Patung sudah menjadi perdebatan klasik dalam fikih. Jika dijadikan berhala, patung adalah haram. Al-Qur’an melarang berhala. Penyembah berhala termasuk orang musyrik. Al-Qur’an menegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik” (QS.4:48).
Pada masa awal Islam, patung atau membuat patung termasuk benda atau pekerjaan yang diharamkan. Hal ini berkaitan dengan upaya Nabi Muhammad SAW untuk membangun basis tauhid yang kuat bagi masyarakat muslim. Pada masa awal Islam, patung berhubungan erat dengan berhala yang menjadi sembahan masyarakat musyrik Mekah.
Ketika Nabi SAW menaklukkan kota Mekah (melalui peristiwa Fath al-Makkah atau Pembebasan kota Mekah), semua patung yang berada di sekeliling Ka’bah dihancur-kan. Bahkan sebelumnya, Nabi Ibrahim AS menghancurkan patung yang dibuat ayahnya yang dijadikan sembahan oleh kaumnya.
Patung paling tidak memiliki dua makna penting sebagai berhala dan karya manusia yang terbuat dari tanah, kayu, dan batu, mirip manusia atau binatang. Patung yang dijadikan berhala disebut ahnam. Menyembah berhala adalah haram secara hukum; demikian pula membuat dan menyebarkannya untuk keperluan penyembahan. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia…” (QS.29:17).
Nabi Muhammad SAW melarang umatnya membuat patung karena pekerjaan seperti itu menyerupai pekerjaan Allah SAW dalam mencipta. Padahal dalam Islam, pekerjaan mencipta itu hanya milik Allah SWT semata. Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Sesungguhnya orang-orang yang membuat patung-patung ini nanti di hari kiamat akan disiksa dan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkanlah patung yang kamu buat itu’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mengabadikan seseorang dengan membuatkan patung dirinya bukan merupakan tradisi Islam. Itu merupakan tradisi Kristen yang melahirkan ikonoklasme. Islam tidak mengenal ikonoklasme. Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah SAW melarang perbuatan tersebut,
“Jangan kamu menghormat aku seperti orang-orang Nasrani menghormati Isa bin Maryam, tetapi katakanlah, bahwa Muhammad itu hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari).
Sementara itu tentang pembuatan patung atau boneka yang memiliki tujuan tertentu, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang paling masyhur adalah membolehkannya. Dalam sebuah hadis yang diceritakan Aisyah, Rasulullah SAW justru membolehkan Aisyah bermain dengan boneka, karena di dalamnya ada unsur pendidikan. Aisyah berkata,
“Aku biasa bermain-main dengan anak-anakan perempuan (boneka perempuan) di sisi Rasulullah SAW dan kawan-kawanku datang kepadaku, kemudian mereka menyembunyikan boneka-boneka tersebut karena takut kepada Rasulullah SAW, tetapi Rasulullah SAW malah senang dengan kedatangan kawan-kawanku itu, kemudian mereka bermain-main bersama aku” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat yang lain diceritakan,
“Sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu hari bertanya kepada Aisyah, ‘Apa ini?’ Jawab Aisyah, ‘Ini anak-anak perempuanku (boneka perempuanku).’ Kemudian Rasulullah bertanya lagi, ‘Apa yang di tengahnya itu?’ Jawab Aisyah, ‘Kuda.’ Rasulullah bertanya lagi, ‘Apa yang di atasnya itu?’ Jawab Aisyah, ‘Itu dua sayapnya.’ Kata Rasulullah, ‘Apa ada kuda yang bersayap?’ Jawab Aisyah, ‘Belumkah engkau mendengar, bahwa Sulaiman bin Daud mempunyai kuda yang mempunyai beberapa sayap?’ Kemudian Rasulullah tertawa sehingga tampak gigi gerahamnya” (HR. Abu Daud).
Imam asy-Syaukani (1759–1834), tokoh usul fikih dan ahli hadis Mazhab Zaidiyah, mengatakan bahwa hadis tersebut menunjukkan anak-anak kecil boleh bermain-main dengan boneka (patung). Tetapi Imam Malik (716–795) melarang laki-laki membelikan boneka untuk anak perempuannya.
Qadi Iyad, pengarang dan ulama Mazhab Maliki, berpendapat bahwa anak-anak perempuan yang bermain-main dengan boneka perempuan itu merupakan suatu rukhsah (keringanan).
DAFTAR PUSTAKA
Beg, M. Abdullah Jabbar. Seni di dalam Peradaban Islam, terj. Yustiono dan Edy Sutriyono. Bandung: Penerbit Pustaka, 1988.
Israr, C. Sejarah Kesenian Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab, terj. Afif Muhammad. Jakarta: Basrie Press, 1994.
AHMADIE THAHA
__