Rida berarti menerima segala yang terjadi dengan senang hati karena segala yang terjadi itu merupakan kehendak Allah SWT. Dengan kata lain, rida berarti rela menerima atau tidak menentang hukum dan kada (ketentuan) Allah SWT.
Dalam sebuah hadis qudsi (hadis yang maksudnya berasal dari Allah SWT, lafalnya berasal dari Nabi SAW) disebutkan: “Barangsiapa yang tidak rida dengan kada dan kadar-Ku hendaklah ia mencari Tuhan selain daripada aku” (HR. at-Tabrani).
Lebih tinggi dari peringkat rida di atas adalah rida dalam arti gembira menerima segala keputusan Allah SWT. Peringkat rida seperti itu sama dengan apa yang dikatakan Zunnun al-Misri: “Rida ialah kegembiraan hati dalam menghadapi kada Tuhan.” Ruwaim, sufi Abad Pertengahan, juga memberikan pengertian yang sama: “Rida ialah menghadapi ketentuan Tuhan dengan rasa girang.
” Rabi’ah al-Adawiyyah pernah ditanyai tentang rida, yakni kapan seorang hamba menjadi orang yang rida. Rabi’ah menjawab, “Apabila kegembiraannya di waktu ditimpa bencana sama dengan kegembiraannya di kala mendapat kurnia.” Rida pada peringkat pertama merupakan maqam bagi seorang sufi, sedangkan rida pada peringkat kedua adalah hal, yang merupakan karunia Allah SWT.
Rida mencerminkan puncak ketenangan jiwa seseorang. Pendirian orang yang telah mencapai maqam rida tidak akan terguncang oleh apa pun yang dihadapinya karena baginya segala yang terjadi di alam ini tidak lain adalah kekuasaan Allah SWT yang merupakan kodrat dan iradat (kehendak)-Nya yang mutlak.
Segalanya itu harus diterima oleh manusia dengan rasa tenang dan gembira karena itu adalah pilihan Allah SWT, yang berarti pilihan yang terbaik. Ibnu Ata’ (sufi Abad Pertengahan) mengatakan: “Rida adalah pandangan batin terhadap kekadiman pilihan Allah untuk hamba-Nya, karena Dia telah memilih kau untuk hamba-Nya itu dengan pilihan yang terbaik.”
Dalam sejumlah maqam yang dijalani seorang sufi, maqam rida lebih tinggi dari maqam sabar karena dalam pengertian sabar masih terkandung pengakuan adanya sesuatu yang menimbulkan penderitaan, sedangkan bagi orang yang telah berada pada maqam rida, ia tidak lagi membeda kan antara apa yang disebut musibah dan apa yang disebut nikmat. Semua itu diterimanya dengan rasa senang karena semuanya adalah hasil perbuatan Allah SWT.
Tumbuhnya rida dalam hati didahului oleh tumbuhnya mahabah (cinta). Kecintaan kepada Allah SWT menyebabkan hati rida kepada-Nya. Al-Ghazali membuat perumpamaan mengenai tumbuhnya rida dari cinta, yaitu laksana seseorang yang sedang dimabuk asmara. Suatu ketika ia sedang asyik memikirkan buah hatinya.
Pada saat itu tidak tampak olehnya orang lain selain buah hati yang sangat dirindukannya itu. Meskipun dipanggil, ia tidak mendengar panggilan itu karena hatinya telah terpaut sepenuhnya kepada kekasihnya itu. Demikian pula dengan orang yang sedang asyik bercinta dengan Maha Kekasih, yaitu Allah SWT.
Semua yang datang dari Allah SWT niscaya menyenangkan hatinya. Kalbunya terasa lega dalam menghadapi ketentuan Maha Kekasihnya itu. Istri Fatah bin Sukhruf al-Mausili (sufi dari Mosul, Irak) pada suatu hari tersandung kakinya ke batu, sehingga terkelupas kukunya.
Namun, ia tersenyum. Orang bertanya kepadanya, “Tidakkah ibu merasa sakit?” Ia menjawab, “Kelezatan pahala yang memenuhi kalbuku telah menghilangkan Lukisan kuno tentang sufi dari India rasa sakit di kakiku.”
Sahl at-Tustari, salah seorang sufi, suatu kali ditimpa oleh suatu penyakit, tetapi ia mengobati orang lain. Orang bertanya kepadanya, “Mengapa tuan mengobati orang lain sedangkan tuan sendiri masih sakit?” Dijawabnya, “Jentikan Kekasih tidak terasa sakitnya.”
Orang yang telah tertanam sikap rida dalam kalbunya akan memandang segala sesuatu itu indah dan menyenang kan. Sabda Nabi SAW:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla (Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung) dengan hikmat dan ke agungan-Nya telah menjadikan kesenangan dan kegembiraan pada rida dan yakin. Ia pun menjadikan kesedihan dan kedukaan pada ragu dan kedongkolan” (HR. at-Tabrani).
Keridaan hamba terhadap ketentuan Tuhannya bukan tidak berbalas. Allah SWT akan membalasnya dengan rida pula, seperti firman-Nya yang berarti:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya” (QS.98:7–8).
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman yang berarti: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya” (QS.89:27–28).
Meskipun seseorang merasa rida terhadap segala ketentuan Allah SWT, itu tidak berarti ia harus rida pula menerima kekufuran dan kemaksiatan. Menurut al-Ghazali, hal itu harus dipandang dari dua segi, yaitu kufur serta maksiat itu adalah kada Allah SWT yang merupakan kodrat-Nya dan kufur serta maksiat itu sifat hamba-Nya yang tidak diperintahkan Allah SWT.
Karena itu, kekufuran dan kemaksiatan tidak boleh diterima dengan rida. Dengan kata lain, kufur dan maksiat merupakan kada Allah SWT, tetapi Ia sendiri tidak rela hamba-Nya berbuat kufur dan maksiat. Ia memerintahkan hamba-Nya menjauhi kufur dan maksiat sebagaimana tertulis dalam kitab yang diturunkan-Nya.
Daftar Pustaka
Ali, Yunasril. Pelita Hidup Menuju Rida Ilahi. Jakarta: Kalam Mulia, 1991.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Ihya ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. at-Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959.
at-Tusi, Abu Nasr as-Sarraj. al-Luma’. Cairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1960.
Yunasril Ali