Pengadilan Agama adalah sebuah lembaga pemerintah Republik Indonesia yang berada di bawah Departemen Agama dan bertugas di bidang kekuasaan kehakiman hukum Islam. Wewenang pengadilan Agama di Indonesia terbatas pada masalah muamalah yang bersifat pribadi. Masalah salat, puasa, dan zakat tidak termasuk di dalamnya. Hukum muamalah pun terbatas pada nikah, cerai, dan rujuk. Soal fara’idh (waris) hanya diambil secara terbatas.
Di dalam wewenangnya terdapat perbedaan antara Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dan di luar Jawa. Namun pada umumnya, semua Pengadilan Agama mempunyai wewenang tentang nikah, cerai dan rujuk, serta akibat yang ditimbulkannya. Hanya, di luar Jawa dan Madura pengadilan tersebut mempunyai wewenang tentang waris, hadhanah (mengasuh dan membantu anak orang lain), wakaf, hibah (pemberian), dan baitulmal (dana masyarakat).
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dalam hal waris hanya bertindak sebagai konsultan karena masalah tersebut berada dalam wewenang pengadilan umum. Hukum Islam yang lainnya, seperti hukum dagang (hukum jual beli), hukum tanah, serta hukum pidana, berlaku di Indonesia tanpa ada kaitannya dengan Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama di Indonesia berasal dari zaman Belanda, dulu bernama Priesterraad. Wewenangnya kini sama saja dengan pada masa penjajahan.
Jumlah Pengadilan Agama bertambah terus baik di Jawa maupun di pulau lainnya. Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura semasa penjajahan Belanda mempunyai wewenang yang lebih luas. Sekarang hal itu disesuaikan dengan wewenang yang ada di Jawa dan Madura karena Jawa dan Madura dijadikan contoh untuk Pengadilan Agama lainnya.
Pengadilan Agama di Indonesia mempunyai wewenang yang terbatas karena memang demikian menurut sejarah pertumbuhannya. Ketika pertentangan dan perebutan kekuasaan antara Mu‘awiyah dan golongan Ahli Madinah memuncak, dihasilkan suatu kompromi yang menyatakan bahwa segala urusan mengenai pemerintahan dan hukum pidana, inklusif hukum acaranya, diserahkan kepada kebijakan khalifah.
Adapun kehidupan keagamaan, hukum perkawinan, dan hukum waris serta wakaf menjadi kompetensi golongan Ahli Madinah. Islam yang masuk ke Indonesia itu dibawa oleh orang Ahli Madinah atau pengikut Islam Ahli Madinah. Itulah sebabnya hukum Islam di Indonesia tidak pernah melaksan-akan hukum pidana Islam.
Ketika pemerintah kolonial Belanda menginjakkan kakinya di bumi Indonesia, sudah menjadi suatu kenyataan bahwa sebagian hukum Islam yang menjadi landasan materiil bangsa Indonesia telah menjadi keyakinan hidup yang tidak bisa ditekan dan dibendung oleh pemerintah kolonial Belanda.
Oleh karena itu, penerapan hukum Islam bagi penganut Islam di Indonesia membuka mata penjajah untuk memberikan aturannya secara formal dalam perundang-undangan yang lebih konkret.
Landasan formal berdirinya Pengadilan Agama, sejalan dengan berdirinya Pengadilan Agama itu sendiri, adalah Staatsblad (Lembaran Negara) tahun No. 152. Sebelum dikeluarkannya Staatsblad (disingkat: Stbl.), memang sudah ada produk perundang-undangan yang mengatur kepentingan umat Islam, namun masih bersifat terbatas, seperti Stbl. 1820 No. 22, peraturan tanggal 25-3-1825, serta Ketetapan Komisaris Jenderal tanggal 12-3-1828 No. 17. Stbl. 1882 No. 152 berisi 7 pasal, yang pada dasarnya menyatakan bahwa di samping tiap landraad (pengadilan negeri), diadakan Pengadilan Agama yang mempunyai daerah hukum yang sama.
Selebihnya, Staatsblad ini hanya mengatur hal teknis penanganan perkara, seperti jumlah penghulu yang menangani perkara, proses pengambilan keputusan, bentuk administrasi dan surat-menyurat, serta hal teknis lainnya.
Selanjutnya, pada 1937 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Stbl. 1937 No. 116, yang hanya berisi perubahan Stbl. 1882 No. 152 untuk Pengadilan Agama tingkat pertama. Pada tahun yang sama, keluar pula Stbl. 1937 No. 610 yang berisi tentang pembentukan Mahkamah Islam Tinggi.
Ketiga Staatsblad tersebut di atas hanya berlaku bagi wilayah Jawa dan Madura. Kawasan Indonesia lainnya diatur dengan peraturan yang diberikan kemudian, yaitu Stbl. 1937 No. 638 dan No. 639 untuk wilayah Kalimantan Selatan dan Timur, dan Peraturan Swapraja Stbl. 1938 No. 529 pasal 12 untuk wilayah Kalimantan lainnya, Riau, Sumatera Timur, seluruh Sulawesi, dan beberapa wilayah di Sunda Kecil (kini: wilayah Nusa Tenggara dan Bali).
Adapun wilayah yang lainnya diatur dengan Peraturan Swapraja Stbl. 1932 No. 80 pasal 12.
Pada masa pendudukan Jepang, Pengadilan Agama tidak mengalami perubahan, kecuali namanya diubah ke dalam bahasa Jepang, yaitu Sooryo Hooin.Perundang-undangan yang mengatur Pengadilan Agama pada masa pemerintahan Jepang sama dengan perundang-undangan dalam masa pemerintahan Belanda, yaitu Stbl. 1882 No. 152 jo. Stbl. 1937 No. 116 dan No. 610 untuk Jawa dan Madura, Stbl. 1937 No. 638 dan No. 639 untuk Kalimantan Selatan, dan Stbl. 1932 No. 80 atau Stbl. 1938 No. 529 untuk daerah lainnya.
Semuanya itu berdasar pada Aturan Peralihan pasal 3 Undang-Undang Bala Tentara Jepang, tanggal 7 Maret 1942.
Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah mengeluarkan PP. No. 5/SD tanggal 25-3-1946 yang mengubah kedudukan Pengadilan Agama, yang semula di bawah De-partemen Kehakiman, menjadi berada di bawah Departemen Agama.
Kemudian, pada tahun 1957 pemerintah mengeluarkan PP. No. 45 tahun 1957 untuk mengatur Pengadilan Agama selain Jawa dan Madura, serta Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dengan demikian, ada tiga jenis peraturan yang mengatur keberadaan Pengadilan Agama, yaitu:
(1) Stbl. 1882 No. 152, Stbl. 1937 No. 116 dan Stbl. 1937 No. 610 untuk wilayah Jawa dan Madura dengan nama Pengadilan Agama untuk tingkat pertama dan Mahkamah Tinggi Islam untuk tingkat banding;
(2) Stbl. 1937 No. 638 dan 639 untuk wilayah Kalimantan Selatan dan Timur dengan nama Kerapatan Qodhi untuk pengadilan tingkat pertama dan Kerapatan Qodhi Besar untuk tingkat banding; dan
(3) PP. No. 45 tahun 1957 untuk wilayah selain Jawa dan Madura serta Kalimantan Selatan dan Timur, dengan nama Mahkamah Syari‘ah untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syari‘ah Propinsi untuk tingkat banding.
Setelah Orde Baru, ketiga pembentukan Pengadilan Agama di atas diperkuat dengan keluarnya UU. No. 14 tahun 1970. Pada pasal 10 ayat (1) ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan Agama, (c) Peradilan Militer, dan (d) Peradilan Tata Usaha Negara.
Kemudian, Peradilan Agama lebih diperkuat lagi dengan keluarnya Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1977 tentang Kasasi bagi Putusan Pengadilan Agama.
Penyeragaman istilah untuk seluruh Indonesia baru dilakukan setelah keluarnya SK. Menteri Agama No. 6 tahun 1980, yaitu “Pengadilan Agama” untuk pengadilan tingkat pertama dan “Pengadilan Tinggi Agama” untuk tingkat banding. Pada 29 Desember 1989, Presiden RI mengesahkan UU. No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dimuat dalam Lembaran Negara RI. No. 49 tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3400.
DAFTAR PUSTAKA
Noer, Deliar. Administrasi Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1963.
Su’ud, Ahmad. “Prospek Peradilan Agama,” Harian Pelita, 2 Maret 1989.
Zarkasyi, Muchtar. “Kerangka Historis Pembentukan UU No. 7 Tahun 1989,” Mimbar Hukum, No. 1, Th. I, 1990.
M. DJUHRO S.
__