Persatuan Tarbiyah Islamiyah adalah sebuah organisasi keagamaan yang didirikan 20 Mei 1930 di Candung (10 km di sebelah timur Bukittinggi), Sumatera Barat. Sejak 9 Januari 1973 Perti bersifat bebas dan nonpolitis serta bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan amal.
Gagasan untuk membentuk wadah ini dilatarbelakangi oleh perkembangan paham keagamaan di Sumatera Barat pada awal abad ke-20. Perkembangan itu digerakkan oleh Kaum Muda untuk mengubah tradisi, terutama gerakan tarekat. Kaum Muda melakukan perubahan melalui pendidikan, dakwah, media cetak, dan perdebatan.
Mereka mendirikan lembaga pendidikan, seperti Sumatra Thawalib di Padangpanjang, yang lebih mengutamakan ilmu untuk menggali dan memahami Islam dari sumbernya.
Mereka menerbitkan pula majalah, seperti al-Munir (Pelita) dan al-Akhbar (Berita) di Padang, al-Itqan (Kecermatan) di Maninjau, al-Bayan (Penjelasan) di Parabek (Kabupaten Agam), al-Basyir (Kabar Gembira) di Sungayang (Kabupaten Tanah Datar), al-Imam di Padangjapang (Kabupaten Lima Puluh Kota), dan al-Munirulmanar (Tempat cahaya bersinar) di Padangpanjang.
Pada April 1916 dibentuk suatu organisasi yang bernama Perkumpulan Guru Agama Hindia Belanda di Padang.
Menyadari gencarnya kegiatan Kaum Muda itu, Kaum Tua pun mulai bergerak. Diterbitkanlah berbagai majalah, seperti al-Mizan (Timbangan) di Maninjau, ar-Radd wa al-Mardud (Penolakan) di Bukittinggi, dan Soearti di Bukittinggi.
Dalam lapangan pendidikan, Kaum Tua mengaktifkan lembaga surau, seperti Surau Syekh Khatib Muhammad Ali di Parak Gadang (Padang), Surau Syekh Sulaiman ar-Rasuli di Candung (Bukittinggi), Surau Syekh Muhammad Jamil Jaho di Padang-panjang, Surau Syekh Jalaluddin di Sicincin (Payakumbuh), Surau Syekh Abdul Majid di Koto Nan Gadang (Payakumbuh), Surau Syekh Arifin Arsyadi di Batuhampar (Lima Puluh Kota), dan Surau Syekh A. Wahid di Tabek Gadang (Payakumbuh).
Kaum Tua juga membentuk suatu perkumpulan yang bernama Ittihad Ulama Minangkabau pada Juni 1921.
Diilhami oleh perkembangan tersebut, timbullah niat dari Syekh Sulaiman ar-Rasuli untuk menyatukan ulama Kaum Tua dalam sebuah wadah. Untuk itu ar-Rasuli memprakarsai suatu pertemuan besar di Candung pada 5 Mei 1928.
Pertemuan itu dihadiri sejumlah ulama Kaum Tua, antara lain Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Abdul Wahid ash-Shalihy, Syekh Abbas, Syekh Arifin Arsyadi, Syekh Muhammad Salim, Syekh Khatib Ali, Syekh Muhammad Said, Syekh Makhudum, Syekh Muhammad Yunus, Syekh Adam, Syekh Hasan Basri, dan Syekh Abdul Majid.
Pertemuan tersebut melahirkan Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah sebagai organisasi yang bertanggung jawab untuk membina dan memperjuangkan serta mengembangkan madrasah Tarbiyah Islamiyah yang ada.
Dalam pertemuan ini berhasil dirumuskan kesatuan pola dalam pembinaan madrasah, baik nama, sistem pengajaran, maupun kurikulumnya. Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah tidak pernah diresmikan, namun kalangan Perti sepakat menyebut organisasi mereka lahir 5 Mei 1928.
Karena perkembangan organisasi ini cukup menggembirakan, timbul niat untuk menjadikannya wadah untuk menampung dan mempersatukan ulama tradisi (Kaum Tua) dan untuk bergerak dalam lapangan sosial.
Keinginan itu di wujudkan dengan melahirkan sebuah organisasi baru yang bernama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PTI) dalam sebuah rapat di Candung 20 Mei 1930. Tanggal ini disepakati oleh sejarawan sebagai tanggal berdirinya PTI.
Pada tahun 1935 diadakan rapat lengkap di Candung yang menunjuk H Siradjuddin Abbas sebagai ketua Pengurus Besar PTI. Pada masa kepengurusan ini berhasil disusun AD dan ART yang disahkan oleh konferensi 11–16 Februari 1938 di Bukittinggi. Juga disepakati “Perti” sebagai singkatan Persatuan Tar-biyah Islamiyah.
Dirumuskan pula tujuan organisasi, yaitu:
(1) berusaha memajukan pendidikan agama Islam dan yang bersangkutan dengan itu;
(2) menyiarkan dan mempertahankan agama Islam dari segala serangan;
(3) berdaya upaya memajukan perusahaan; dan (4) memperkokoh amal ibadah serta memperbanyak syiarnya.
Rumusan AD disempurnakan pada Kongres II (3–5 April 1935) di Bukittinggi. Pada waktu itu, asas Islam organisasi ini dilengkapi dengan kalimat “dalam iktikad menurut paham ahlusunah waljamaah dan dalam syariat menurut Mazhab Syafi‘i”. Tujuan organisasi adalah:
(1) berusaha memajukan pengajaran agama Islam dan memperbaiki sekolah agama bagi bangsa Bumiputera seluruhnya;
(2) memperkuat dan memperkokoh “adat nan kawi, syarak nan lazim” dalam setiap negeri;
(3) memperhatikan kepentingan ulama dan guru sekolah agama seluruhnya, terutama sekolah Tarbiyah Islamiyah;
(4) memperkuat silaturahmi antarsesama anggota; dan
(5) mempertahankan agama Islam yang suci dari segala serangan. Struktur organisasi pada waktu itu terdiri dari Pengurus Besar (PB) yang didampingi Dewan Penasihat.
Beberapa orang dari Pengurus Besar ditunjuk sebagai Pengurus Besar Harian, yang semuanya berkedudukan di Bukittinggi. Untuk daerah yang jauh dari pusat diadakan Majlis Wakil PB yang dipimpin oleh konsul PB. Majelis ini bertugas mengkoordinasi cabang, dan setiap cabang mengkoordinasi anak cabang.
Pada tahun 1941 Perti mengadakan Muktamar III, dan berhasil membentuk Kepanduan al-Anshar. Pada November 1945 organisasi ini mengadakan rapat pleno PB dalam rangka menyambut imbauan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk mendirikan partai politik bagi seluruh bangsa.
Sejak itu Perti menyatakan diri sebagai salah satu partai politik Islam. Pernyataan ini disahkan oleh Muktamar IV (24–26 Desember 1945) di Bukittinggi. Struktur organisasi berubah menjadi Dewan Partai Tertinggi (DPT) sebagai pengambil keputusan mendasar, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) sebagai badan eksekutif, dan Majlis Penasehat Pusat (MPP).
Dibentuk pula barisan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan tanah air dengan nama Lasykar Muslimin dan Lasykar Muslimat.
Dalam Muktamar 20–25 Mei 1952 di Bukittinggi diputuskan bahwa DPT dipindahkan ke Jakarta. Adapun dalam Muktamar 11–16 Agustus 1955 diputuskan bahwa seluruh DPP pindah ke Jakarta. Perti ikut dalam Pemilu 1955 dan berhasil memperoleh 4 kursi di parlemen.
Pada tahun itu organisasi ini telah tersebar ke berbagai daerah, mempunyai 13 Dewan Pengurus Daerah, 75 Dewan Pen-gurus Cabang, 300 Dewan Pengurus Anak Cabang, dan 2.000 Pengurus Ranting.
Perti mendirikan organisasi yang bernaung di bawahnya, yaitu Wanita Perti, Gerakan Buruh Muslimin Indonesia, Pemuda Islam Perti, Gerakan Tani Muslimin Indonesia, Ikatan Pelajar Sekolah Perti, dan Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia.
Tujuan Perti adalah:
(1) meninggikan agama Islam dalam arti yang seluas-luasnya;
(2) menjiwai masyarakat Indonesia dengan semangat keislaman;
(3) membangun masyarakat yang adil dan makmur yang sesuai dengan kepribadian Indonesia dan agama Islam.
Untuk mencapai tujuan tersebut Perti berusaha antara lain:
(1) mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang menjadi jembatan emas untuk kemakmuran rohaniah dan jasmaniah rakyat;
(2) menentang kolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuknya;
(3) memajukan pengajaran, pendidikan, dan kecerdasan rakyat;
(4) memperdalam rasa cinta terhadap agama, bangsa, dan tanah air;
(5) memperhebat penyiaran dan pertahanan agama Islam; dan
(6) memajukan perekonomian dan kemakmuran rakyat.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, sebagian pengurus Perti dipandang condong ke “kiri”. Ketika terjadi pengganyangan terhadap G30S/PKI, pihak yang beroposisi terhadap golongan “kiri” berhasil menduduki kepemimpinan partai.
Dalam Musyawarah Kerja pada Februari 1966 di Bukittinggi, Perti menyusun pengurus baru yang diketuai oleh Rusli Halil. Karena pemilihan itu tidak melalui muktamar dan pengurus baru itu dinilai tidak bersih dari pengaruh “kiri”, timbul tuntutan agar partai mengadakan muktamar.
Muktamar di Jakarta 27 Agustus–4 September 1966 memilih Rusli Halil sebagai ketua, Ahmad HMS sebagai sekretaris jendral, dan Rusli A. Wahid sebagai rais am Majelis Syura.
Setelah susunan pengurus diumumkan, dan peserta Muktamar belum meninggalkan Jakarta, T.S. Marjohan membentuk DPP tandingan yang diketuainya sendiri dengan Siradjuddin Abbas sebagai rais am Majelis Syura. DPP tandingan ini hilang begitu saja, karena tidak didukung daerah.
Konflik di tubuh Perti tetap berkelanjutan, terutama antara Rusli A. Wahid dan Rusli Halil. Walaupun Perti berhasil mengadakan Sidang Majelis Syura di Bogor 12–16 Juni 1967 dan berhasil mempertahankan susunan pengurus hasil muktamar, perselisihan antara kedua kubu itu menyeret mereka untuk saling mencari dukungan.
Dalam situasi demikian, Syekh Sulaiman ar-Rasuli, sesepuh dan pendiri Perti, meminta agar Perti menanggalkan baju politiknya dan kembali ke khittah semula. Imbauan itu tidak berjawab.
Melihat suasana begitu parah, ar-Rasuli mengirim sebuah delegasi ke Jakarta di bawah pimpinan Hamidin Saad untuk mengupayakan rujuk. Karena misi ini juga gagal, delegasi tersebut mencari terobosan dan meminta bantuan Golongan Karya. Dengan tangan terbuka, Jenderal Soekowati sebagai ketua Golongan Karya dapat menerimanya dan mengukuhkan Rusli Halil sebagai ketua, seperti hasil keputusan muktamar.
Berdasarkan dekrit ar-Rasuli, Soekowati menganjurkan kelompok Ahmad HMS untuk mendirikan “Tarbiyah” nonpolitik. Kelompok ini mengadakan Musyawarah Besar Luar Biasa di Bukittinggi 2–4 Juli 1970 dengan dukungan pemerintah Sumatera Barat. Musyawarah ini memutuskan antara lain:
(1) mengukuhkan dekrit Syekh Sulaiman ar-Rasuli dengan menjadikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah organisasi nonpolitik, dan sebutan organisasinya adalah “Tarbiyah”, bukan “Perti”;
(2) membentuk Pengurus Besar sebagai pengganti DPP lama;
(3) menggunakan kembali lambang Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang lama, yaitu matahari bersinar delapan penjuru mata angin dengan bulan bintang di tengahnya;
(4) menetapkan kedudukan PB di Bukittinggi, dan di Jakarta dibentuk Perwa kilan Pusat; dan
(5) menyatakan bahwa Persatuan Tarbiyah Islamiyah bergabung dan bekerjasama dengan Golongan Karya untuk kemenangan Orde Baru.
Di pihak lain, kelompok Rusli A. Wahid tidak dapat meninggalkan dunia politik, sehingga Perti tetap menjadi partai politik yang ikut mengambil bagian dalam Pemilu 1971 dan memperoleh 2 suara untuk DPR. Ketika terjadi penyederhanaan partai, maka semua partai politik Islam, termasuk Perti, berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 5 Januari 1973.
Kecewa dengan politik ketika PPP di bawah kepemimpinan Jailani Naro, S.H., maka pada 26 Juni 1988 Perti mengeluarkan pernyataan sikap kemandiriannya, yang ditandatangani oleh Drs. H. Nurul Huda (ketua), Yudo Paripurno, S.H. (sekjen), dan Rusli A. Wahid (ketua Majelis Syura). Isinya antara lain adalah
(1) sejak 9 Januari 1973 Perti adalah organisasi kemasyarakatan yang mandiri, tidak berpolitik, bebas dan tidak terikat dengan organisasi sosial politik mana pun;
(2) Perti hanyalah wadah kegiatan untuk beribadah kepada Allah SWT melalui pendidikan, dakwah, dan amal sosial. Saat ini Perti dipimpin H Ubaidillah Murad. Walaupun Perti telah menanggalkan baju politiknya dan pihak Tarbiyah mengaku “tidak berpolitik”, keduanya belum bersatu dalam sebuah wadah seperti sediakala.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirajuddin. Khotbah Iftitah Konggres VIII Tarbiyah Islamiyah. Jakarta: DPP Tarbiyah, 1955.
Alaiddin. “Perkembangan Paham Keagamaan di Kalangan Generasi Muda Perti,” Tesis Magister Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1990.
Arrasuli, Baharuddin. “Ayah Kita,” Brosur Peringatan Ulang Tahun Persatuan Tarbiyah Islamiyah ke-50, 1978.
DPP Perti. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perti. Jakarta: DPP Perti, 1967.
–––––––. Dokumen Lama 1969–1975. Jakarta: Sekretariat DPP Perti, 1975.
–––––––. “Pernyataan Kemandirian Persatuan Tarbiyah Islamiyah Perti,” Nomor 196/C-1/DPP/1988.
DPP Tarbiyah. Buku Panduan Musyawarah Nasional IV Tarbiyah. Jakarta: DPP Tarbiyah, 1989.
–––––––. Hasil Keputusan Rapat Kerja Nasional Tarbiyah. Jakarta: DPP Tarbiyah, 1986.
–––––––. Hasil Musyawarah Nasional IV Tarbiyah. Jakarta: DPP Tarbiyah, 1989.
–––––––. Keputusan Musyawarah Nasional Tarbiyah. Jakarta: 1984.
Koto, Alaiddin. Pemikiran Politik PERTI Persatuan Tarbiyah Islamiyah 45–70, Jakarta: Nimas Multima, 1997.
Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES, 1985.
–––––––. Partai Islam di Pentas Nasional 1945–1965. Jakarta: Grafiti, 1987.
Wahid, Rusli A. Kepertian. Jakarta: DPP Perti, 1985.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya, 1985.
HELMI KARIM