Rumah sakit ini dibangun untuk mengenang jemaah haji Indonesia yang wafat pada musibah di Terowongan al-Muaisim, Mina, pada 2 Juli 1990. Ada empat rumah sakit haji di empat tempat embarkasi jemaah haji Indonesia: Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makassar.
Tujuan utama pembangunan rumah sakit haji adalah mendukung operasi pelaksanaan ibadah haji, yakni sebagai sarana peningkatan kesehatan jemaah haji sebelum pemberangkatan dan sesudah pelaksanaan ibadah haji. Di rumah sakit ini dilakukan deteksi akhir kesehatan jemaah haji Indonesia agar mereka dapat berangkat dalam kondisi kesehatan yang lebih baik.
Ide pembangunan rumah sakit haji di empat embarkasi ini timbul dari Presiden Soeharto (memerintah 1967–1998). Gagasan ini diwujudkan sebagai monumen untuk mengenang para syuhada haji Indonesia yang wafat dalam peristiwa Terowongan al-Muaisim, Mina.
Jumlah jemaah haji Indonesia yang meninggal dalam peristiwa itu tercatat sebanyak 631 orang. Dalam musibah tersebut, jumlah korban meninggal paling banyak berasal dari Asia Tenggara, khususnya dari Indonesia, karena hampir seluruh jemaah haji Indonesia mengambil lokasi perkemahan di Harratul Lisan yang bera-da di balik Terowongan al-Muaisim.
Mereka harus melewati terowongan tersebut ketika menuju tempat melempar ketiga jumrah di Mina. Lokasi perkemahan bagi jemaah haji tersebut ditentukan pemerintah Arab Saudi. Harratul Lisan dipilih karena besarnya jumlah jemaah haji Indonesia setiap tahun, sementara tempat lain dipandang tidak memadai untuk menampung jumlah jemaah sebanyak itu.
Menurut Presiden Soeharto, peristiwa kecelakaan Mina sangat menyayat hati umat Islam dan keluarga yang ditinggalkan. Mereka wafat dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Tetapi menurutnya, umat Islam tidak boleh hanya larut dalam duka dan kesedihan, melainkan hendaknya mengambil hikmah dari musibah tersebut.
Dengan kejadian itu hendaknya semakin disadari bahwa ibadah haji merupakan perjalanan yang berat dan penuh risiko. Karena itu, perlu dipersiapkan jemaah haji yang memiliki fisik dan mental yang kuat. Salah satu upaya meningkatkan kesehatan fisik jemaah haji adalah melalui pembangunan rumah sakit haji agar kesehatan para jemaah haji dapat dideteksi sebelum dan sesudah melaksanakan ibadah haji.
Sebagai langkah awal pembangunan rumah sakit haji, pada tahun 1990 Presiden Soeharto menunjuk tiga menteri ex officio sebagai pembina, yaitu menteri Dalam Negeri, Rudini; menteri Kesehatan, Adhyatma; dan menteri Agama, Munawir Sjadzali. Proses selanjutnya adalah pembentukan Panitia Pusat Pembangunan Empat Rumah Sakit Haji yang diketuai dr.
H Tarmizi Taher yang ketika itu menjabat sebagai sekjen Departemen Agama. Panitia ini beranggotakan dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama (Drs. H Amidhan), ketua umum Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (Dr. Sulastomo, M.P.H.), dirjen Pelayanan Medis Departemen Kesehatan RI (Dr. Broto Wasisto, M.P.H.), dan dirjen Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri RI (Drs. H Faisal Tamin).
Untuk mengoordinasi pembangunan rumah sakit haji di setiap daerah embarkasi, dibentuk pula panitia daerah. Panitia Daerah DKI diketuai wakil gubernur Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan sebagai pembina adalah gubernur DKI.
Panitia Daerah Tingkat I Jawa Timur diketuai wakil gubernur Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan sebagai pembina adalah gubernur Jawa Timur. Panitia Daerah Tingkat I Sumatera Utara diketuai asisten Kasos Sekwilda, dan sebagai pembina adalah gubernur Sumatera Utara.
Panitia Daerah Sulawesi Selatan diketuai oleh wakil gubernur, dan sebagai pembina adalah gubernur Sulawesi Selatan. Pelaksanaan teknis pembangunan rumah sakit haji tersebut selanjutnya diserahkan kepada umat Islam dan gubernur di tempat masing-masing rumah sakit itu akan didirikan.
Sebagai modal awal, Presiden Soeharto memberikan dana sebesar 2 miliar rupiah. Masing-masing rumah sakit haji mendapat Rp500 juta. Dana awal tersebut mendapat tambahan dari berbagai pihak sehingga modalnya menjadi 5,2 miliar rupiah. Dalam pembangunannya, para gubernur tersebut juga memperoleh dana bantuan dari umat Islam setempat yang diserahkan melalui BAZIS, dan dari pemerintah daerah.
Selain itu, pembangunan rumah sakit ini memperoleh sumbangan dana Raja Fahd dari Arab Saudi sebesar US$13,5 juta (US$27 miliar rupiah) yang diperoleh setelah Presiden Soeharto melaksanakan ibadah haji pada tahun 1991.
Dari keempat rumah sakit tersebut, yang pertama selesai dibangun adalah Rumah Sakit Haji Medan. Rumah sakit ini dibangun di atas tanah seluas 6 ha. Pembangunan tahap pertama seluas 12.000 m2 menghabiskan dana sebesar Rp9.498.603.546. Rumah sakit ini diresmikan Presiden Soehar-to pada 4 Juni 1992.
Menyusul pada tahun yang sama Rumah Sakit Haji Ujungpandang yang dibangun di atas tanah seluas 3,5 ha. Tahap pertama pembangunannya seluas 3.330 m2 menelan biaya Rp6.244.538.600. Penggunaannya juga diresmi-kan Presiden Soeharto pada 16 Juli 1992. Yang ketiga adalah Rumah Sakit Haji Surabaya yang dibangun di atas tanah seluas 2,4 ha.
Pembangunan tahap pertama dengan luas 17.600 m2 menghabiskan biaya Rp15.450.000.000. Rumah sakit ini juga diresmikan Presiden Soeharto pada 17 April 1994. Pada tahun yang sama, tepatnya 12 November 1994, diresmikan pula Rumah Sakit Haji Jakarta oleh Presiden Soeharto. Rumah sakit haji yang terakhir diresmikan ini dibangun di atas tanah seluas 1 ha.
Tahap pertama pembangunannya dengan luas 14.000 m2 menghabiskan biaya sebanyak Rp29.200.950.000. Rumah sakit ini didukung oleh sejumlah tenaga dokter spesialis dengan peralatan yang serba canggih dan mutakhir.
Meskipun menggunakan nama “rumah sakit haji”, pelayanan empat rumah sakit ini tidak hanya terbatas kepada umat Islam, terlebih lagi tidak khusus ditujukan kepada jemaah haji, melainkan juga diperuntukkan bagi segenap warga Indonesia. Semuanya dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan kesehatan masyarakat setempat sesuai dengan strategi pembangunan kesehatan di daerah.
Ciri khas keempat rumah sakit haji ini ialah pemberian pelayanan kesehatan secara islami, yang direalisasi antara lain dengan memberikan kemudahan bagi masyarakat yang tidak mampu, dan menjadi tempat berbagai kegiatan dakwah islamiah.
Walaupun rumah sakit haji hanya dibangun pada empat tempat embarkasi, dan ini dinilai cukup oleh Presiden Soeharto, tidak tertutup kemungkinan mendirikan rumah sakit haji yang lain sesuai dengan kebutuhan umat Islam. Karena itu, kemudian ada dua rumah sakit didirikan dari hasil pengumpulan dana jemaah haji dan umat Islam di daerah setempat, yaitu di daerah Blitar (Jawa Timur) dan Klaten (Jawa Tengah). Kedua rumah sakit ini dibangun sebagai pengabdian jemaah haji kepada masyarakat sekaligus sebagai tempat dakwah islamiah.
Secara operasional, pengelolaan setiap rumah sakit haji dipimpin seorang direktur. Direktur yang memimpin keempat rumah sakit tersebut ketika selesai didirikan ialah dr. H Reti untuk Rumah Sakit Haji Jakarta, dr. H Widatmoko untuk Rumah Sakit Haji Surabaya, dr. H Sufyan Muhammad untuk Rumah Sakit Haji Ujungpandang, dan dr. H Gading Hakim untuk Rumah Sakit Haji Medan.
Pengelolaan seterusnya serta pemberian status keempat rumah sakit haji ini (swasta, semipemerintah, atau pemerin tah) diserahkan kepada pemerintah daerah setempat. Rumah Sakit Haji Medan sejak 1993 beralih ke status swasta karena dipandang sudah mampu berdiri sendiri, sedangkan sebelumnya masih membutuhkan tambahan dana operasional dari pemerintah.
Setelah diswastakan, Rumah Sakit Haji Medan mulai menampakkan perkembangan yang menggembira kan, dan pada 1994 mulai merencanakan pembangunan sekolah perawat sendiri untuk menyiapkan tenaga perawat dan melatih tenaga kerja perawat yang akan dikirim ke luar negeri, khususnya ke Timur Tengah.
Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta No. 13 Tahun 2004, bentuk badan hukum Rumah Sakit Haji Jakarta kini menjadi perseroan terbatas (PT). Adapun Rumah Sakit Haji Ujungpandang dan Surabaya sampai sekarang masih berstatus sebagai rumah sakit pemerintah.
Pihak Departemen Agama dan Departemen Kesehatan memonitor terus perkembangan kedua rumah sakit itu. Yang sanggup menjadi swasta akan diarahkan menjadi rumah sakit swasta, karena dengan cara demikianlah pengembangannya diharapkan akan lebih mudah.
DAFTAR PUSTAKA
Brosur Rumah Sakit Haji Jakarta. Jakarta: Rumah Sakit Haji, 1994.
Harian Pelita, No. 6491, Thn. XXI, 12 November 1994.
MusdaH Mulia