Piagam Madinah

(Ar.: as-sahifah al-Madaniyyah)

Piagam Madinah merupakan sebuah kesepakatan hidup bersama secara damai. Perjanjian Madinah (Misaq al-Madaniyyah) ini mengatur kelompok yang tinggal di Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW, baik muslim, nonmuslim, maupun kaum lain.

Sejarah Piagam Madinah. Setelah berdakwah di Mekah selama 13 tahun tetapi kurang mendapat respons yang positif, Nabi Muhammad SAW memutuskan hijrah ke Madinah pada 622. Segera setelah hijrah ke Madinah, Nabi SAW membuat Piagam Madinah, yang di Barat dikenal dengan istilah Konstitusi Madinah.

Piagam tersebut dimaksudkan untuk membangun suatu tatanan hidup bersama di kalangan masyarakat majemuk di Madinah. Pada saat itu kelompok masyarakat yang tinggal di Madinah terdiri atas komposisi berbagai agama, yakni kaum muslim (Muhajirin dan Ansar), musyrikin, dan Yahudi.

Masyarakat Madinah juga majemuk jika dilihat berdasarkan kaum (kabilah), yang di dalamnya tercermin komunitas yang terbentuk berdasarkan ikatan kekerabatan (klan, bani). Melihat kenyataan masyarakat yang majemuk di Madinah ini, Nabi SAW mengambil langkah untuk membangun hidup bersama dalam kemajemukan. Langkah pertama adalah memper­ saudarakan antarsesama muslim (Muhajirin dan Ansar).

Langkah kedua adalah membuat perjanjian hidup bersama secara damai antarkelompok yang tinggal di Madinah, baik antarsesama muslim maupun nonmuslim. Perjanjian tersebut juga mengatur semua kaum yang tinggal di Madinah. Perjanjian (kesepakatan) inilah yang dinamai dengan Piagam Madinah.

Autentisitas Piagam. Banyak sarjana, baik muslim maupun nonmuslim, berpendapat bahwa Piagam Madinah tersebut autentik. Artinya, piagam tersebut memang berasal dari zaman Nabi SAW dan ditulis Nabi Muhammad SAW sendiri, bukan sesuatu yang dibuat pada tahun-tahun kemudian.

Para sarjana muslim mendasarkan keaslian Piagam Madinah ini pada hadis Nabi SAW. Al-Bukhari, dalam kitabnya sahih Bukhari, meriwayatkan dua buah hadis dari Ali RA, yang menjelaskan adanya Piagam Madinah tersebut.

Ibnu Ishaq (w. 151 H/768 M; ahli hadis dan sejarah Islam), seperti yang dikutip Ibnu Hisyam (w. 218 H/833 M; ulama, penulis sejarah Nabi SAW), meriwayatkan­ isi Piagam Madinah tersebut tanpa sanad. Sementara itu, Ibnu Salim (ahli tafsir) meriwayatkan isi Piagam Madinah tersebut melalui dua jalur sanad: Yahya bin Abdillah bin Bakir dan Abdullah bin Shalih.

Ahmad Sukardja, penulis Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, setelah melakukan serangkaian penelitian menyimpulkan bahwa hadis tersebut saling berhubungan dan saling menguatkan, dan karena itu dapat dijadikan dalil hukum bagi keaslian dokumen tersebut.

Di samping mendasarkan argumennya pada hadis, para sarjana Barat pun memberikan argumen lain tentang keaslian dokumen tersebut. Wellhausen (penulis Die Religios-Politischen Oppositionsparteien in Alten Islam) misalnya, mengajukan empat argumen untuk memastikan bahwa dokumen tersebut asli.

Pertama, naskah palsu pasti tidak akan merefleksikan pandangan yang lahir pada zamannya, tetapi sebuah pandangan yang datang kemudian,­ seperti kata “umat” pasti tidak akan mencakup komu­nitas nonmuslim. Kedua, bahasa, tata bahasa, dan istilah yang dipakai sangat kuno.

Ketiga, teks naskah tersebut penuh dengan bahasa kiasan yang hanya dapat dimengerti dengan memahami bahasa yang berkembang pada zamannya. Keempat, teks naskah tersebut jauh lebih merefleksikan hukum kuno dalam konteks kesukuan daripada hukum Islam yang lebih maju.

Meskipun sepakat tentang orisinalitas dokumen tersebut, tidak semua sarjana sepakat tentang kapan dokumen tersebut dibuat. Mereka juga tidak sepakat apakah dokumen tersebut dibuat sekaligus atau secara bertahap pada waktu yang berbeda.

Para ahli muslim, seperti Subhi as-Salih, Ahmad Ibrahim asy-Syarif, dan at-Tabari (sejarawan), tampaknya sepakat bahwa dokumen tersebut ditulis pada tahun 1 H/623 M. Di lain pihak, sarjana Barat berbeda pendapat. Wellhausen dan L. Caetani (w. 1926) berpendapat bahwa Piagam Madinah ditulis secara kesatuan pada 1 H/623 M, yakni­ sebe­lum Perang Badar (17 Ramadan 2 H/624 M).

Wellhausen memberikan dua argumen. Pertama, Nabi Muhammad SAW masih sangat malu-malu menyatakan statusnya dalam dokumen tersebut, dan sama sekali tidak mengklaim bahwa isi naskah tersebut sebagai wahyu. Kedua, isi dan nada naskah tersebut secara keseluruhan sangat konsisten dengan situasi sosial politik di Madinah pada masa tersebut, khususnya menyangkut kaum Yahudi yang masih diterima sebagai bagian dari umat.

Sementara itu, W. Montgomery Watt, penulis Muhammad: Prophet and Statesman, berpendapat bahwa dokumen tersebut ditulis dalam tiga periode. Separuh pertama dokumen mungkin ditulis sebelum­ Perang Badar. Bagian kedua ditulis untuk mengatur hubungan antara kaum muslim dan Yahudi.

Pada bagian terakhir ada bagian yang ditambahkan dan dibuang sesuai dengan perubahan situasi sosial politik kala itu. Bagian terakhir ini, menurut Watt, ditulis mungkin setelah 627, ketika ketiga suku terbesar Yahudi, Bani Qainuqa (suku Yahudi yang nantinya berkomplot­ dengan orang Mekah), Bani Quraizah (orang Yahudi yang tinggal di lingkungan kota Madinah), dan Bani Nadir (salah satu suku terkemuka kaum Yahudi yang menetap di Madinah), dilikuidasi.

Salah satu alasan Watt adalah kenyataan bahwa ketiga suku utama Yahudi tersebut tidak dimasukkan dalam Piagam Madinah.

Isi Piagam Madinah. Tidak seperti piagam yang dibuat pada zaman modern yang terbagi dalam bab dan pasal, isi Piagam Madinah ini berbentuk prosa dan tersusun secara menyambung. Seperti umumnya surat yang dikirim oleh Nabi SAW kepada raja yang diajak masuk Islam, Piagam Madinah diawali dengan Bismillah ar-Rahman ar-Rahim, dan disusul dengan kalimat kitab min Muhammad.

Meskipun bentuk asli piagam berbentuk prosa, beberapa sarjana muslim dan Barat membaginya ke dalam beberapa pasal dan sebagian besar membaginya ke dalam 47 pasal.

Pencantuman kalimat Bismillah ar-Rahman ar-Rahim, menurut Sukardja, menunjukkan semangat tauhid yang dibawa Muhammad SAW. Pada bagian awal (pasal 1) disebutkan bahwa kaum mukmin-muslim dari Yatsrib (Madinah) dan Quraisy merupakan satu kesatuan “umat”.

Penegasan kesatuan umat ini penting bagi tatanan hidup bersama yang ingin dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Pasal selanjutnya menyebut kata “muhajirin” sebagai ungkapan yang merujuk kepada orang Quraisy yang telah masuk Islam dan bersama-sama Nabi SAW hijrah ke Madinah.

Dinyatakan dalam piagam ini bahwa kaum Muhajirin berhak untuk meneruskan kebiasaan lama mereka, yakni membayar diat dan tebusan tawanan mereka secara bersama-sama dalam keluarga atau suku mereka. Pasal selanjutnya (3–10) menyebut nama kelompok atau bani muslim dari Ansar: Auf, Saidah, Hars, Jusyam, Najjar, Amr bin Auf, Nabit, dan Aus. Sama seperti kelompok muslim dari Muhajirin, bagi kelompok Ansar ini berlaku kebiasaan lama mereka.

Pencantuman suku secara eksplisit ini, menurut beberapa sarjana, menunjukkan kepekaan Nabi Muhammad SAW akan realitas konsep sosial politik Arab saat itu, yakni komunitas yang berbasis kesukuan. Demikian juga, pengakuan terhadap kebiasaan lama menunjukkan sikap adaptasi Nabi SAW terhadap tradisi.

Pasal selanjutnya (11–15) menyatakan kebersamaan, persamaan, dan keadilan di depan hukum. Yang menarik adalah pasal 14 yang menyatakan bahwa orang Islam yang membunuh orang kafir tidak dapat dikisas. Hukum kisas juga lebih lanjut diatur dalam pasal 21 dan 22. Adapun pasal 17–20 dan 24 mengatur tata cara berdamai dalam peperangan dan etika berperang.

Sementara itu, kaum Yahudi secara eksplisit disebutkan dalam pasal 16, 24, 25–35, 37–38, dan 46. Pasal 16 menyatakan­ bahwa kaum Yahudi yang mengikuti dan bergabung dengan kaum muslim berhak mendapat dukungan.

Pasal 25–35 menyebutkan secara eksplisit suku/bani Yahudi: Auf, Najjar, Hars, Saidah, Jusyam, Aus, Sa‘labah, Jafnah, dan Syuthaibah. Pada pasal 46 disebutkan bahwa hak dan kewajiban kaum Yahudi ini sama dengan kaum muslim. Pasal 25 menyebut secara eksplisit bahwa kaum Yahudi merupakan satu umat dengan kaum muslim, yang mempunyai kebebasan dalam memeluk agama mereka.

Dimasukkannya kaum Yahudi sebagai bagian dari satu umat bersama kaum muslim menarik perhatian para sar­jana, baik Barat maupun muslim. Banyak di antara mereka yang berkesimpulan bahwa dengan merujuk pada piagam ini, Nabi SAW tidak bermaksud untuk membangun sebuah komunitas yang eksklusif. Bahkan pasal 20 merujuk pada orang musyrik di Madinah.

Meskipun terlihat bahwa setiap golongan dalam “umat” ini mempunyai hak dan kewajiban yang sama, Piagam Madinah juga menunjukkan supremasi syariah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pasal 23 dan 42, yang menyatakan­ bahwa “jika terdapat perselisihan, maka dikembalikan kepada Allah dan Muhammad”.

Sosiolog agama, Robert N. Bellah, dalam bukunya Beyond Belief menyatakan bahwa Piagam Madinah sangat modern. Alasannya adalah ketentuan-ketentuan yang tercakup dalam piagam itu sangat sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin. Piagam Nabi Muhamad SAW: Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Dunia. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Bellah, Robert N. Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditional World. California: University of California Press, 1991.
Humphreys, R. Stephen. Islamic History: A Framework for Inquiry. London: I.B. Tauris, 1995.
Peter, F.E. Muhammad and the Origins of Islam. Albany: State University of New York Press, 1994.
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: UI Press, 1995.
Watt, W. Montgomery. Muhammad: Prophet and Statesman. Oxford: Oxford University Press, 1961.

DIN WAHID

__