Riya

(Ar.: ria’ atau riya’)

Istilah riya’ dalam bahasa Arab berarti “menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya”. Secara terminologis, riya berarti “mencari tempat di hati orang lain dengan memperlihatkan sifat baik”. Orang riya beramal tidak untuk mencari rida Allah SWT, tetapi pujian atau kemasyhuran di masyarakat (QS.107:6).

Muhammad al-Barkawi (ahli tasawuf ) mengata­­kan bahwa riya adalah mencari manfaat duniawi dengan cara menampilkan amal ukhrawi (akhirat) serta segala hal yang mencerminkan amal tersebut dan penampilan itu sengaja dilakukan supaya di­lihat orang lain.

Dalam mengomentari pengertian riya tersebut,­ Abu Said al-Khadimi (ahli tasawuf) mengatakan­ bahwa apa yang dikemukakan al-Barkawi pada intinya memberi pengertian bahwa riya adalah mencari­ tempat dalam hati orang lain dengan cara menampilkan­ amal ibadah.

Al-Ghazali dalam menjelaskan haki­kat riya mengatakan bahwa riya adalah seseorang menampilkan amal dalam bentuk ibadah dengan tujuan supaya diperhatikan­ orang lain, sehing­ga­ ia mendapat tempat dalam hatinya.

Di sini tekanan utama adalah pada tujuan­ seseorang­ untuk mendapatkan­ kedudukan di hati orang lain. Jalan yang ditempuhnya­ untuk mencari tujuan tersebut ialah dengan memperlihatkan­ ketaatan kepada Allah SWT. Oleh karenanya, orang yang riya kemungkinan adalah ‘Abid (orang yang suka beribadah),­ namun objek ibadahnya itu bukan untuk Allah SWT tetapi­ untuk memikat hati orang lain.

Dari keterangan di atas terlihat bahwa riya mempunyai tiga unsur, yakni diri orang yang berniat riya, penampilan riya (yaitu ketaatan dan ibadah),­ dan sasaran riya.

Dilihat dari sudut niat orang yang riya, riya mempunyai empat tingkatan.

(1) Untuk memikat hati orang semata-mata. Ini adalah riya yang paling bu­ruk.

(2) Untuk memikat hati orang dan juga untuk mendapatkan pahala, tetapi niat untuk memikat­ hati orang lebih kuat.

(3) Untuk memikat­ hati orang dan juga untuk mendapat pahala, antara keduanya sama kuat.

(4) Niatnya untuk memikat hati orang dan untuk mendapatkan pahala,­ tetapi niatnya untuk mendapatkan­ pahala lebih kuat sedikit dari niat untuk memikat hati orang. Riya tingkat ini termasuk riya yang agak ringan.

Dilihat dari sudut amal yang ditampilkan, riya dapat dibagi dua, yakni riya dalam masalah dasar agama (usul al-‘aqidah wa asy-syari‘ah) dan riya dalam­ masalah sifat ibadah. Riya dalam masalah­ dasar agama mempunyai tiga tingkatan, yaitu:­

(1) riya dalam pokok keimanan, seperti meng­ucapkan dua kalimat syahadat tanpa diiringi dengan peng­akuan hati,

(2) riya dalam pokok iba­dah, seperti mem­bayar zakat karena malu dicela orang, dan

(3) riya dalam hal-hal sunah, seperti senantiasa menghadiri­ salat berjemaah­ untuk dipuji orang.

Adapun­ riya dalam masalah sifat ibadah juga terdiri atas tiga tingkatan,­ yaitu:

(1) menampilkan­ suatu tindakan dalam­ ibadah, yang kalau ditinggalkan­ menyebabkan berkurangnya ibadah tersebut, seperti menyempurnakan rukuk apabila dilihat orang;

(2) menampilkan­ suatu tindakan­ dalam ibadah, yang kalau ditinggal­kan me­nyebabkan ibadah tidak sempurna, seperti memperpanjang­ sujud; dan

(3) menampilkan sesuatu di luar dari yang disunahkan, se­perti mendahului orang banyak dalam­ menghadiri­ salat berjemaah.

Dilihat dari sudut wadah penampilan, menurut Imam al-Ghazali riya dapat dibagi menjadi lima bagian, ya­itu:

(1) riya dalam masalah agama dengan penam­pilan­ jasmani, seperti memperlihatkan kurusnya badan­ supaya orang mengira dia banyak berpuasa;

(2) riya dalam penampilan so­sok tubuh dan pakaian, seperti membiarkan be­kas sujud atau berpakaian seperti orang saleh supaya dikatakan sebagai orang saleh;

(3) riya dalam perkataan, seperti selalu berbicara­ masalah keagamaan­ supaya dikatakan orang ia ahli agama;

(4) riya dalam perbuatan, seperti sengaja memperbanyak­ salat sunah di ha­dapan orang supaya dikatakan orang saleh; dan

(5) riya dalam persahabatan, seperti sering memberati diri dengan mengiringi ulama supaya dikatakan­ orang bahwa dia termasuk orang alim.

Apabila dilihat dari sudut cara penampilan, riya dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

(1) riya’ jali (riya nyata), yakni riya yang diniatkan­ bahwa amal yang akan ditampilkan sengaja untuk tujuan mencari kedudukan, bukan karena­ Allah SWT ; dan

(2) riya’ khafi (riya tersembunyi), yakni riya yang sejak semula bukan bertujuan untuk mendapat­kan ke­dudukan, tetapi terpeleset pada tujuan tersebut.

Al-Khadimi memberi contoh riya’ khafi ini dengan se­seorang­ yang beribadah karena Allah SWT, tetapi suatu waktu orang melihat dia beribadah­ dan waktu itu timbul rasa gembira dalam hatinya. Menurut al-Ghazali, riya’ khafi ini lebih tersembunyi dari seekor semut hitam yang sedang berjalan dalam gelap.

Daftar pustaka

al-Ghazali, Imam. Ihya ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
–––––––. Minhaj al-‘Abidin. Singapura: Sulaiman Mar’i, t.t.
al-Khadami, Abi Sa’id. Bariqah Mahmudiyyah fi Syarh Tariqah Muhammadiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1348 H/1929 M.
al-Makki, Abu Thalib. Qut al-QulØb. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1961.

Yunasril Ali