Pan Islamisme bertujuan untuk menyatukan Islam sedunia. Paham ini berasal dari ide Jamaluddin al-Afghani (1839– 1897), pemikir, aktivis, dan jurnalis Islam. Ada yang berpendapat bahwa paham ini sudah dikemukakan at-Tahtawi (1801–1873), pembaru Islam Mesir. Ia menyebutkan dua ide (Islam dan patriotisme) yang melahirkan dua bentuk ukhuwah: ukhuwah islamiah dan ukhuwah wataniah. Ia menegaskan bahwa ide Islam dan patriotisme tidak bertentangan.
Paham penyatuan dunia Islam, yang menjadi inti dari Pan Islamisme, baru jelas dan lebih tegas pada pemikiran Jamaluddin al-Afghani. Ide Pan Islamisme berkaitan erat dengan kondisi abad ke-19 yang merupakan abad kemunduran dunia Islam dan kemajuan dunia Barat yang sedang menguasai atau menjajah negeri Islam.
Dalam masa itulah Jamaluddin al-Afghani menyaksikan betapa bangsa Barat, dalam hal ini Inggris, mencampuri urusan negeri Islam dan betapa negeri Islam itu, terutama para penguasanya, tidak menyadari bahaya campur tangan tersebut. Campur tangan Inggris itu pertama kali dilihatnya di negerinya sendiri, Afghanistan.
Kemudian di India, Mesir, dan Iran ia menyaksikan hal yang serupa, yang menebalkan keyakinannya bahwa dunia Islam sedang menjadi permainan politik bangsa penjajah dari Barat, khususnya Inggris, dan merupakan ancaman yang serius bagi dunia Islam.
Kondisi dunia Islam seperti telah dilukiskan itu kemudian melahirkan dalam diri Jamaluddin suatu obsesi yang kuat guna menggalang dan mewujudkan upaya penyatuan dunia Islam, yang kemudian disebut Pan Islamisme.
Sebagai ide, Pan Islamisme telah memperoleh dukungan dari hampir semua pemimpin Islam dan tokoh intelektual sepanjang abad 19–20 dan juga telah memberi inspirasi bagi lahirnya banyak negeri Islam dan gerakan nasionalis (kebangsaan).
Sekalipun demikian, semangat Pan Islamisme di satu pihak dan semangat lokal atau nasionalisme di lain pihak kadang-kadang berada pada posisi berhadapan dan saling bentrok.
Selain itu, Pan Islam isme juga pernah diberi pengertian sedemikian rupa, sehingga hanya me ngesankan sebagai sekadar label atau alat bagi kepentingan mempertahankan kekuasaan dan despotisme, seperti Pan Islamisme yang digembar-gemborkan sultan Turki, Abdul Hamid II (1876–1909).
Sebagian lain memahami Pan Islamisme sebagai usaha membangkitkan kembali sistem kekhalifahan, bahkan sebagian lainnya mendukung bentuk pemerintahan kesultanan dan keamiran, di samping sebagian lainnya memilih sistem demokrasi Barat, tetapi dalam konteks Islam.
Oleh karena itu, di lingkungan pendukung Pan Islamisme muncul cita-cita untuk mengembalikan pemerintahan kekhalifahan tunggal atau kekuasaan politik pusat sebagaimana pernah terjadi pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Empat Khalifah Besar) atau pada masa kebesaran pemerintahan (kekhalifahan) Daulah Abbasiyah di Baghdad, di samping munculnya ide mengenai model negara persemakmuran dan negara federasi.
Semua itu, karena masih merupakan cita-cita dan teori, menunjukkan betapa amat rumit dan tidak sederhananya Pan Islamisme tersebut apabila akan dipraktekkan sebagai bagian dari program politik praktis.
Idealisme Pan Islamisme tidak memperlihatkan hasil secara konkret, namun banyak pengamat menilai bahwa idealisme itu terus memberikan inspirasi kepada berbagai kelompok aktivis di berbagai negeri dan tetap hidup demikian jelas dalam aspirasi kalangan rakyat.
Terlepas dari pengertian Pan Islamisme seperti yang dicanangkan Jamaluddin al-Afghani, yang dalam bahasa Arab disebut al-Jami‘ah al-IslÎmiyyah, semangat menggalang kesatuan umat Islam dan melindunginya dari unsur yang bisa merusak, yang menjadi bagian dari semangat Pan Islamisme, sudah dijumpai pada berbagai gerakan Islam di banyak negeri Islam, dan biasa pula dijuluki sebagai gerakan “fundamentalis” Islam.
Gerakan Wahabi di Hijaz; kaum neo-Wahabi di Mesir, Suriah, Yordania dan lain-lain; Jemaat-e Islami yang didirikan oleh Abu A’la al-Maududi; Ikhwanul Muslimin di Mesir; gerakan Sayid Nursi di Turki pada masa pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk sampai Revolusi Islam Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini, memperlihatkan kesamaannya dengan Pan Islamisme dari segi semangatnya.
Di samping itu terdapat pula para pemimpin Islam yang memandang Pan Islamisme sebagai hal yang tidak berguna; pandangan ini dianut, misalnya, oleh Ahmad Khan, tokoh pembaru di India. Gamal Abdel Nasser, pemimpin dan presiden Mesir, pada masanya tidak saja menunjukkan sikap ketidaksetujuannya terhadap paham Pan Islamisme, tetapi bahkan mengemukakan Pan Arabisme, paham yang mengutamakan nasionalisme bangsa Arab.
Di samping sikap yang tidak menyetujui Pan Islamisme karena berbagai alasan, usaha pengejawantahan semangat dan ide tersebut masih terus berlangsung sampai sekarang. Di antara usaha tersebut adalah terbentuknya Liga Dunia Islam (Muslim World League atau Rabitah al-‘Alam al-Islami) pada 1962. Liga yang didukung oleh 43 negara itu menyokong penyelenggaraan konferensi Islam dan berbagai program Islam lainnya.
Seruan yang disampaikan Raja Faisal bersama shah Iran pada tahun 1965 bagi terselenggaranya suatu KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Islam untuk para kepala negara muslim di Mekah sesungguhnya merupakan bagian dari usaha mewujudkan semangat Pan Islamisme.
Sebuah konferensi yang dilaksanakan 5 tahun kemudian di Jiddah, yang dihadiri oleh para menteri luar negeri negara muslim, berhasil membentuk sebuah lembaga permanen yang dinamai Organization of Islamic Conference (OIC) atau Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang berkedudukan di Jiddah; organisasi ini dipandang sebagai upaya maksimal dalam menampung aspirasi Pan Islamisme karena ia adalah yang pertama dan resmi berbentuk kerjasama antar-pemerintah negara muslim.
Pada penghujung tahun 1991 organisasi tersebut menyelenggarakan konferensinya yang ke-6 di Dakkar. Indonesia, yang selalu mendukung OIC, di bawah pimpinan Presiden Soeharto mengikuti konferensi tersebut.
Arab Saudi selama ini bertindak sebagai pendorong utama lahirnya organisasi Islam internasional, namun karena organisasi tersebut mendapat sambutan dan partisipasi dari negeri Islam yang lain, maka terdapat dugaan kuat bahwa semangat Pan Islamisme masih tetap mencari bentuknya yang lebih sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masa.
Kantor Berita Islam Internasional (International Islamic News Agency), Pusat Internasional bagi Riset Ekonomi Islam (Inter-national Centre for Research in Islamic Economics), Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank), dan lain-lain, adalah beberapa contoh dari usaha penyesuaian tersebut.
Sebagai suatu ide, Pan Islamisme untuk masa depan masih akan tetap menarik bagi bangsa muslim guna menjawab era globalisasi masyarakat manusia pada masa kini.
Daftar Pustaka
Adams, Charles C. Islam and Modernism in Egypt. London: Oxford University Press, 1933.
Helt, P.M., ed. The Cambridge History of Islam. Cambridge: Cambridge at The University Press, 1970.
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press, 1989.
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra, ed. Perkembangan Modern Dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.
Smith, Wilfred Cantwell. Modern Islam in India A Social Analysis. London: Vicor Gollancz Ltd., 1946.
MOCH. QASIM MATHAR