Qanaah, bagian dari sikap hidup zuhud (awal maqam rida), merupakan sikap para sufi untuk menjauhkan diri dari nafsu dan tipu daya kehidupan duniawi yang membuat lupa akan Allah SWT. Adapun warak (patuh kepada Allah SWT merupakan awal maqam zuhud.
Menurut Abu Zakaria Ansari (salah seorang ahli tasawuf Mesir), qanaah adalah perasaan seseorang bahwa ia telah merasa cukup dengan apa yang ia miliki, yang sudah dapat memenuhi keperluan hidupnya, baik berupa makanan, pakaian, maupun lainnya.
Sementara itu, menurut Ataillah (seorang ahli tasawuf), qanaah ialah terhentinya keinginan seseorang terhadap apa yang sudah diberikan kepadanya dan tidak ada lagi keinginannya untuk menambah apa yang sudah ada.
Qanaah merupakan suatu sikap yang dituntut dari para sufi, karena qanaah dapat menjauhkan diri dari ajakan nafsu terhadap berbagai tipu daya kehidupan dunia, yang membuat seseorang lupa akan Allah SWT dan lalai atas kewajibannya sebagai seorang hamba Allah SWT dalam mempersiapkan diri menuju kehidupan di akhirat kelak.
Akibat godaan nafsu, seseorang tidak merasa takut atas ancaman yang diterimanya, sehingga sikap dan perilakunya melampaui batas-batas norma ilahiah. Untuk menghindari hal itu, seorang muslim dituntut untuk bersikap qanaah di dalam hidupnya. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Jabir, “Qanaah adalah perbendaharaan yang tidak akan musnah.”
Adapun yang dimaksud dengan perbendaharaan di sini adalah suatu barang atau benda yang mempunyai nilai yang sangat berharga, amat bermanfaat, dan memberi arti yang amat besar bagi yang memilikinya. Karena, selain memberi manfaat, ia juga memberi kebaikan bagi kehidupan. Bagi seorang muslim, harta benda yang seperti inilah yang harus dicari walaupun memerlukan perjuangan dan pengorbanan untuk memperolehnya.
Qanaah yang diibaratkan dengan harta benda itu tidak akan hilang dan musnah jika dipelihara dengan iman yang kuat, bahkan ia akan kekal dan abadi. Hal ini berbeda dengan perbendaharaan harta benda dunia yang mudah hilang dan musnah. Perbendaharaan barang atau benda dunia bersifat sementara dan adakalanya tidak membawa kebaikan, bahkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi pemiliknya berupa kesengsaraan dan malapetaka atau bencana.
Persoalan ini dinyatakan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Abu Hurairah, “Jadilah kamu seorang yang warak, dengan itu kamu menjadi orang yang banyak beribadah; dan jadilah kamu orang yang bersikap qanaah, maka dengan demikian kamu akan menjadi orang yang banyak bersyukur kepada sesama manusia.”
Dalam hadis tersebut dinyatakan bahwa sifat warak menjadikan orang gemar beribadah kepada Allah SWT dan ia tidak menghabiskan waktu dan umurnya terbuang percuma.
Waktu dan masa itu dimanfaatkannya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Setiap orang yang warak berusaha sepenuhnya untuk menjauhkan semua bentuk yang dapat merusak iman dan ibadahnya. Dengan demikian ia berusaha sekuatnya memelihara akidah, tata nilai, dan norma Islam dalam kehidupannya.
Dengan sikap yang demikianlah maka orang yang warak dipandang sebagai orang yang banyak bersyukur kepada Allah SWT karena ibadah itu sendiri suatu pertanda bagi orang yang bersyukur kepada Allah SWT. Apabila seseorang telah bersyukur kepada Allah SWT, maka sikap serta perilakunya terhadap sesama manusia akan ramah dan baik kepada sesamanya serta senantiasa berterima kasih.
Adapun manusia yang mampu menempatkan dirinya ke derajat qanaah ini adalah manusia yang mempunyai daya ‘aqliyyah atau daya pikir yang kuat dan iman yang mendalam. Perpaduan antara akal pikiran dan iman ini akan membuahkan amal yang baik. Ini akan memberi dampak yang positif bagi dirinya dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam hal ini Abu Bakar al-Maraghi (seorang ahli tasawuf di Mesir yang berasal dari Hadramaut) mengatakan, “Orang yang berakal ialah orang yang mengatur urusan dunianya dengan qanaah, urusan akhiratnya dengan keinginan yang kuat dan bersungguh-sungguh, dan urusan agamanya dengan ilmu pengetahuan dan jihad.”
Dari pernyataan di atas terlihat bahwa qanaah itu bukan saja merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan keinginan-keinginan terhadap apa yang telah diberikan Allah SWT kepadanya, tetapi qanaah juga berarti kemampuan seseorang dalam mengatur urusan dunianya dan urusan-urusan agamanya.
Dalam hubungan ini Muhammad bin Turmuzi (w. 285 H/898 M), salah seorang pemikir mistisisme Islam yang kreatif dan terkemuka, menyatakan bahwa qanaah adalah adanya rasa ketenangan dan kelapangan bagi jiwa seseorang terhadap rezeki yang telah diberikan Allah SWT kepadanya dan ia merasa cukup dengan apa yang dimilikinya serta tidak mempunyai keinginan yang berlebihan terhadap sesuatu yang tidak mampu diperolehnya.
Jadi qanaah itu mencukupkan apa yang telah dipunyainya dan ia menyadari bahwa apa yang dimilikinya itu merupakan karunia Allah SWT yang harus disyukuri. Keinginan yang berlebih-lebihan yang tidak sesuai dengan ikhtiar akan mengakibatkan sesuatu yang tidak baik bagi dirinya. Sebaliknya, sikap tamak dan loba perlu dijauhi dan dihindari, karena pada akhirnya sifat tersebut akan menjauhkan seseorang dari Allah SWT.
Dalam kaitan inilah para sufi menyatakan bahwa Allah SWT mengajarkan lima prinsip pembinaan tasawuf: (1) merasa mulia jika dalam ketaatan, (2) merasa hina jika dalam kemaksiatan, (3) haibah (wibawa) dalam melakukan salat di malam hari, (4) hikmah di waktu perut sedang kosong, dan (5) merasa kaya dalam sikap qanaah. Semua prinsip dasar ini merupakan perwujudan sikap qanaah dalam diri seorang muslim untuk mencapai rida Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987.
Arjun, Muhammad asy-Syuduq. at-Tasawwuf fi al-Islam. Cairo: Maktabah al-Kuliyat al-Azhariyah, 1967.
Basyuni, Ibrahim. Nasy’ah at-Tasawwuf al-Islami. Cairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.
Burckhard, Titus. An Introduction to Sufi Doctrine. Lahore: Muhammad Ashraf, 1973.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. ‘‘Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. at-Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959.
at-Tawil, Taufiq. at-Tasawwuf al-Islami fi Misr Iban al-‘Asr al-‘Utsmani. Cairo: an-Nahdah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitabah, 1988.
at-Tusi, Abu Nasr as-Sarraj. al-Luma‘. Cairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1961.
Sudirman M