Secara kebahasaan, rihlah (jamak: rihlat) berarti perjalanan atau pengembaraan; pelakunya disebut ar-rahhal atau ar-rahhalah, yakni pengembara atau penjelajah. Dalam historiografi Islam dikenal Kitab ar-Rihlah atau Kutub ar-Rihlat, yakni catatan tentang kesaksian dan pengalaman langsung si pengembara.
Sejak berkembangnya kekuasaan Islam di masa silam, bangsa Arab mengungguli bangsa lain di bidang pengem baraan maupun penemuan geografis. Sebelum Islam, orang Arab telah terbiasa melakukan rihlah terutama untuk tujuan perniagaan, sampai-sampai dalam surah al-Quraisy di ungkapkan kebiasan bangsa Quraisy bepergian ke negeri Yaman di musim dingin dan ke negeri Syam (Suriah) di musim panas, terutama melalui jalan darat.
Pengembaraan laut belum begitu dikenal secara umum pada masa sebelum Islam, tetapi diduga keras mereka juga sudah melakukan perjalanan perniagaan melalui jalan laut.
Setelah ekspansi Islam menjangkau wilayah yang sangat luas, bangsa Arab khususnya dan umat Islam pada umumnya melakukan perniagaan internasional. Pada abad kedua Hijriah sudah ada penjelajah muslim yang mencapai Cina.
Ketika wilayah Islam sudah semakin luas, rihlah merupakan faktor pengikat dan penghubung terpenting antara satu wilayah dan wilayah Islam lainnya pada masa kejayaan imperium Islam. Luasnya wilayah kekuasaan imperium Islam, apalagi wilayah budaya Islam yang terbentang dari Cina di timur dan Samudera Atlantik di barat, merupakan faktor utama yang mendorong semakin giatnya umat Islam melakukan perjalanan jauh, pengembaraan, dan penjelajahan. Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan bangsa Arab demikian gemar melakukan pengembaraan.
Pertama, faktor ilmiah. Para ilmuwan atau para penuntut ilmu mengembara dari satu pusat ilmu ke pusat ilmu lain dalam wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana diketahui, setelah ekspansi Islam menjangkau wilayah yang sangat luas, para sahabat dan tabiin menyebar ke berbagai wilayah untuk mengajarkan agama Islam kepada penduduk yang baru masuk Islam.
Ketika ilmu hadis mulai berkem bang, para penuntut ilmu dan perawi hadis dituntut untuk mengembara dari satu kota ke kota lain mencari para tabiin dan murid mereka untuk berguru kepada mereka, sehingga sebanyak mungkin hadis yang mereka riwayatkan dapat di himpun. Hampir seluruh ahli hadis pada abad ke-2 sampai ke-6 Hijriah adalah pengembara pencari hadis dari satu kota Islam ke kota Islam lainnya.
Setelah ilmu pengetahuan Islam berkembang pesat di berbagai kota tempat berhimpunnya para ilmuwan muslim, para penuntut berbagai bidang ilmu juga mengadakan pengembaraan dari satu kota ke kota lainnya seperti Basrah, Kufah, Baghdad, Bukhara, Samarkand, Nisabur, Fustat (Cairo), Iskandariyah, Tharablus (utara Libanon), Damascus, Baalbek (barat Libanon), Granada, Malaga, Mekah, dan Madinah.
Kedua, faktor agama. Dalam Islam dikenal ajaran yang mewajibkan orang untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah, yang merupakan rukun kelima Islam. Adanya kewajiban menunaikan ibadah haji ke Mekah ini mendorong umat Islam untuk bepergian dari wilayah yang sangat jauh menuju kota kelahiran dan pusat Islam itu. Apalagi, biasanya para haji itu juga melakukan ziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah, bahkan juga sampai ke Baitulmakdis di Yerusalem.
Ketiga, faktor ekonomi. Para pedagang melakukan perjalanan panjang antara wilayah di bagian timur dan wilayah barat. Dalam hal ini, orang Arab telah terbiasa sejak masa sebelum Islam. Setelah wilayah Islam semakin luas, bangsa Arab memasuki perniagaan internasional. Dengan rihlah itu mereka menghubungkan suatu pusat perdagangan di suatu wilayah Islam dengan pusat perdagangan di wilayah Islam lainnya: dari Andalusia ke India dan Turkistan, dari Cina ke Afrika Utara, dan sebagainya. Bahkan, mereka juga berhubungan dagang dengan bangsa nonmuslim.
Keempat, faktor keingintahuan. Faktor ini berjasa membuka tabir keterasingan suatu daerah. Pada mulanya faktor ini sangat terkait dengan faktor politik. Para pemimpin Islam yang berada di pusat kekuasaan ingin mengetahui keadaan masyarakat, iklim, dan fisik negeri taklukan untuk tujuan administrasi pemerintahan, yaitu untuk menentukan pendekatan cara pemerintahan yang lebih tepat.
Sikap ingin tahu juga terdapat di kalangan masyarakat umum, terutama di kalangan ilmuwan. Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa karya sejarah pertama yang dikarang para sejarawan adalah sejarah kota dan wilayah baru. Dalam hal ini, jasa para ahli geografi muslim sangat besar.
Kelima, faktor politik. Seseorang melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, atau dari satu propinsi ke propinsi lain, karena tugas politik pemerintahan. Bahkan, sejak pertama kali ekspansi Islam berhasil memperluas kekuasaannya, para pemimpin pemerintahan (khalifah) sudah memikirkan dan berbuat untuk menjalin hubungan antara satu daerah dan daerah lainnya, sehingga administrasi pemerintahan dapat berlangsung dengan baik.
Maka, misalnya, Umar bin Khattab telah melakukan pembaruan dan pengembangan sistem pos dan pembangunan jalan dalam rangka me wujudkan ketertiban administrasi. Pada masa sesudahnya, sistem pos ini semakin ditingkatkan.
Keenam, faktor dakwah. Banyak sekali mubalig yang melakukan perjalanan jauh untuk tujuan dakwah dan penyebaran agama Islam. Meskipun pada mulanya menyertai para pedagang muslim, di masa kemudian banyak dai yang melakukan perjalanan dakwah secara mandiri.
Orang Islam yang melakukan penjelajahan itu biasanya merekam apa yang mereka saksikan dalam pengembaraan dan perjalanan itu. Oleh karena itu, mereka menuangkan pengalaman pengembaraan dan perjalanan mereka dalam bentuk tulisan; menggambarkan kondisi jalan yang mereka lalui, jarak antara satu daerah dan daerah lain, keadaan fisik kota dan masyarakat yang mereka singgahi, kesulitan dan hambatan yang mereka hadapi di perjalanan, peradaban masyarakat seperti pertanian, industri, dan perdagangan, dan kehidupan sosial masyarakat. Karya seperti inilah yang disebut dengan karya rihlah.
Walaupun rihlah (dalam pengertian pengembaraan) banyak dilakukan umat Islam karena banyaknya faktor pendorong di atas, karya rihlah (dalam pengertian laporan perjalanan) tidak begitu banyak ditemui, dibandingkan dengan jumlah pengembaraan itu sendiri.
Mungkin hal ini disebab kan banyaknya karya rihlah yang tidak sampai ke generasi sekarang. Yang pasti adalah bahwa banyak pengembara yang memasukkan kesaksian dan pengalaman perjalanan mereka ke dalam karya sejarah dan geografi.
Memang antara karya rihlah dan karya geografi terdapat banyak persamaan; keduanya sama-sama menggambarkan kondisi fisik dan sosial suatu daerah. Akan tetapi, sebenarnya antara keduanya dapat dibedakan.
Rihlah didasarkan pada kesaksian dan pengalaman langsung, sementara geografi didasarkan pada penelitian yang lebih mendalam tentang gambaran iklim suatu daerah. Dalam hal geografi, seorang ilmuwan berusaha mendapatkan informasi lebih jauh dengan menghimpun informasi yang berhubungan dengan kondisi geografis suatu daerah dengan jalan menanyakannya kepada para haji, penuntut ilmu, pedagang, nelayan, dan sebagainya.
Meskipun seorang ahli geografi tidak harus menjadi seorang pengembara atau penjelajah, pada kenyataannya banyak ahli geografi yang sekaligus pengembara.
Beberapa ahli geografi yang sekaligus pengembara/ penjelajah adalah:
(1) Ibnu Khurdazbih (Khurasan, 205 H/820 M–300 H/912 M) yang meninggalkan beberapa karya geografi, antara lain Kitab al-Masalik wa al-Mamalik (Buku Tingkah Laku dan Para Budak);
(2) Abu al-Faraj Qudamah bin Ja‘far (w. 320 H/932 M) yang menulis Kitab al-Kharaj (Buku tentang Pajak Tanah);
(3) Ibnu Wazih al-Ya‘qubi (w. 897 M), seorang pengembara dan sejarawan muslim yang mengarang Kitab al-BuldÎn (Pembukaan Negeri-Negeri);
(4) Abu Ishak Ibrahim bin Muhammad al-Ustukhari, lebih dikenal dengan nama al-Karkhi (w. 340 H/951 M), yang mengarang buku Masalik al-Mamalik (Tingkah Laku Penguasa);
(5) Ibnu al-Faqih (abad ke-3 H) yang mengarang antara lain Kitab al-Buldan (Ringkasan Buku tentang Negeri-Negeri);
(6) Abu Ali Ahmad bin Umar bin Rustah (Ibnu Rustah) (abad ke-3 H) yang mengarang sebuah buku ensiklopedi geografi yang berjudul al-A‘laq an-Nafisah (Barang Berharga);
(7) Abu Hasan Ali bin al-Husain al-Mas‘udi (w. 345 H/956 M), seorang sejarawan pengembara dan ahli geografi terkenal yang mengarang buku Muruj adz-zahab (Padang Rumput Emas);
(8) Abul Rayhan al-Biruni (w. 448 H/1048 M), yang mengarang banyak buku, antara lain al-Atsar al-Baqiyyah ‘an al-Qurun al-Khaliyyah (Rahasia-Rahasia yang Tertinggal dari Masa Silam) dan Tarikh al-Hind (Sejarah India); dan
(9) Syarif al-Idrisi (493 H/1100 M–560 H/1166 M) yang menulis buku Nuzhah al-MusytÎq (Rekreasi yang Dirindukan).
Karya rihlah tertua yang sampai ke tangan generasi sekarang adalah berita para pengembara dari abad ke-3 dan ke-4 H. Mereka adalah para pedagang Arab muslim dari Sairaf (kota di pesisir selatan Iran), Oman, dan Basrah, yang berniaga sampai ke Cina.
Al-Mas‘udi menceritakan dalam bukunya bahwa ada seorang pedagang muslim asal Samarkand mem-bawa barang dagangan ke Irak. Dari Basrah ia berangkat ke Oman dan terus naik kapal menuju Cina. Seorang pengem-bara muslim yang bernama Sulaiman as-Sairafi, yang menulis dalam bukunya tentang Cina dan India, menyebutkan bahwa di Cina sudah terdapat generasi Islam dengan mendapat perlakuan istimewa.
Pada abad ke-4 H diriwayatkan bahwa seorang pengembara muslim asal Persia, Bazrak bin Syahriyar, yang mengarang kitab ‘Aja’ib al-Hind (Keajaiban India), menghimpun banyak kisah dari para nelayan dan pedagang di Sairaf, Basrah, dan Oman, tentang India, Timur Jauh, dan Afrika Timur.
Pada mulanya para pedagang yang berangkat ke Cina dan India berangkat dari pelabuhan Basrah. Akan tetapi karena sulit melalui Selat Persia, para pedagang itu akhirnya memilih Sairaf sebagai pelabuhan untuk bertolak ke India. Dari sana mereka meneruskan perjalanan ke Cina.
Di antara para penjelajah Arab terkenal pada abad ke-4 Hijriah adalah Ahmad bin Fadlan bin al-Abbas bin Rasyid bin Hammad. Ia lebih dikenal dengan julukan Ibnu Fadlan, yang diutus khalifah Abbasiyah ke-18, al-Muqtadir (berkuasa 908–932), ke Bulgaria 309 H/922 M. Ia kemudian menuliskan apa yang disaksikan dan dialaminya dalam perjalanannya.
Karya rihlahnya ini kemudian menjadi rujukan dasar bagi ahli geografi muslim, seperti al-Mas‘udi, al-Karkhi, danYaqut bin Abdullah al-Hamawi (dikenal juga dengan Yaqut ar-Rumi; 575 H/1179 M–626 H/1229 M). Al-Mas‘udi juga salah satu pengem-bara terkenal abad ke-4 H.
Ia pernah melakukan perjalanan ke India (yang meliputi Multan [Pakistan], Sailan [Sri Lanka], Sind [Pakistan], Punjab [utara India], dan Malabar [selatan India]), Cina, Madagascar, Asia Kecil, Suriah, dan kemudian menetap di Mesir.
Memasuki abad ke-5 H, penjelajahan atau pengembaraan umat Islam semakin banyak dan oleh karena itu banyak pula karya rihlah mereka yang sampai ke generasi sekarang. Pengembaraan itu dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu penjelajah asal Dunia Islam Timur dan asal Dunia Islam Barat. Perjalanan para penjelajah asal Dunia Islam Barat ke Dunia Islam Timur jauh lebih banyak daripada sebaliknya.
Para penjelajah asal Dunia Islam Timur antara lain sebagai berikut.
(1) Nasir Khasru Alawi (394 H/1004 M–481 H/1088 M) yang melakukan perjalanan di wilayah Iran, Turkistan, India, Hijaz, Suriah, Nisabur, Rayy (selatan Teheran), Tabriz (barat laut Iran), Harran (Iran), dan Mesir. Karyanya berjudul Safarnamah (Persia: Kisah Perjalanan).
(2) Abu al-Hasan Ali bin Abi Bakr al-Harawi (w. 611 H/1214 M), yang melakukan perjalanan di Irak, Suriah, Yaman, Hijaz, Mesir, Romawi, Sicilia, Afrika Utara, beberapa pulau di Laut Tengah, Constantinopel, dan India. Karyanya berjudul KitÎb al-IsyÎrÎt ilÎ Ma‘rifah az-Ziyarat (Buku Petunjuk untuk Mengetahui Perjalanan Ziarah).
(3) Abdul Latif al-Baghdadi (w. 629 H/1232 M) yang melakukan perjalanan di kota-kota di Irak, Suriah, Mesir, dan Azerbai-jan. Karyanya berjudul Kitab al-Ifadhah wa al-I‘tibar fi al-Umur al-Musyahadah wa al-hawadits al-Mu‘ayyanah bi Ardh Misr (Mengambil Faedah dan Iktibar dalam Perkara dan Peristiwa yang Disaksikan di Bumi Mesir).
Penjelajah asal Dunia Islam Barat antara lain sebagai berikut.
(1) Abu al-Husain Muhammad bin Ahmad al-Balansi yang terkenal dengan nama Ibnu Jabir (w. 614 H/1217 M), yang melakukan perjalanan panjang dari kota kelahirannya, Madinah, ke kota-kota Islam di Andalusia, seperti Granada, tempat ia kemudian menetap. Dari Granada ia melakukan perjalanan ke Timur.
Karyanya berjudul Kitab Tadzkirah bi al-Akhbar ‘an Ittifaqat al-Asfar (Mengenang Peristiwa yang Berkaitan dengan Perjalanan) yang lebih dikenal dengan nama Rihlah Ibnu Jabir (Pengembaraan Ibnu Jabir), berisi kisah perjalanannya ke Iskandariyah, Fustat (Cairo), Mekah, Madinah, Kufah, Baghdad, Mosul (utara Irak), Akko (barat laut Israel), dan Sicilia.
(2) Abu al-Hasan Ali bin Musa, dikenal dengan Ibnu Sa‘id al-Magribi (w. 685 H/1286 M) yang melakukan penjelajah an dari kota kelahirannya, Granada, ke negeri Islam bagian Timur, Iskandariyah, Cairo, Aleppo (utara Suriah), Damascus, Baghdad, Armenia, Mekah, dan Tunis. Karyanya berjudul al-Masyriq fi hilli al-Masyriq (Timur dalam Hiasan Timur).
(3) Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Balansi al-Abdari (w. akhir abad ke-7 H), yang melakukan perjalanan dari Andalusia ke negeri Timur, Mesir, dan Hijaz, melalui negeri Afrika Utara, Tilimsan (kota di Maroko), Aljazair, Bijayah, Qasantinah, Tunisia, Libya, Iskandariyah, dan Palestina. Karyanya berjudul Rihlah al-Magribiyyah (Perjalanan di Negeri Magribi/Afrika Utara).
(4) Abu Umar Abdullah bin Rasyid an-Nusyrisyi (w. abad ke-8 H), melakukan perjalanan dari Maroko ke Mesir dan Suriah. Karyanya berjudul ar-Rihlah (Perjalanan).
(5) Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin Muhammad bin Rasyid as-Sabti al-Fahri (w. 721 H/1321 M), yang melakukan perjalanan dari Andalusia ke Hijaz, Suriah, Mesir, dan Fés. Karyanya berjudul Rihlah al-Magribi wa al-Andalus (Perjalanan di Magribi dan Andalusia).
(6) Abu al-Baqa Khalid bin Isa al-Balawi (w. akhir abad ke-8 H), melakukan perjalanan dari Granada ke Hijaz untuk menunaikan ibadah haji, melalui negeri Magribi, Til-imsan, Bijayah, Aljazair, Tunisia, Iskandariyah, Cairo, Palestina, Madinah, dan Mekah. Karyanya berjudul Taj al-Mufarraq fi Tahliyah ‘Ulama’ Ahl al-Masyriq (Mahkota Pemisah tentang Penghormatan terhadap Ulama Timur).
(7) Abu Hamid al-Garnati (w. 565 H/1170 M), melakukan perjalanan dari Granada ke kota-kota di Mesir dan Suriah, Baghdad, Sicilia, Qazwen, Bulgaria, dan Khawarizm (Iran). Karyanya berjudul Tuhfah al-Albab wa Nukhbah al-A‘jab (Persembahan Hati dan Pilihan Kekaguman).
(8) Ibnu Batutah, yang melakukan perjalanan dari Tanjah (Tunisia) ke hampir seluruh negeri muslim, di samping Sri Lanka, India, Cina, Asia Kecil, Kaukasus, Bulgaria, Bukhara, Samarkand, Khurasan, Granada, Sudan, dan bahkan juga mampir di Indonesia, tepatnya di Kerajaan Samudera Pasai.
Karyanya berjudul Tuhfah an-Nazzar fi Gara’ib al-Amsar wa ‘Aja’ib al-Asfar (Persembahan Pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan) yang lebih dikenal dengan nama Rihlah Ibnu Batutah (Perjalanan Ibnu Batutah).
(9) Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad at-Tijani (w. 718 H/1318 M), melakukan perjalanan dari Tunisia ke Afrika Utara bagian barat dan kepulauan di Laut Tengah. Karyanya berjudul Rihlah at-Tijani (Perjalanan at-Tijani).
Karya rihlah ini sekarang dipandang sebagai sumber sejarah yang penting. Penulisan karya seperti itu masih terus bermunculan sampai sekarang, bukan saja tentang negeri muslim, tetapi juga tentang negeri non-Islam.
Di samping itu, ketika Barat mengalami kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan industri, banyak pula orang Eropa yang mengadakan penjelajahan demi membuka rahasia alam di seluruh dunia, termasuk ke negeri muslim, dan mereka seperti juga para penjelajah muslim di zaman dahulu menuangkan pengalaman dan kesaksian mereka dalam bentuk tulisan sehingga pengalaman itu dapat dibaca orang lain.
Daftar Pustaka
Ahmad, Ahmad Ramadhan. ar-Rihlah wa ar-Rahhalah al-Muslimun. Jiddah: Dar al-Bayan al-‘Arabi, t.t.
Duri, Abdul Aziz. The Rise of Historical Writing among the Arabs. Princeton: Princeton University Press, 1983.
Kasyif, Sayidah Ismail. Masadir at-Tarikh al-Islami wa Manahij al-Bahts fih. Cairo: Maktabah al-Khanji, 1976.
Salim, as-Sayid Abdul Aziz. at-Tarikh wa al-Mu’arrikhun al-‘Arab. Beirut: Dar an-Nahdah al-‘Arabiyah, 1986.
as-Silmi, Muhammad Shamil al-‘Alyani. Manhaj Kitabah at-Tarikh al-Islami. Riyadh: Dar Tibah li an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1986.
Usman, Muhammad Fathi. al-Madkhal ila at-Tarikh al-Islami. Beirut: Dar an-Nafa’is, 1988.
Badri Yatim