Isma‘il Safawi adalah pendiri dan raja pertama Dinasti Safawi, Iran. Dinasti ini bermula dari gerakan tarekat yang didirikan Syekh Safiuddin Ardabeli (1252–1334) di Ardabil, Azerbaijan. Isma‘il Safawi adalah keturunan keenam pendiri tarekat itu. Safiuddin adalah keturunan Musa al-Kazim, imam ke-7 Syiah. Ketika dipimpin Junaid bin Ibrahim (1447–1460), keturunan keempat Safiuddin, tarekat itu mulai bergerak di bidang politik.
Ketika tarekat di bawah kepemimpinan Junaid bin Ibrahim terlibat dalam bidang politik, timbullah konflik antara Junaid dan Kara Koyunlu (Domba Hitam), salah satu suku Turki yang berkuasa di sana ketika itu.
Junaid kemudian diasingkan ke suatu tempat dan di sana ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakir, Alaq Koyunlu (Domba Putih), juga salah satu suku bangsa Turki, dan tinggal di istana Uzun Hasan (memerintah 1453–1478).
Keadaan politiknya mulai kuat ketika Junaid beraliansi dengan Uzun Hasan dan kawin dengan saudara perempuan penguasa itu. Anaknya, Haidar, bahkan kawin dengan anak perempuan Uzun Hasan. Dari perkawinan antara Haidar dan putri Uzun Hasan inilah Isma‘il Safawi lahir.
Pada 1476 Alaq Koyunlu mengalahkan Kara Koyunlu. Akan tetapi, Alaq Koyunlu kemudian menjadi pesaing gerakan Safawiyah yang dipimpin Haidar, ketika yang tersebut terakhir ini berusaha menyerang Sircassia (kawasan barat laut Pegunungan Kaukasus) dan pasukan Syirwan (kawasan tenggara Kaukasus).
Alaq Koyunlu ternyata membantu Syirwan dan akhirnya pasukan Haidar dapat dikalahkan dan Haidar sendiri terbunuh. Semua anak dan istri Haidar ditawan, termasuk Isma‘il Safawi, selama 4,5 tahun, yaitu dari 1489 sampai 1493.
Setahun setelah dibebaskan dari tawanan, Isma‘il diangkat menjadi pimpinan gerakan Safawiyah karena kakaknya, Ali, dibunuh penguasa pada 1494. Ketika itu Isma‘il masih berumur 7 tahun.
Selama 5 tahun, Isma‘il dan pasukannya bermarkas di Jilan (di timur laut Iran), mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Suriah, dan Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan itu dinamakan Qizilbash (Red Caps: topi merah).
Pada 1501 Isma‘il dan pasukannya Qizilbash menyerang dan mengalahkan Alaq Koyunlu di Syurur dekat Nakhchivan.
Masih dalam tahun yang sama ia menaklukkan Tabriz, ibukota Alaq Koyunlu, dan di sana memproklamasikan dirinya sebagai raja (syah) pertama Dinasti Safawiyah.
Isma‘il Safawi berkuasa selama 23 tahun, yaitu sejak 1501 sampai 1524. Pada 10 tahun pertama ia dapat meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah yang sangat luas. Pada 1503, ia berhasil menghancurkan sisa kekuatan Alaq Koyunlu di Hamdana.
Pada 1504 ia menguasai Propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan, dan Yazd. Pada 1505 sampai 1507 ia menguasai Diyar Bakir. Pada 1508 ia menguasai Baghdad dan daerah barat daya Persia (Iran), dan pada 1509 ia menguasai Syirwan.
Pada 1510 terjadi peperangan antara Isma‘il dan Syaibak Khan, keturunan Jengiz Khan (penguasa Mongol; w. 1227) yang sudah menyerbu Khurasan untuk kedua kalinya. Dalam peperangan ini Isma‘il keluar sebagai pemenang dan ia pun berhasil menguasai Khurasan, Herat, dan Merv.
Dalam jangka waktu 10 tahun itu, wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent, yaitu wilayah di Asia, membentang mulai dari Laut Tengah, melalui daerah antara Sungai Tigris dan Sungai Eufrat, hingga ke Teluk Persia).
Keberhasilan itu mendorongnya untuk terus melakukan ekspansi ke daerah yang lebih luas lagi. Ia bukan saja dipandang sebagai pimpinan politik (raja) melainkan juga pimpinan rohani, bahkan menyebut diri penjelmaan Tuhan.
Ia menjadi penguasa tertinggi sebuah imperium yang sangat besar. Pengakuannya sebagai penjelmaan Tuhan dan sekaligus pimpinan rohani masyarakatnya sejalan dengan kepercayaan aliran Syiah yang dijadikannya ajaran dan aliran resmi yang dianut kerajaannya.
Pada 1514 pasukan Isma‘il bertemu dengan pasukan Sultan Salim dari Kerajaan Usmani (Ottoman) di Turki. Peperangan ini dilatarbelakangi perbedaan paham antara Suni dan Syiah. Sultan Salim sangat benci terhadap penganut aliran Syiah yang terdapat di wilayah kekuasaannya.
Ia kemudian mengadakan pengejaran terhadap orang yang dipandangnya sudah meninggalkan kepercayaan Suni. Di samping itu, terdapat alasan yang tidak berlatar belakang paham keagamaan itu, seperti alasan yang bersifat murni politik.
Surat-menyurat antara dua raja yang berkuasa itu sebelumnya menunjukkan adanya permusuhan itu. Angkatan perang Turki yang bergerak maju ke Azerbaijan dan Persia Barat mengalahkan orang Persia dalam sebuah perang besar di Chaldiran, dekat Tabriz, pada 6 September 1514.
Turki Usmani yang dipimpin Sultan Salim itu menang karena tentaranya lebih unggul dalam bidang organisasi, jumlah mereka lebih banyak, dan persenjataan mereka lebih lengkap. Kerajaan Safawi terselamatkan dengan pulangnya Sultan Salim ke Turki karena terjadinya perpecahan di antara para militer Turki di negerinya sendiri.
Akibat kekalahan, kehidupan Isma‘il berubah; ia kemudian lebih senang menyendiri. Untuk menghilangkan rasa dukanya, ia pun sibuk berburu. Ia meninggal dunia pada 1524 dan digantikan anaknya, Tahmasp (1524–1576).