Dalam ilmu fikih, kata “rukyat” lazim disertai dengan kata “hilal” (al-hilal) sehingga menjadi rukyat hilal yang berarti “melihat bulan”. Rukyat hilal berhubungan erat dengan masalah ibadah, terutama puasa, yakni rukun Islam keempat. Rukyat dimaksudkan untuk menentukan awal bulan Ramadan dan tanggal 1 Syawal.
Fukaha (ahli fikih) sepakat bahwa untuk memastikan hari pertama dan hari terakhir bulan Ramadan dapat dilakukan dua cara, yakni melalui rukyat dan melalui hisab. Cara pertama dapat dilakukan terutama apabila keadaan cuaca cerah.
Apabila keadaan cuaca mendung, sehingga rukyat menjadi sulit atau tidak mungkin dilakukan, cara untuk memastikan hari pertama bulan Ramadan adalah dengan menyempurnakan jumlah bilangan bulan Syakban, yakni digenapkan menjadi 30 hari. Demikian pula untuk menentukan tanggal 1 Syawal (Idul Fitri), yakni dengan menyempurnakan jumlah bilangan bulan Ramadan.
Pendapat fukaha ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang menyatakan: “Puasalah kalian karena melihat bulan; dan berbukalah kalian, juga karena melihat bulan” (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Dari hadis ini, fukaha menarik kesimpulan hukum bahwa permulaan puasa itu harus berdasarkan atas rukyat apabila cuaca cerah; dan atas dasar istikmal (menggenapkan jumlah bilangan bulan Syakban) apabila cuaca buruk.
Khusus dalam keadaan cuaca mendung yang menye babkan rukyat tak mungkin dilakukan, Mazhab Hanbali berbeda pendapat dengan tiga mazhab fikih lainnya. Menurut pendapat terkuat Mazhab Hanbali, dalam kondisi mendung yang mengakibatkan rukyat tak dapat dilakukan, tidak harus digunakan istikmal.
Maksudnya, apabila pada 29 Syakban cuaca mendung sehingga sulit melakukan rukyat, umat Islam tidak harus menyempurnakan bilangan Syakban menjadi genap 30 hari, akan tetapi mereka wajib berniat puasa Ramadan pada malam harinya. Hanya saja apabila keesokan harinya diketahui pasti bahwa hari itu masih bulan Syakban, orang yang berpuasa (sa’im) itu tidak harus melanjutkan puasanya sampai sore hari.
Fukaha juga berbeda pendapat mengenai batas minimal jumlah kriteria orang yang melihat bulan sehingga rukyatnya dapat diyakini kebenarannya. Menurut Abu Hanifah (Imam Hanafi), apabila keadaan cuaca cerah, rukyat harus dilakukan oleh orang banyak.
Tetapi dalam keadaan cuaca buruk, rukyat dipandang cukup hanya dilakukan oleh seorang imam atau orang lain yang diberi wewenang untuk itu dengan kesaksian seorang muslim yang adil, berakal, dan balig.
Menurut Imam Malik, ada tiga kemungkinan untuk rukyat. Pertama, rukyat dilakukan orang banyak. Kedua, rukyat dilakukan dua orang yang adil, baik dalam keadaan cuaca cerah maupun mendung. Ketiga, rukyat dilakukan satu orang. Dalam hal yang ketiga ini, keharusan berpuasa atau berbuka hanya berlaku bagi orang yang melihat bulan atau bagi orang lain yang sama sekali tidak memperhatikan atau tidak mengerti masalah hilal.
Adapun bagi orang yang memperhatikan masalah hilal, tidak wajib baginya berpuasa atau berbuka hanya berdasarkan rukyat yang dilakukan satu orang. Menurut Imam Malik, rukyat yang mengikat orang banyak adalah rukyat yang batas minimalnya dilakukan dua orang yang bersifat adil.
Sementara menurut Mazhab Syafi‘i, rukyat terhadap hilal Ramadan atau hilal 1 Syawal sudah dianggap cukup dengan rukyat yang dilakukan seorang saja, baik dalam keadaan cuaca terang maupun mendung.
Namun ini disertai syarat bahwa pelaku rukyat adalah muslim yang berakal sehat, balig, merdeka, laki-laki, dan adil. Adapun menurut Mazhab Hanbali, kepastian hilal Ramadan bisa diterima berdasarkan rukyat seorang mukalaf baik laki-laki maupun perempuan, merdeka atau budak, dan bersifat adil.
Daftar pustaka
al-Bukhari, Imam. sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Mak-tabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail al-Imam. Subul as-Salam. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960.
Rifai, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: Toha Putra, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
as-Sabuni, Abd ar-Rahman. Syarh Qanun al-Ahwal asy-Syakhsiyyah. Damascus: al-Matba‘ah al-Jadidah, 1979.
Yunasril Ali