Qur’aniyah, Madrasah

Madrasah Qur’aniyah adalah lembaga pendidikan Islam tertua (1924) di Palembang, didirikan oleh KH Kemas Muhammad Yunus.

Nama Qur’aniyah dimaksudkan agar pendidikan di madrasah ini menekankan pentingnya ajaran Al-Qur’an dalam pembentukan manusia yang berakhlak mulia. Mottonya adalah Li Maqashid Khair al-Bariyyah (menuju landasan kebaikan).

Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, di Palembang berdiri empat lembaga pendidikan Islam, yaitu Madrasah Aqliyah Diniyah (1920), Madrasah Qur’aniyah, Madrasah Nurul Falah (1934), dan Madrasah Darul Funun (1938). Dari keempat lembaga tersebut hanya Madrasah Qur’ani­yah­ yang mampu bertahan sampai sekarang.

Cikal bakal pendirian madrasah ini adalah sebuah majelis pengajian yang diasuh KH Kemas Muhammad Yunus, yang pernah menuntut ilmu di Mekah. Pengajian tersebut diadakan di langgar Kemas H. Akib dan dihadiri sekitar 100 orang yang umumnya kaum muda.

Materi pelajaran utama adalah Al-Qur’an dan ilmu yang berkaitan erat dengannya, seperti tauhid, fikih, dan hadis. Dari hari ke hari jumlah peserta pengajian semakin bertambah sehingga tempat yang ada tidak mencukupi. Oleh karena itu, pengajian lalu dilaksanakan secara bergiliran.

Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada awal 1924, pengajian tersebut diubah menjadi madrasah dan tempatnya bukan lagi di langgar, melainkan di rumah Kemas H. Akib. Untuk membantu mengajar di madrasah, KH Yunus mengajak beberapa ulama lainnya, antara lain KH Idrus, KH Roni, KH Ahmad, KH Abdullah, dan KH Ibrahim, yang semuanya pernah belajar di Mekah.

Pada mulanya, metode pengajaran yang diterapkan di madrasah sama dengan metode yang digunakan di Mekah, yaitu metode ceramah dan hafalan. Hafalan sangat diutamakan karena pada waktu itu para siswa tidak memiliki buku pegangan atau catatan. Keadaan belajar seperti itu berlanjut sampai 1929.

Pada periode selanjutnya (1929–1936), Madrasah Qur’ani-yah mulai berbenah diri. Pada 1929 dibentuk badan yayasan madrasah dengan mengangkat KH M. Akib dan KH Ibrahim Akib sebagai penasihat serta KH Mansyur sebagai ketua.

Kepengurusan baru ini menghasilkan beberapa kemajuan dalam meningkatkan pendidikan, antara lain kurikulum madrasah disempurnakan dengan memasukkan ilmu sejarah dan ilmu hitung.

Pendidikan dibagi dalam dua tingkatan, yaitu tingkat ibtidaiyah dan tsanawiyah. Kemudian sejak 1936 madrasah telah memiliki gedung sendiri yang menurut ukuran waktu itu merupakan bangunan yang cukup megah.

Pada periode 1936–1942, Madrasah Qur’aniyah mulai memanfaatkan alumni pertama sebagai tenaga pengajar. Kepada alumni dari luar kota dan berhasrat kembali ke daerah asalnya dianjurkan mendirikan cabang madrasah.

Sebagai hasilnya, madrasah ini kemudian mempunyai sekitar 17 cabang di berbagai daerah, antara lain di Sekayu dan Bangka. Banyak juga alumni pertama madrasah ini yang di kemudian hari menjadi tokoh pemimpin, seperti H Ahmad Bastari (mantan gubernur Sumatera Selatan), H Ali Amin (mantan gubernur Bengkulu), dan H A. Rifai Cik Yan (mantan wali kota Palembang).

Periode 1942–1949, menjelang pendudukan Jepang di Palembang, Madrasah Qur’aniyah telah me­miliki­ 10 ruangan belajar dan menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam yang terkenal di kota Palembang.

Tetapi dengan masuknya Jepang, kegiatan madrasah diawasi secara ketat, pelajaran agama dilarang dan diganti dengan kegiatan baris-berbaris. Murid dipaksa ikut latihan bela diri sehingga kegiatan belajar di madrasah terhenti.

Keadaan ini berlanjut sampai Belanda datang kembali ke Indonesia yang dikenal dengan masa revolusi fisik. Pada masa ini murid dan guru madrasah bergabung ke dalam pasukan Hizbullah. Beberapa lokal belajar diubah menjadi asrama pasukan Hizbullah. Setelah 1949 madrasah ini berbenah kembali.

Periode 1949–1955 merupakan era kebangkitan kembali madrasah. Usaha pertama yang dilakukan adalah memantapkan status, antara lain dengan melakukan seleksi dalam penerimaan guru.

Persyaratan utama guru yang akan diterima adalah memiliki ijazah sekolah guru sesuai dengan tingkatan pendidikan masing-masing. Untuk tingkatan guru ibtidaiyah dipersyaratkan memiliki ijazah SGB (Sekolah Guru B) atau PGA 4 Tahun (Pendidikan Guru Agama 4 Tahun).

Adapun untuk guru tsanawiyah disyaratkan memiliki ijazah SGA (Sekolah Guru A) atau PGA 6 Tahun (Pendidikan Guru Agama 6 Tahun).

Periode 1955–1962 adalah masa perjuangan untuk mempertahankan eksistensi Madrasah Qur’aniyah. Pada masa ini di kota Palembang berdiri beberapa perguruan yang relatif lebih baik dari Madrasah Qur’aniyah sehingga sekolah ini tidak banyak lagi diminati masyarakat. Di samping itu, kurangnya tenaga guru yang berkualitas merupakan masalah pokok yang dihadapi madrasah.

Periode 1962 sampai sekarang adalah masa mengisi kekurangan tenaga pengajar. Madrasah Qur’aniyah pada 1962 membuka Madrasah Mu’allimin. Program ini mendapat sambutan masyarakat dengan banyaknya murid yang mendaftar.

Pada tahun berikutnya terjadi perubahan besar dalam pelaksanaan pendidikan di Madrasah Mu’allimin. Madrasah ini diberi nama Madrasah Menengah Qur’aniyah (MMQ). MMQ selanjutnya dijadikan dua tingkatan secara terpisah.

1) Tingkatan MMP (Madrasah Me­nengah Pertama) setingkat SMP dengan masa belajar 3 tahun. Tamatan MMP dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, baik ke MMAQ (Madrasah Menengah Atas Qur’aniyah) maupun ke sekolah lain di luar perguruan Qur’aniyah, misalnya Sekolah Persiapan IAIN atau sekolah umum yang sederajat.

2) Tingkatan MMA (Madrasah Menengah Atas) setingkat SMA dengan masa belajar 3 tahun. Para alumni MMAQ dipersiapkan menjadi tenaga pengajar, terutama di lingkungan Madrasah Qur’aniyah sendiri. Para alumni kedua tingkatan madrasah ini selain menerima ijazah dari perguruan Qur’aniyah, juga diberi kesempatan mengikuti ujian negara untuk memperoleh ijazah negeri.

Pengembangan lain yang dilakukan Madrasah Qur’aniyah adalah pendirian sekolah umum, seperti SMP, SMA, dan SPG. Selain itu, dilakukan pengaktifan kembali cabang yang pernah ada, terutama di daerah terpencil.

Untuk memenuhi kebutuhan guru ditempuh dua cara, yaitu mengangkat guru tetap dan guru honorer. Kebanyakan guru honorer diambil dari guru sekolah negeri. Dengan demikian perguruan ini dapat bertahan sampai sekarang.

Walaupun perguruan ini telah membuka sekolah umum, ciri khas Madrasah Qur’aniyah sudah menjadi tradisi dan masih tetap melekat sejak awal pendiriannya, yaitu adanya madrasah awwaliyah.

Madrasah ini merupakan program pendidikan prasekolah yang secara khusus memberikan pelajaran membaca Al-Qur’an. Ciri khas lainnya adalah praktek salat di sekolah bagi siswa tingkat ibtidaiyah dan salat berjemaah bagi siswa tingkat menengah, serta liburan sekolah pada hari Jumat.

Daftar Pustaka

Depag. Laporan Penelitian Badan Litbang Departemen Agama RI. Jakarta: t.p., 1983.
Jalaluddin. “Madrasah Qur’aniyah,” Amanah, No. 18, 1987.
MusdaH Mulia