Dalam bahasa Arab, riyadah berarti “latihan” atau “olahraga”. Dalam tasawuf riadat berarti “latihan kerohanian dengan menjalankan ibadah serta menundukkan keinginan nafsu syahwat”. Dengan kata lain, riadat berarti menahan diri dari perbuatan buruk dan membiasakan diri dengan perbuatan baik.
Menurut kalangan sufi, riadat dalam arti tersebut pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW ketika berkhalwat di Gua Hira dengan melatih diri, mengasah jiwa, berzikir, merenung, memperhatikan kejadian alam dan susunannya, dan memperhatikan segala keadaan masyarakat yang penuh kejahilan dan kerusakan dalam berbagai aspek kehidupan. Keadaan masyarakat tersebut menimbulkan keprihatinan Nabi SAW yang mendalam. Karena itu ia hidup serba prihatin. Ke mudian datanglah wahyu yang dibawa Jibril.
Setelah menjadi rasul, ia tetap men jalankan riadat, melawan hawa nafsu (mujahadat), dan tekun beribadah seperti salat tahajud sampai jauh malam sehingga kakinya membengkak. Ketika ditanyakan Aisyah, istri nya, mengapa ia beribadah sekuat itu, Nabi SAW menjawab bahwa ia ingin menjadi hamba Allah SWT yang bersyukur, bukan karena ingin diampuni dosa-dosanya (HR. Ahmad bin Hanbal).
Riadat dalam tasawuf ada dua macam, yaitu riadat badan dan riadat rohani. Riadat badan dilakukan oleh seorang sufi atau pengamal tarekat denganjalan mengurangi makan, mengurangi minum, mengurangi tidur, dan mengurangi berkata-kata. Riadat rohani biasanya melalui ibadah, seperti senantiasa dalam keadaan berwudu, rajin melakukan salat (baik fardu maupun sunah), dan rajin mengamalkan zikir dan aneka ragam wirid.
Riadat yang dilakukan para sufi berbeda-beda sesuai dengan tarekat yang dianutnya. Riadat dilakukan para sufi untuk dapat dekat dan bermakrifat kepada Tuhan. Hal ini dilakukan secara bertahap sesuai dengan kekuatan batin masing-masing. Seseorang yang akan melakukan riadat diharuskan untuk terlebih dahulu mempersiapkan kesucian lahiriah melalui iman, Islam, dan ihsan.
Ia harus memahami dengan sebaik-baiknya apa yang dimaksud dengan rukun iman, seperti pengetahuan mengenai sifat Tuhan yang wajib dan jaiz, yang mustahil dan yang mungkin; pengetahuan tentang nubuat dan yang berhubungan dengan nabi-nabi, seperti sifatnya, mukjizat, dan syafaat-nya; pengetahuan mengenai malaikat; kitab suci; hari kiamat; dan kada dan kadar.
Ia juga harus mengamalkan ajaran Islam yang wajib, seperti salat lima waktu dan puasa Ramadan, dan berupaya memahami hikmah dari ibadah itu. Dengan ihsan ia me lakukan segala sesuatu dengan ikhlas karena Allah SWT.
Imam al-Ghazali membagi tingkatan riadat menjadi enam tingkatan, yakni musyarawah, muraqabah, muhasabah, mu‘aqabah an-nafs, mujahadah, dan mu‘atabat an-nafs. Keenam macam riadat ini disebutnya sebagai munjiyah (pemberi jalan keselamatan) dan murabatah (mengawasi diri dengan bantuan pengawasan Tuhan). Menurutnya, murabatah ini diperintahkan Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Ali ‘Imran (3) ayat 200 yang berarti:
“Hai orang-orang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.”
Musyaratah sebagai tingkat riadat yang pertama adalah penetapan syarat bagi diri sendiri. Seseorang yang ingin melakukan riadat harus menetapkan syarat bagi dirinya yang harus dipenuhi dan dilaksanakannya, yaitu mengisi hari-harinya dan membagi waktunya dengan amalan yang berfaedah dan menjauhkan dosa besar dan kecil yang didapat dari penyelewengan mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, tangan, dan kaki. Langkah riadat yang kedua adalah muraqabah, yaitu pengawasan diri dengan keyakinan bahwa Allah SWT melihat semua yang dikerjakan seseorang.
Selanjutnya meningkat ke tahap muhasabah, yaitu memperhitungkan untung rugi dalam me lakukan amal bagi diri sendiri. Di antara alasan yang dikemukakan bagi tingkatan muhasabah ini ialah ucapan Umar bin Khattab, yaitu: “Perhitungkanlah dirimu sebelum engkau nanti diperhitungkan, perhitungkanlah kelakuanmu sebelum dimasukkan ke dalam timbangan.”
Muhasabah dilakukan untuk mengetahui kesalahan yang diperbuat, sehingga dengan demikian timbul kesadaran dalam diri untuk melakukan muhasabah an-nafs, yaitu meng hukum diri sendiri.
Muhasabah an-nafs dilakukan sesuai keperluan latihan anggota tubuh. Misalnya, apabila seorang sufi termakan makanan yang syubhat (meragukan) dengan penuh hawa nafsu, ia menghukum perutnya dengan menahan lapar beberapa waktu lamanya atau apabila matanya melihat yang haram maka matanya itu disiksanya dengan tidak melihat apa-apa dalam beberapa waktu.
Setelah mu‘aqabah an-nafs, seorang sufi baru memasuki mujahadah, yaitu bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah. Dalam mujahadat seorang sufi mengerjakan ibadah dengan segala wiridnya seolah lupa pada dirinya sendiri karena berharap segala amal ibadahnya diterima Allah SWT dan takut ditolak-Nya.
Imam Ghazali menceritakan bahwa di antara sufi ada yang bersalat sampai seribu rakaat sehari dan ada yang tidak kuat lagi berdiri sehingga terpaksa bersalat sambil duduk. Menurut HAMKA, mujahadat dilakukan dengan berbagai cara, seperti tafakur, bermenung dengan memicingkan mata serta menaikkan lidah ke langit-langit, lalu melakukan zikir atau mengingat dan menyebut nama Allah SWT. Ini dilakukan untuk menambah asyik, rindu, dan dendam hendak pulang pada asal.
Riadat tingkat terakhir adalah mu‘atabah an-nafs, yaitu menyesali dan mengecam diri sendiri karena kekurangan dalam beribadah kepada Allah SWT. Mu‘Îtabah dilakukan dengan mengenali diri sendiri terlebih dahulu, karena dengan mengenal diri sendiri seorang sufi baru dapat bermakrifat dengan Tuhannya.
Dengan pengenalan diri, seorang sufi melakukan mu‘atabah dengan pengharapan dapat mencapai jiwa yang sempurna (an-nafs al-kamilah) sebagai tingkatan jiwa yang tertinggi dari tujuh tingkatan jiwa dalam tasawuf, yakni nafsu amarah, nafsu lawwamah, nafsu mutma’innah, nafsu mulhamah, nafsu radiyah, nafsu mardiyyah, dan terakhir nafsu kamilah.
Daftar pustaka
Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadani, 1988.
al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
Nadir, Alber Nasri. at-Tasawwuf al-Islami. Beirut: Matba‘ah Kasuliqiyah, t.t.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Muhammad ‘Ali Subaih, 1966.
Rusydi Khalid