ud RA. Di tengah jalan ia melihat orang yang sedang membakar besi hingga warnanya merah.
Setelah menyaksikan hal demikian, Rabi bin Khaisam jatuh pingsan (sakar) dan baru keesokan harinya ia sadar kembali (sahw). Ketika ditanya mengapa ia sampai pingsan, Rabi bin Khaisam menjawab, “Aku teringat kepada penghuni neraka yang dibakar dengan api yang menyala-nyala.”
Sakar yang dialami oleh Rabi bin Khaisam adalah sakar karena takut terhadap azab Allah SWT dan sahw yang dialaminya setelah itu juga dipandang para sufi sebagai sahw karena takut akan azab Allah SWT.
Kedua, sahw karena nafsu. Misalnya, seseorang kehilangan kesadarannya karena kecantikan orang lain. Sakar ini muncul karena nafsu dan sahw yang timbul sesudahnya dipandang pula sebagai sahw karena nafsu.
Dalam Al-Qur’an diceritakan, tatkala mendengar cercaan wanita di kota itu terhadap dirinya, Zulaiha lalu mengundang mereka. Ia menyediakan sebilah pisau untuk memotong jamuan kepada setiap orang.
Kemudian ia memerintahkan Yusuf AS keluar ke tengah para wanita itu. Tatkala wanita itu melihat Yusuf AS, mereka kagum terhadap ketampanannya, sehingga tanpa mereka sadari jari mereka teriris pisau.
Setelah Yusuf kembali, barulah mereka sadar dan merasa sakit akan luka tersebut (QS.12:31). Ketidaksadaran yang dialami para wanita itu merupakan bentuk sakar karena hawa nafsu.Begitu pula sahw yang mereka peroleh adalah sahw karena nafsu. Sahw seperti itu akan segera terhapus jika pelakunya segera bertobat kepada Allah SWT.
Keadaan sahw dan sakar tidak terlepas dari iman yang merupakan sumber keduanya. Pengalaman sahw dan sakar seseorang yang mempunyai iman yang kuat senantiasa akan diwarnai hal yang sama, yakni sahw dan sakar karena Allah SWT.Sebaliknya, apabila seseorang tidak memiliki iman, pengalaman sahw dan sakar orang itu bersumber dari hawa nafsu.