Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara perempuan dan laki-laki maupun antarbangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah SWT.
Konsep tentang jenis kelamin perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat disebut gender. Konsep gender ini muncul karena orang melihat bahwa dalam masyarakat ada perlakuan tidak adil terhadap kaum perempuan.
Misalnya, perempuan dalam rumah tangga hanya diberi peran domestik seperti memasak, mencuci, dan mengurusi anak serta suami; tidak diberi kesempatan untuk mengecap pendidikan tinggi; tidak dibenarkan untuk menduduki jabatan penting, seperti jabatan sosial, politik, dan agama.
Pendeknya, kaum perempuan diperlakukan secara diskriminatif dan dipandang lebih rendah dari laki-laki, padahal agama mengajarkan kesetaraan di hadapan Allah SWT, dan yang membedakan hanyalah ketakwaannya kepada Allah SWT.
Salah satu isu gender dalam Islam adalah: “Apakah perempuan boleh menjadi pemimpin?” Yang menolak perempuan pemimpin biasanya bersandar pada firman yang menyatakan, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” (QS.4:34).
Ayat ini sebenarnya terkait dengan kehidupan rumah tangga. Yang dimaksud dengan laki-laki adalah “suami” dan wanita adalah “istri”. Yang lebih penting lagi adalah lanjutan ayat itu yang berbicara mengenai nafkah. Kata-kata “suami adalah pemimpin istri” disandarkan pada alasan dalam kalimat lanjutannya, yaitu “karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” untuk istri mereka.
Dengan demikian, ayat itu tidak bisa dijadikan alasan untuk meneguhkan kepemimpinan laki-laki atas perempuan dengan menolak bahwa perempuan bisa saja menjadi pemimpin. Contoh perempuan pemimpin adalah Aisyah, istri Nabi SAW, yang memimpin pasukan muslim dalam Perang Jamal (35 H/656 M).
Dalam Al-Qur’an (QS.27:23; 34:15) ada kisah Ratu Bilqis dari Saba, yang berjaya sekitar 1100–950 SM, ketika Sulaiman menjadi raja Israil. Kisah ini berisi pesan bahwa perempuan pun mampu memimpin pemerintahan.
Hadis yang sering kali dijadikan alasan untuk menolak kepemimpinan perempuan berbunyi: “Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.”
Hadis ini adalah jawaban Nabi SAW atas pelantikan seorang putri Kisra di Persia yang menurutnya tidak cakap memimpin suatu pemerintahan. Dengan kata lain, hadis ini tidak berlaku umum. Selain itu, Nabi SAW menolak ketidakmampuan putri tersebut dalam memimpin pemerintahan, bukan keperempuanannya.
Tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam Islam, Al-Qur’an menyebutkan,
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepa-da Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang ba-gus di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar” (QS.9:71–72).
Kedudukan perempuan dalam pandangan Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.
Muhammad al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis:
“Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua.
Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.”
Mahmud Syaltut, mantan pemimpin tertinggi Universitas Al-Azhar di Mesir, menulis:
“Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana meng anugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus.
Karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan.”
Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan tersebut. Salah satu di antaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan, sehingga tidak jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan itu.
Pandangan masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis oleh Al-Qur’an. Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh anak perempuan (QS.16:58–59).
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Qasim. Tahrir al-Mar’ah. Cairo: Dar al-Ma’arif, 1970.
Daradjat, Zakiah. Islam dan Peranan Wanita. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
al-Ghazali, Muhammad. al-Islam wa at-Taqat al-Mu‘attalat. Cairo, Dar al-Kutub al-Haditsah, 1964.
Mahmud, Jamaluddin Muhammad. Huquq al-Mar’ah fi al-Mujtama‘ al-Islami. Cairo: al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah, 1986.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Cairo: Dar al-Manar, 1367 H.
Syaltut, Mahmud. Min Taujihat al-Islam. Cairo: al-Idarah al-Ammah li al-Azhar, 1959.
Musdah Mulia