Secara bahasa, riba berarti “kelebihan atau penambahan”; menurut syarak, berarti “tambahan pada modal (uang) pinjaman yang diterima orang yang berpiutang sesuai dengan jangka waktu dan persentase bunga pinjaman”. Orang Arab mengenal riba dari orang Yahudi di Madinah, biasanya dengan bunga 40–100%.
Dalam Al-Qur’an ditemukan sebanyak tujuh kali kata riba, yakni pada surah al-Baqarah (2) ayat 275, 276, 278, dan 279, surah ar-Rum (30) ayat 39, surah an-Nisa’ (4) ayat 161, dan surah Ali ‘Imran (3) ayat 130. Islam mengharamkan riba dengan segala bentuknya.
Larangan tersebut terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW. Menurut nas Al-Qur’an, dasar hukum pelarangan riba secara bertahap adalah sebagai berikut. Pada tahap pertama turun surah ar-Rum (30) ayat39. Dalam ayat tersebut Allah SWT mencela riba dan memuji zakat.
Ayat ini secara halus menyebutkan bahwa riba itu tidak baik dan tidak bermanfaat bagi pelakunya karena si pelaku tidak akan mendapat pahala di sisi Allah SWT. Sebaliknya, dalam ayat ini dijelaskan bahwa perbuatan yang baik dan terpuji adalah zakat, yang akan menghasilkan pahala di sisi Allah SWT di akhirat.
Pada tahap kedua turun surah an-Nisa’ (4) ayat 161. Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa riba diharamkan bagi orang Yahudi. Namun, mereka melanggar larangan tersebut dan hal ini merupakan salah satu penyebab kemurkaan Tuhan terhadap mereka.
Dalam ayat ini Allah SWT sudah mengisyaratkan bahwa riba itu dilarang atau diharamkan bagi orang Yahudi, tetapi belum ditemukan nas secara mutlak yang menjelaskan bahwa riba itu haram bagi kaum muslimin.
Pada tahap ketiga, turun surah Ali ‘Imran (3) ayat 130. Dalam ayat ini terdapat nas yang secara jelas mengharamkan riba, yang disertai dengan penjelasan yang menerangkan bahwa riba yang bersifat pemerasan dari golongan ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah itu mengandung penganiayaan (az-zulm).
Dengan riba, pihak yang berutang yang pada umumnya kaum lemah (duafa) tidak mampu mengembalikan utangnya kepada pihak yang meminjamkan. Jika tidak bisa melunasi utangnya pada waktu yang dijanjikan, pihak yang berutang dipaksa melipatgandakan pembayaran utangnya dengan imbalan penundaan jangka waktu pembayaran.
Riba seperti ini disebut riba an-nasi’ah (riba penundaan) dan dalam ayat tersebut dihukumkan haram secara juz’i (sebagian). Artinya, riba yang diharamkan hanya yang mempunyai sifat berlipat ganda (adh‘afan mudha‘afah). Mengenai riba yang tidak berlipat ganda, hukumnya ditetapkan Allah SWT dalam ayat berikutnya.
Adapun pada tahap keempat atau tahap terakhir turun surah al-Baqarah (2) ayat 275, 276, 278, dan 279. Dalam ayat tersebut terdapat keterangan yang mengharamkan riba secara mutlak, jelas, dan tegas, tidak terdapat keraguan.
Kedua tahapan yang terakhir menjelaskan bahwa riba dalam jenis dan bentuk apapun tetap haram dan tidak diperbolehkan mengambil dan memakannya. Bahkan Allah SWT memerintahkan manusia untuk meninggalkan sisa riba yang berlipat ganda yang belum dipungut.
Dari tahapan-tahapan tersebut, pemahaman riba harus dimulai dari surah Ali ‘Imran (3) ayat 130, dan kemudian surah al-Baqarah (2) ayat 278 dan 279 dengan kata kunci sebagai berikut.
(1) Kalimat adh‘afan mudha‘afah (berlipat ganda). At-Tabari mengatakan bahwa adh‘afan mudha‘afah yang tersebut dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 130 adalah penambahan jumlah kredit yang disebabkan penundaan pembayaran. Maka bagi yang berpegang pada teks tersebut hanya riba yang berlipat ganda saja yang diharamkan.
(2) Kalimat ma baqiya min ar-riba (apa yang tersisa dari riba yang belum dipungut). Menurut Rasyid Rida, kata riba dalam surah al-Baqarah (2) ayat 278 ini sama artinya dengan kata riba yang terdapat dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 130. Ayat yang tidak bersyarat harus dipahami dengan ayat yang bersyarat.
Pembicaraan riba selalu dihubungkan dengan sedekah; dalam hal ini riba dinamai zulm. Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang diharamkan itu adalah riba yang adh‘afan mudha‘afah. Adapun untuk penambahan yang tidak berlipat ganda, pemahamannya harus dikaitkan dengan kata kunci berikutnya.
(3) Kalimat falakum ru’usu amwalikum (maka bagimu pokok/modal hartamu). Menurut surah al-Baqarah (2) ayat 279 ini, mereka yang terlanjur melakukan riba harus dihentikan dengan cara memperoleh kembali modalnya saja dan setiap penambahan atau kelebihan tidak dapat dibenarkan.
(4) Kalimat la tazlimuna wa la tuzlamun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya). Riba harus dihindari karena mengandung penganiayaan dan penindasan.
Dari keempat kata kunci yang terdapat dalam ayat tentang riba tersebut dapat disimpulkan bahwa ukuran zulm berlaku bagi yang berutang dan bagi yang berpiutang batasannya masih relatif. Ukurannya dapat dikembalikan pada teori fikih tentang Tsaman mitsil atau mahr mitsil (harga atau mahar yang sudah pernah ditetapkan sebelumnya).
Dalam sunah Rasulullah SAW juga ada banyak Atsar (keterangan tertulis) yang mengharamkan riba secara tegas. Sebagian dari yang tersebut dalam kitab hadis menjelaskan riba yang dilarang Tuhan dan sebagian menjelaskan riba yang tidak tersebut pelarangannya dalam Al-Qur’an.
Adapun hadis yang menjadi dasar hukum bagi pelarangan riba antara lain adalah sebagai berikut:
(1) Hadis riwayat Muslim dari Jabir yang berarti: “Rasulullah SAW mengutuk orang yang makan riba, orang yang memberi makan dari riba, dua saksinya, dan penulisnya.”
(2) Hadis riwayat Ahmad dari Abdillah bin Hauzalah yang berarti: “Satu dirham dari uang riba yang dimakan oleh seseorang, padahal ia tahu lebih berat (dosanya) dari tiga puluh enam perzinahan.”
(3) Hadis riwayat Ibnu Jabir dan Ibnu ad-Dunya dari al-Bara’ yang berarti: “Riba itu mempunyai sembilan puluh sembilan pintu, dosa yang paling ringan dari yang tersebut itu ialah seperti (dosa) orang yang berzina dengan ibunya.”
Riba dalam syariat Islam ada dua macam, yaitu riba an-nasi’ah dan riba fadhal. Riba an-nasi’ah adalah transaksi yang dilakukan orang Arab Jahiliah; kedua orang yang mengadakan transaksi telah sama-sama memahami kewajiban dan hak masing-masing.
Peminjam memahami bahwa ada tambahan sejumlah uang dari pokok modal yang dipinjam sebagai imbalan jangka waktu, yang akan diberikan pada orang yang meminjamkan. Sebaliknya, orang yang meminjamkan memahami adanya penangguhan waktu pelunasan utang bagi orang yang berutang.
Adapun riba fadhal ialah pertukaran barang dengan barang sejenis dengan ketentuan terdapat kelebihan pada salah satu barang tersebut. Misalnya, satu kilogram beras jenis A ditukar dengan dua kilogram beras jenis B atau tiga gram emas 23 karat ditukar dengan empat gram atau lima gram emas 22 karat.
Bunga Bank dan Riba. Pembahasan tentang bunga bank, apakah termasuk riba atau tidak, baru ditemukan dalam berb-agai literatur fikih kontemporer. Wahbah az-Zuhaili (tokoh fikih Suriah) membahas hukum bunga bank melalui kacamata riba dalam terminologi ulama klasik dalam berbagai mazhab fikih.
Menurutnya, apabila standar riba yang digunakan adalah pandangan ulama mazhab fikih klasik, maka bunga bank termasuk riba an-nasi’ah. Karena menurutnya, bunga bank tersebut termasuk kelebihan uang tanpa imbalan dari pihak penerima dengan menggunakan tenggang waktu. Hal ini menurutnya, persis seperti yang dibahas ulama fikih klasik. Oleh sebab itu, bunga bank termasuk riba yang diharamkan syarak.
Muhammad Rasyid Rida (mufasir dari Mesir) setelah mengadakan analisis terhadap ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang riba menyimpulkan bahwa tidak termasuk dalam pengertian riba, jika seseorang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan kadar tertentu (persentase) baginya dari hasil usaha tersebut.
Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa sebab, kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha, kecuali melalui penganiayaan dan ketamakan.
Ahmad Hassan (tokoh Persis [Persatuan Islam]) ber pendapat bahwa bunga bank yang ada di Indonesia tidak termasuk riba yang diharamkan Al-Qur’an, karena unsur penganiayaannya tidak ada. Demikian juga organisasi Islam Nahdlatul Ulama Indonesia, telah menyepakati bahwa bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan, baik bunga bank itu terdapat pada bank pemerintah maupun bank swasta.
Angku Mudo Abdul Hamid Hakim (tokoh pembaru dari Sumatera Barat) berpendapat bahwa bunga bank itu termasuk riba fadhal dan dibolehkan apabila dalam keadaan darurat. Karena menurutnya, riba fadhal merupakan jalan kepada riba an-nasi’ah. Oleh sebab itu, keharaman riba fadhal lebih bersifat preventif dan dibolehkan apabila darurat atau mendesak; sesuai dengan kaidah fikih yang mengatakan ”darurat itu membolehkan yang dilarang” dan ”kebutuhan mendesak dapat menempati posisi darurat”.
Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar hukum Islam di Universitas Amman, Yordania) juga mengemukakan bahwa riba fadhal dibolehkan karena darurat dan bersifat sementara. Artinya, umat Islam harus berupaya untuk mencari jalan keluar dari sistem bank konvensional tersebut, dengan mendirikan bank Islam, sehingga keraguan atau sikap tidak setuju dengan bank konvensional dapat dihilangkan.
Muhammad Quraish Shihab (mufasir Al-Qur’an dari Indonesia) setelah menganalisis ayat-ayat yang berkaitan dengan riba, asbab an-nuzul-nya, dan pendapat berbagai mufasir, menyimpulkan bahwa ilat dari keharaman riba itu adalah sifat aniaya, sebagaimana yang terdapat di akhir ayat 279 surah al-Baqarah (2). Oleh sebab itu, menurutnya, yang diharamkan itu adalah kelebihan yang dipungut
bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan jumlah utang. Kesimpulannya ini didukung oleh praktek Nabi SAW yang membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih.
Dalam sebuah riwayat Abu Hurairah dikatakan bahwa Rasulullah SAW pernah meminjam seekor unta dengan usia tertentu kepada seseorang, kemudian orang tersebut datang kepada Nabi SAW untuk menagihnya.
Ketika dicarikan unta yang seumur dengan unta yang dipinjam, ternyata tidak dijumpai, kecuali yang lebih tua dari unta yang dipinjam. Lalu Nabi SAW memerintahkan untuk membayarkan utangnya itu dengan unta yang lebih tua itu, sambil bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang sebaik-baiknya membayar utang (HR. Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud).
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Jabir bin Abdullah pernah mengutangi Nabi SAW, dan ketika membayarnya Nabi SAW melebihkannya (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Daftar pustaka
Abu Zahrah. Buhuts fi ar-Riba. Kuwait: Dar al-Buhus al-Ilmiyah, 1970.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Mak-tabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1981.
Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation. Leiden: Brill, 1996.
as-Sayis, Muhammad Ali. Tafsir Ayat al-Ahkam. Cairo: Muhammad Sabih, 1953.
Abd. Karim Hafid