Palestina

Palestina, sebuah negeri di kawasan Timur Tengah, berarti “negeri orang Filistin”. Dalam Alkitab, Palestina disebut juga tanah Israil, tanah Tuhan, tanah suci, dan tanah bangsa Ibrani. Negeri ini mempunyai sejarah panjang bagi agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Palestina berbatasan di barat dengan Laut Tengah,­ di timur dengan Sungai Yordan dan Laut Mati, di utara dengan Gunung Hermon pada perbatasan Suriah-Libanon, dan di selatan dengan Semenanjung Sinai.

Letak kawasan Palestina di antara Mesir­ dan Asia Barat Daya men­jadikannya pusat seng­keta berbagai bangsa. Di dalamnya terdapat kota Yerusalem dengan berbagai sebutan, seperti Ursa­lem, Yepus, Kota Daud, Yudes, Ary’il, Aelia Capitolina­ (pada masa ini timbul sebutan Palestina untuk kawasan kota ini dan berbagai kota di sekitarnya).

Sebutan lainnya Baitul makdis (Bait al-Maqdis) atau al-Quds asy-Syarif (Suci dan Mulia), dan Ursalem al-Quds (Yerusalem yang Suci), sebutan pe­merintah Israel sekarang. Kesucian kota ini bagi ketiga­ agama (Yahudi, Kristen, dan Islam) turut menambah ketegangan antarbangsa dan agama.

Palestina disebut juga Kanaan. Sejak lebih dari 4.000 tahun, orang Kanaan telah hidup di Palestina. Mereka membangun kota dan istana. Tempat ibadah yang dihiasi­ dengan berhala didirikan untuk menyembah ­alam, terutama Tuhan badai yang menciptakan manusia.

Rumah mereka juga dibangun ­dengan bentuk yang indah dan unik. Negeri ini kemudian menjadi tempat turunnya sebagian nabi Allah SWT yang menyerukan umat manusia untuk mengesakan­-Nya. Di antara mereka adalah Nabi Ibrahim AS. Ia pernah berada di Mekah dan meninggalkan putranya, Ismail, yang menjadi bapak bagi sejumlah besar suku bangsa Arab.

Sementara­ itu, Ibrahim juga mempunyai­ putra lain, Ishaq, yang tinggal di tanah Palestina. Ishaq mem­punyai putra­ bernama­ Ya‘qub yang juga dise­but­ Israil. Ya‘qub diberkati­ dan dikaruniai banyak ­anak, antara lain Lawe (berketurunan Musa, Harun, Il­yas, dan Ilyasa),Yahuza (berketurunan Daud, Sulai­man,­ Zaka­ria, Yahya, dan Isa), Yusuf, dan Benyamin (berketurunan Yunus).

Ketika negeri Kanaan dilanda ke­laparan, Israil mem­bawa anak-anaknya­ ke Mesir. Ketika itu, Yusuf telah menjadi pe­ng­uasa Mesir. Dengan demikian, terbentuklah Bani Israil di Mesir­. Pada masa fir’aun mereka ditindas. Maka atas perintah Allah SWT, Nabi Musa AS membawa mereka untuk memasuki tanah suci (al-ardh al-muqaddasah)­ Palestina­.

Di negeri inilah Musa menerima ajaran Allah SWT untuk dijadikan pedoman­ bagi umatnya. Kitab Taurat, nama kitab yang memuat ajaran tersebut, kemudian menjadi pegangan bagi Bani Israil (disebut juga bangsa Yahudi;­  bahasanya: Ibrani).

Sekitar abad ke-13 atau ke-14 SM suku Ibrani di bawah pimpinan Yusak berhasil menguasai­beberapa bagian kawasan Palestina. Ketika itu, suku Kanaan Semitik yang berasal dari Semenanjung Arabia telah menghuni kawasan tersebut.

Bangsa Yahudi mencapai kejayaannya pada masa Nabi­ Daud AS dan Nabi Sulaiman AS. Akan tetapi, keberadaan Yahudi segera terpecah ke dalam dua kerajaan: Israil dan Yahuza. Mulai abad ke-7 SM, kerajaan mereka berturut-turut mendapat serangan­ dari Persia (Iran), Macedonia, Assyria (kota kuno di Mesopotamia, sekarang Irak), dan Babilonia (selatan Mesopotamia).

Pada 64 SM, Kekaisaran Romawi menguasai Yerusa­lem (al-Quds), kemudian melebarkan sayapnya ke seluruh kawasan ­Palestina yang ketika itu dihuni oleh bangsa Yahudi, Adomia, Etoria, Amonia, dan Arab. Pada masa itu, Taurat pun mengalami penyelewengan dari aslinya dengan munculnya Talmud, kitab pedoman umat Yahudi yang baru. Kedatangan Nabi Isa AS dengan membawa ajaran Allah SWT yang terhimpun dalam kitab Injil segera mendapat tantangan dari umat Yahudi.

Meskipun demikian, agama Nabi Isa AS yang kemudian­dikenal dengan Nasrani atau Kristen ini lambat laun berhasil menanamkan pengaruhnya kepada penduduk di kawasan itu. Sejak abad ke-7 mulailah terjadi kontak antara Islam dan Palestina. Pada masa ini kawasan yang disebut Syam (Suriah) termasuk dalam Pa­lestina.

Kontak awal Palestina dengan Islam terjadi ketika Nabi Muhammad SAW mengadakan perjalanan ilahiah (isra), yaitu perjalanan Nabi SAW pada malam hari dari Mekah ke Yerusalem. Hal ini terdapat dalam surah al-Isra’ (17) ayat 1 yang berarti: “Maha Suci Allah, Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil haram ke Masjidil aksa….”

Yang dimaksud dengan Masjidil aksa tersebut bukanlah dalam wujudnya seperti yang sekarang ada di Yerusalem, karena masjid ini didirikan pada 705 oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Dinasti Umayah. Masjidil aksa yang dimaksud adalah masjid yang pada masa Nabi SAW hanya merupakan haekal atau ‘tempat yang mulia’ (Yerusa­lem), yang dibuat pada masa Nabi Sulaiman AS.

Di tengah haekal itu terdapat sebuah batu be­sar berwarna hitam yang disebut Sakhrah. Dengan menghadap ­ke arah batu inilah Nabi Muhammad SAW mengerjakan­ salat dua rakaat; kemudian dengan berlandaskan pada batu ini pula beliau dinaikkan Allah SWT untuk menjalani mikraj. Isra dan mikraj merupakan perjalanan yang dilakukan Nabi SAW untuk mene­rima­ mandat ilahiah, termasuk di dalamnya perintah salat.

Dalam perjalanan ini, Nabi Muhammad SAW dibawa untuk melihat kebesaran Allah SWT. Kemudian Nabi Muhammad SAW diberitahu bahwa di tempat inilah para rasul terdahulu menerima wahyu.

Setelah itu, sejak periode Mekah dan selama satu tahun di Madinah, Baitul makdis merupakan kiblat pertama umat Islam. Pengambilan tempat itu sebagai kiblat, selain diperintahkan Allah SWT, juga mengisyaratkan protes Nabi Muhammad SAW atas penganiayaan­ orang Quraisy Mekah terhadap kaum muslimin, dan larangan melakukan ibadah di Masjidil haram pada tahun pertama perkembangan­ Islam.

Setelah satu tahun di Madinah, datanglah ­perintah Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk menghadap kiblat ke Ka’bah. Hal ini pun disebabkan adanya anggapan masyarakat Yahudi Madinah bahwa agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW sama dengan agama yang me­reka anut. Karena itu, mereka enggan mengikuti­ agama baru itu.

Tentang kedudukan Yeru­salem dengan masjidnya ini, hadis qudsi (Hadis) menerangkan: “Barang siapa berziarah ke rumah-Ku (Masjidil haram) atau ke masjid Rasulullah (Masjid Nabawi) atau ke Baitul makdis, kemudian ia mati di sana, maka matinya adalah mati syahid” (HR. Dailami).

Hadis lain menjelas­kan: “Jangan bersusah payah berziarah, kecuali pa­da tiga masjid: Masjidil haram, masjidku ini, dan Masjidil aksa” (HR. Khamsah).

Setelah Nabi SAW wafat (tahun 632), ekspansi keluar Semenanjung Arabia dilakukan para kha­lifahnya. Tanah Palestina ditaklukkan pada masa Abu Bakar as-Siddiq (632–634). Amr bin As, setelah menaklukkan­ Gaza (Mesir), secara berturut-turut menaklukkan ­Sabest (Samarra, Irak), Nablus, Ludd dan daerahsekitarnya, Yupna,­ Awamas, Bait Jibrin (Arab Saudi), Yapa, dan Rafah. Abu Ubaidah pada masa Khalifah Umar bin Khattab (634–644) berhasil menaklukkan Elia (se­butan Yerusalem pada masa itu).

Penaklukan tentara Islam atas Pales­tina yang begitu cepat disebabkan ­berbagai faktor. Sa­lah satunya adalah tekanan para penguasa Bizantium-Kristen terhadap bangsa Sami. Meskipun sa­ma-sama beragama Kristen, mereka me­mandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa.

Hal ini memudahkan tentara Islam untuk memasuki negeri itu. Selain itu, kedatangan ­tentara Islam dengan membawa prinsip toleransi beragama telah mendorong penduduk Yerusalem untuk mengadakan perjanjian damai dengan pihak Islam. Perjanjian itu dilakukan Khalifah Umar sendiri dan patriark (pemimpin) Yerusalem yang menyerahkan kunci kota itu kepadanya­.

Prinsip ini telah menarik banyak penduduk­untuk memeluk Islam. Sejak itu, Palestina berada dalam kekuasaan Islam di bawah kegubernuran Mesir. Penduduknya menikmati keamanan dan ketenteraman, bahkan pada masa pemerintahan Bani Umayah dan Bani Abbas, banyak di antara mereka yang berpengaruh dalam hal kenegaraan­.

Ketika dunia Islam mengalami masa disintegrasi (1000– 1250), Palestina pernah berkali-kali menjadi arena Perang Salib. Dengan jatuhnya Asia Kecil (Anatolia) ke tangan Dinasti Seljuk, perjalanan umat Kristen Eropa yang akan melakukan ziarah ke Palestina menjadi terhalang. Untuk membuka kembali jalan itu, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen Eropa pada 1095 supaya mengadakan perang suci terhadap Islam.

Perang Salib I terjadi antara tahun 1096–1144, Perang Salib II antara 1144–1192, dan Perang Salib III antara 1193–1291. Namun, mereka tidak pernah berhasil merebut Palestina dari kekuasaan­ Islam.

Selama 400 tahun Palestina berada di bawah kekuasaan Usmani Turki. Hal ini dimulai pada 1517 dalam rangka serangan Sultan Salim I terhadap Mamluk Mesir dan berakhir pa­da 1917/1918, ketika Inggris merebut kawasan Bulan Sabit (Fertile Crescent) yang subur dari pendudukan­ orang Usmani. Periode antara abad ke-18–20 merupakan masa perubahan dramatis.

Perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

(1) penetrasi bangsa asing dan keterlibatan mereka dalam urusan internal menjadikan Palestina arena persaingan antarkekuatan ­Eropa;

(2) pertambahan penduduk mele­dak dengan emigrasi Yahudi-Eropa secara besar-besaran sebagai akibat penindasan terhadap mereka­ di Eropa Timur dan munculnya ­ideologi Zionisme;

(3) munculnya konsep pasar dunia akibat terjadinya perkembangan ekonomi dan meluasnya hubungan antarnegara;

(4) perubahan dalam peran pemerintahan dan struktur administrasi;

(5) munculnya­ kekuatan social baru; dan

(6) terbukanya ­jalan bagi pengaruh kultural Barat­. Semua perubahan ini dan perkembangan kontemporer lainnya telah meninggalkan bekas bagi konflik yang tak kunjung selesai sampai dewasa ini.

Dalam masa itu, sejak serangan berbagai bangsa datang silih berganti terhadap Palestina, umat Yahudi ­mening­galkan­ negeri ini dan menyebar ke berbagai negeri (Yun.: di­aspora = penyebaran), seperti ke Maroko, Spanyol, Rusia, dan Polandia.

Watak ketertutupan terhadap bangsa lain dan sifat individualistis, serta anggapan bahwa mereka meru­pakan bangsa pilihan, menimbulkan ke­bencian ­terhadap bangsa ini dan membuat mereka sering dike­jar-kejar penduduk asli setempat. Keadaan seperti ini menimbulkan kesadaran mereka untuk kembali ke tanah asal.

Kesadaran itu melahirkan ­gerakan yang disebut Zionisme. Pendirinya adalah Theodore Herzl yang pada 1896 menerbitkan Der Judenstaat (The Jewish State = Negara Yahudi). Buku ini berisi seruan pada bangsa Yahudi untuk membentuk sebuah negeri Yahudi, dan lokasinya kemudian ditentukan adalah di Palestina.

Dalam Perang Dunia I (1914–1918) Turki berpihak pada Jerman dan Austria-Hongaria melawan Sekutu. Inggris yang berada di pihak Sekutu melalui menteri luar negerinya, Arthur James Balfour, mengeluarkan ­sebuah deklarasi (2 November 1917) yang dikenal dengan “Deklarasi Balfour,” yang memberi dukungan bagi terbentuknya sebuah national home bangsa Yahudi di Palestina.

Seusai perang dengan kekalahan di pihak Jerman, wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Usmani, kecuali Anatolia, dibagi dalam daerah mandat. Palestina sendiri menjadi daerah mandat Inggris. Bangsa Arab menolak deklarasi dan permandatan itu.

Ketika Nazi lahir di Eropa, gelombang peng­ungsi Yahudi ke Palestina semakin besar dan dukungan ­terhadap negara Israel semakin meluas. Pada 1931, jumlah penduduk Palestina mencapai 1.035.821 dengankomposisi: 759.712 muslim, 83.610 Yahudi, 91.398 Kristen, dan 10.101 kelompok lain.

Antara 1936–1939 bangsa Arab Palestina memberontak terhadap kekuasaan­ Inggris. Usul pembagian Palestina ke dalam­ wilayah Arab dan Yahudi ditolak. Pada 1939, Inggris membatasi permukiman Yahudi di Palestina dan mengakhiri semua imigrasi bangsa Yahudi dalam 5 tahun.

Pada 1944, penduduk Palestina mencapai sekitar 1.764.000 (data 2022: penduduk Palestina berjumlah 5.310.832) dengan komposisi: 1.179.000 Arab, 554.000 Yahudi,­ dan 32.000 unsur lain. Selama Perang Dunia II bangsa Arab dan Yahudi Palestina menghentikan perlawanan terhadap Inggris dan bergabung dengan Sekutu.

Pada akhir perang, Nazi dikatakan mem­bunuh sekitar 6 juta Yahudi Eropa, tetapi keterangan ini dibantah pihak Yahudi yang cenderung memberikan jumlah lebih besar.

Inggris mengimbau PBB untuk menangani masalah ­Palestina. Pada 29 November 1947, rekomendasi ­Komisi Istimewa PBB untuk Palestina membagi wilayah ini menjadi negara Arab dan negara ­Yahudi.

Sementara itu, Yerusalem berada di bawah pengawasan internasional. Keputusan Sidang­ Umum PBB itu diterima bangsa Yahudi, tetapi ditolak bangsa Arab. Perang Arab-Israel pecah. Pada Mei 1948, setelah Inggris mengundurkan diri dari Palestina, negara Israel diproklamasikan dengan ibukota Yerusalem­.

Bangsa Arab Palestina yang dibantu bangsa Arab lain menyerbu Israel. Gencatan senjata yang diprakarsai PBB terjadi pada 1948 dan 1949 tanpa penandatanganan perjanjian­ damai.

Pada 1949–1967 merupakan masa berkobarnya ­kesadar­­an nasionalisme Palestina. Berbagai organisasi revolusioner dengan berbagai ideologi­nya (seperti Nasserisme, Ba‘tsisme, dan Marxisme) bermunculan. Di antaranya yang terpenting adalah PLO (Palestine Liberation Organization), yang didiri­kan pada konferensi puncak Arab (1964) dan bertujuan mendirikan negara Palestina bagi bangsa Arab.

Pada Juni 1967, perang Arab-Israel pecah kembali selama 6 hari. Gencatan senjata meng­akhiri perang itu, tetapi Israel menduduki seluruh Palestina dan daerah di luar Palestina yang didudukinya saat gencatan senjata itu terjadi.

Perang Arab-Israel ke-4 pecah pada 1973 dan berakhir dengan gencatan senjata pada 1974. Bangsa Arab dalam PLO terus-menerus melaku­kan serangan terhadap Israel. Sementara itu, dalam konflik ini arus pengungsi Palestina dan masalah perbatasan telah melibatkan negara tetang­ga seperti Mesir, Yordania, Suriah, dan Libanon.

Kunjungan presiden Mesir, Anwar Sadat, ke Israel pada 1977 dan pengakuannya di hadapan parlemen Israel atas hak hidup­bangsa Israel tidak berhasil menyelesaikan krisis. Perundingan Camp David pada September 1978 yang mempertemukan Anwar Sadat, Menachem Begin (PM Israel), dan Jimmy Carter (presiden Amerika Serikat) baru sedikit menyelesaikan masalah Sinai. Status otonom­ daerah Tepi Barat dan Jalur Gaza masih menjadi masalah besar.

Invasi Israel terhadap Libanon pada 1982 membuat hubungan Israel-Mesir menjadi buruk. Hu­bungan itu putus setelah serangan Israel terhadap Beirut dan pembantaian terhadap para pengungsi di kamp Palestina oleh milisi Phalangi yang bersekutu dengan Israel.

Pada 1980-an masa depan Tepi Barat Yordan semakin membingungkan­. Ada kemungkinan kawasan itu masuk wilayah Yordania,­ dianeksasi Israel, menjadi negara Palestina yang terpisah di Tepi Barat dan Jalur Gaza, menjadi kesatuan bangsa Palestina yang diidentifikasi­sebagai bangsa Yordania, atau digabungkan­ dengan Israel.

Pada 1982 presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan, mengusulkan ­resolusi perdamaian yang didasarkan pandangan bahwa penentuan ­nasib bangsa Palestina harus dicapai da­lam hubungannya dengan Yordan. Peristiwa ini meng­akibatkan rekonsiliasi (pertemuan ­kembali) antara Raja Husein dan pemimpin PLO, Yasser Arafat (w. 11 November 2004; pemimpin PLO beralih pada Mahmoud Abbas).

Para penguasa Israel di Tepi Barat tidak mendapat simpati dari mayoritas penduduk. Kemudian sebuah penelitian yang diadakan oleh penguasa Israel pada awal musim panas 1986 menyimpulkan­ bahwa PLO akan memperoleh kemenangan­ yang menentukan jika pemilihan diadakan di Jalur Gaza.

Pada 15 November 1988, Yasser Arafat, pemimpin PLO (ketika itu), memproklama­sikan kemerdekaan­ bagi negara Palestina-Arab dan mendapat peng­akuan dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Peristiwa ini bukan akhir dari krisis politik Timur Tengah.

Kerusuhan dan penganiayaan ­tentara Israel terhadap orang Arab terus berlangsung. Perdamaian Palestina-Israel serta Arab-Israel diupayakan dengan meng­adakan Konferensi Timur Tengah di Madrid (Oktober 1991) dan diteruskan di Washington DC.

Israel tidak hadir pada waktunya dan negara sponsor (Amerika Serikat dan Uni Soviet) tidak dapat berbuat banyak. Usaha perdamaian mendapat makna lebih penting setelah sekitar 30.000 warga Israel pendukung gerakan perdamaian berdemonstrasi­ di Tel Aviv menuntut kompromi wilayah.

Unjuk rasa yang dipimpin gerakan perdamaian­ Peace Now (Damai Sekarang)­ itu mendesak PM Yitzhak Shamir memilih tangkai zaitun sebagai lambang perdamaian dan mengulurkan tangan bagi perdamaian. Hal ini mendapat tantangan dari kelompok­ yang menolak kompromi dan ingin terus menduduki wilayah Palestina dan Arab yang diduduki­ Israel sejak perang 1967.

Pada 13 September 1993, tercapai perdamaian­ Israel-Palestina di Washington DC. Penandatanganan perjan­jian perdamaian yang dilakukan PM Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat disaksikan Presiden AS, Bill Clinton. Perjanjian tersebut antara lain berisi penyerahan pemerintahan ­atas wilayah Jericho dan Jalur Gaza kepada Palestina.

Selain itu, pada 1994 di Cairo kembali dilakukan penandatanganan otonomi Palestina di Jalur Gaza oleh Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin. Kemudian dibuat kesepakatan Israel-Palestina tentang izin bagi otoritas nasional Palestina pada 1995. Usaha tersebut diupayakan untuk tercapainya perdamaian antara Palestina dan Israel.

Upaya perdamaian yang dilakukan Yasser Arafat dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin di atas memberikan harapan baru bagi masa depan Palestina. Namun usaha tersebut kembali terkoyak oleh pembunuhan yang dilakukan tentara Israel terhadap tokoh muda Hamas, Yahya Ayyash pada 1 Juni 1996. Pembunuhan tersebut membakar amarah rakyat Palestina sehingga sendi-sendi perdamaian yang mulai terbangun hancur kembali.

Berbagai langkah yang dilakukan menuju perdamaian Palestina-Israel sering terhambat oleh peristiwa yang terjadi di antara kedua belah pihak. Berbagai pelanggaran­ yang dilakukan Israel atas wilayah Palestina telah menyulut tindak pembalasan dengan kekerasan, baik melalui pelemparan batu maupun dengan cara bom bunuh diri.

Misalnya, pada 7 April 2002, tentara Israel menem­bakkan­ rudal ke kompleks kantor Yasser Arafat yang dikepung pasukan Israel di Tepi Barat. Pihak Israel berdalih ­bahwa serangan tersebut dituju­kan untuk menembak orang Palestina yang telah menem­baki pasukan Israel dari dalam kompleks tersebut.

Sulit untuk mencari sebab awal dalam berbagai peristiwa pasca-upaya perdamaian­ yang dilakukan sebelumnya. Masing-masing pihak memiliki argu­mentasi untuk membenarkan setiap tin­dakan yang mereka lakukan.

Pada masa Yitzhak Rabin berkuasa, perdamaian seakan-seakan sudah di depan mata. Namun setelah itu, titik terang persoalan ­Palestina bagi perdamaian seolah lenyap kembali.

Beberapa kali pergantian perdana menteri Israel sering mengundang harapan sekaligus kecemasan bagi rakyat Palestina. Misalnya, ketika tersiar berita bahwa­ Benjamin Netanyahu terpilih sebagai perdana menteri Israel pada Mei 1996, segera muncul harapan sekaligus kecemasan.

Harapan besar terhadap kepemimpinan Netanyahu patut dipertaruhkan, karena pria kelahiran Tel Aviv, 21 Oktober 1949, ini pernah tinggal di AS pada 1976–1982 yang berarti ia bisa memiliki sikap yang lebih terbuka bagi proses dialog dan perdamaian.

Namun kenyataan berbicara lain, komentar dan per­nyataannya membakar emosi orang Palestina. Kecemasan pun muncul, terutama karena ia dikenal sebagai tokoh yang menentang proses perdamaian dengan Palestina. Ia juga menentang berdirinya negara Palestina. Bahkan ia berjanji akan mengirim lebih banyak tentara Israel ke Tepi Barat.

Di samping langkah mili­teristik, Netanyahu juga dikenal sebagai pendukung terhadap pembangunan permukiman baru Yahudi di daerah pendudukan. Ia juga sangat menentang pemberian setiap konsesi wilayah kepada Suriah dan menuntut agar Dataran Tinggi Golan tetap di bawah kekuasaan Israel.

Ini berarti Israel tidak akan pernah menyerahkan Dataran Tinggi Golan pada Suriah. Berbagai tindak kekerasan pun berlangsung antara rakyat Palestina dan tentara Israel selama kepemimpinan­ Netanyahu.

Pada Juni 1999, Netanyahu tersingkir dari kekuasaannya. Ehud Barak muncul sebagai pengganti. Seperti Netanyahu, kemunculan Ehud Barak memberikan harapan sekaligus kecemasan. Hal ini tidak terlepas dari sosoknya yang tidak jauh berbeda dengan Netanyahu.

Harapan muncul karena Ehud Barak dikenal sebagai murid kesayangan mantan PM Israel Yitzhak Rabin yang sangat mendukung upaya perdamaian di tanah Palestina. Namun di balik itu, Ehud Barak dikenal suka bersikap paling tahu atas persoalan Palestina dan orang lain dianggap tak tahu apa-apa. Hal ini terlihat dari obsesi Ehud Barak untuk mendiktekan kehendaknya­ menyangkut perdamaian­.

Atas sikapnya tersebut, banyak orang antipati terhadap kebijakannya. Ia begitu yakin bahwa langkah yang diambilnya akan mendapat dukungan dari kedua belah pihak. Na­­mun kenyataan ­berbicara lain.

Tampilnya Ariel Sharon sebagai perdana menteri Israel sejak Maret 2001 semakin memanaskan suasana Palestina. Ariel Sharon dikenal karena langkah kontroversialnya­. Ketika menjabat sebagai menteri pertahanan­ pada 1982, ia menge­rahkan tentara Israel untuk masuk ke Libanon dan menggempur PLO.

Selama perang tersebut sekitar dua ribu warga Palestina di kamp pengungsian di Shabra dan Shatila, Libanon, dibantai pasukan milisi Kristen Libanon yang bergabung dengan Israel.

Lebih dari 10 tahun setelah kejadian tersebut, Sharon kembali memperoleh kekuasaan. Ia ditunjuk sebagai menteri infrastruktur pada 1996, sebuah posisi baru yang khusus dibentuk untuk Sharon, kemudian sebagai menteri luar negeri pada 1998. Kedua jabatan tersebut berlangsung pada saat Netanyahu menjadi perdana menteri.

Pada 1999, Sharon mengisi jabatan kosong kepala Partai Likud, setelah ditinggalkan Benjamin Netanyahu. Sharon melakukan langkah controversial ketika ia berkunjung ke tempat yang disucikan oleh orang Palestina, yaitu Haram ash-Sharif (Tanah Suci yang Mulia), dan Israel (Temple Mount) pada September 2000. Atas sikapnya tersebut, beberapa peristiwa kekerasan antara rakyat Palestina dan Israel terjadi­. Intifadah Palestina kembali menemukan momentum.

Kekerasan lain terjadi sehari setelah terpilihnya Ariel Sharon sebagai perdana menteri Israel. Dalam peristiwa tersebut 5 warga Israel mengalami luka akibat ledakan, dan seorang anak lelaki meninggal serta 26 orang lainnya terluka, saat pasukan Israel melepas tembakan ketika terjadi aksi demonstrasi.

Di bawah kepemimpinan Ariel Sharon, Israel melakukan agresi terhadap Palestina. Bahkan sejak 29 Maret–15 April 2002 Israel melakukan agresi militer terbesar yang disebutnya sebagai “operasi perisai pertahanan” sejak perang Libanon pada 1982.

Israel menguasai dan mengokupasi kota Palestina di Tepi Barat yaitu Ramallah, Beit Jaim, Bethlehem, Nablus, Jenin, Qalqiliyah, Salfit dan Tul Karem. Aksi militer Israel terhadap Palestina dilakukan dengan alasan untuk menghancurkan infrastruktur teroris di wilayah Palestina.

Hal ini juga dikaitkan dengan adanya indikasi Palestina yang akan menyelundupkan 50 ton senjata dan roket pada Januari 2002 dan berhasil digagalkan Israel di Laut Merah. Israel menganggap Palestina telah melanggar kesepakatan perdamaian Oslo pada 1993.

Dari pihak Palestina sendiri ada faksi-faksi radikal yang menentang terhadap kebijakan-kebijakan Israel menyangkut Palestina, seperti Hamas, Jihad Islam serta Brigade al-Aqsa.

Sikap radikal ini tercermin dari cara mereka melakukan perlawanan terhadap setiap tindakan yang dilakukan Israel terhadap wilayah Palestina. Di antara cara perlawanan tersebut adalah melakukan bom bunuh diri.

Pada 1 Juni 2001, misalnya, seorang Palestina yang melapisi seluruh tubuhnya dengan bom rakitan, meledakkan dirinya di tengah keramaian remaja Yahudi yang sedang antre karcis klub malam di kawasan pantai terkenal Dolphinarium, Tel Aviv.

Dari peristiwa tersebut sedikitnya 17 remaja Yahudi tewas dan 120 orang lainnya cedera. Jumat malam merupakan waktu senggang yang sangat disukai oleh remaja Yahudi, karena Sabtu (shabbat) adalah hari libur resmi Yahudi.

Upaya ke arah perdamaian sebenarnya merupakan kehendak pihak Palestina sendiri. Misalnya, tidak lama setelah peristiwa bom bunuh diri di atas, pemimpin Palestina saat itu (Arafat) di Ramallah mengungkapkan keinginan­ dan kesediaannya untuk melakukan gencatan senjata segera tanpa syarat. Arafat juga mengungkapkan kesediaannya bekerja sama dengan Israel.

Langkah maju lainnya bagi terciptanya perdamaian antara Palestina dan Israel adalah rencana yang dikeluarkan oleh presiden Amerika Serikat, George W. Bush, pada KTT Aqaba.

Dalam KTT yang berlangsung tepat 36 tahun pendudukan Israel di Tepi Barat Sungai Yordan dan Jalur Gaza tersebut, George W. Bush meluncurkan rencana yang disebut “Peta Jalan” (Road Map). Rencana ini bertujuan untuk mengakhiri pendudukan wilayah dan menciptakan kedamaian di antara dua negara, yaitu Israel dan Palestina.

Rencana Bush tersebut mendapatkan dukungan dari kedua belah pihak, khususnya dari Ariel Sharon, perdana menteri Israel, dan Mahmoud Abbas, perdana menteri Palestina ketika itu.

Dibandingkan dengan rencana besar yang dicetuskan pada upaya perdamaian di Oslo dan di Gedung Putih beberapa tahun sebelumnya, KTT ini lebih mem­berikan harapan karena didukung Amerika Serikat yang merasa punya beban moral setelah menggempur Irak atas nama keamanan dunia.

Namun, lingkaran setan kekerasan yang terus mengiringi setiap upaya perdamaian Palestina-Israel menyebabkan perwujudan peta perjalanan damai (peace road map) ini tidak mudah.

Pro, kontra, dan sikap setengah hati mewarnai kehendak pada kedua belah pihak. Sharon tidak terlalu bersemangat untuk menarik tentaranya dari wilayah Palestina, sementara kelompok radikal Palestina terus memberikan perlawanan atas semua langkah Israel.

Masih ada kecurigaan, harapan, kekecewaan,­ dan optimisme di balik semua rencana perdamaian. Itulah sebabnya, perdamaian masih tetap menggantung di atas bumi Palestina.

Pada Januari 2005, Mahmoud Abbas (l. 1935) yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Mahzen terpilih sebagai pemimpin PLO sekaligus presiden Palestina menggantikan Yasser Arafat. Ia dikenal sangat dekat dengan Arafat. Kariernya dimulai ketika ia menjadi anggota Majelis Nasional Palestina (parlemen Palestina di pengasingan) pada 1968 hingga terakhir sebagai perdana menteri Palestina.

Dalam berbagai kesempatan, Abbas mengatakan bahwa ia akan meneruskan kebijakan Arafat. Akan tetapi, kepemimpinan Abbas masih mengundang polemik publik dan pemimpin Palestina lainnya karena kebijakannya yang dinilai terlalu kompromis.

Pada 2005, Israel menyelesaikan penarikan semua pasukan dan pemukimnya dari Jalur Gaza, tetapi tetap menguasai wilayah udara, pinggir laut dan akses – termasuk pengiriman makanan dan barang-barang lainnya – selain dari penyeberangan dengan Mesir. Gerakan Islam Hamas secara eksplisit menolak Oslo dan piagamnya menyerukan “pembatalan” Israel.

Faksi Fatah dari PLO menjalankan Otoritas Nasional Palestina (PNA) sampai 2006, ketika Hamas memenangkan mayoritas dalam pemilihan Dewan Legislatif. Koeksistensi yang tidak nyaman antara Presiden PNA Mahmoud Abbas dan pemerintah yang dipimpin Hamas menyebabkan kekerasan antara sayap bersenjata Fatah dan Hamas, yang berpuncak pada Hamas merebut kekuasaan di Gaza pada Juni 2007 dan Presiden Abbas memecat pemerintahan di Gaza.

Pada Oktober 2017, para faksi yang bersaing menandatangani kesepakatan rekonsiliasi, yang dimaksudkan untuk melihat Hamas menyerahkan kendali administratif Gaza kepada Otoritas Palestina yang didominasi Fatah, tetapi perselisihan tentang perlucutan senjata telah menghentikan kemajuan apa pun.

PNA membuat tawaran simbolis untuk pengakuan di PBB sebagai “Negara Palestina” pada 2011, terutama dalam upaya untuk menyoroti kurangnya kemajuan dalam hubungan dengan Israel. Ini gagal mendapatkan dukungan yang diperlukan, tetapi UNESCO – badan kebudayaan dan pendidikan PBB – mengakui “Negara Palestina” sebagai anggota pada Oktober.

Pada November 2012, Majelis Umum PBB memilih untuk meningkatkan status Palestina menjadi “negara pengamat non-anggota” – sebuah langkah yang memungkinkan mereka untuk mengambil bagian dalam debat Majelis Umum dan meningkatkan peluang mereka untuk bergabung dengan badan-badan PBB.

DAFTAR PUSTAKA

al-Abid, Ibrahim. Dalil al-Qadhiyyah al-Falistiniyyah: As’ilahwa Ajwibah. Beirut: Munazzamah at-Tahrir al-Falistiniyah, 1969.
Alhadar, M. Tragedi Palestina. Jakarta: YuliaKarya, 1983.
Kushner, David, ed. Palestine in the Late Ottoman Period: Political, Social, and Economic Transformation. Yerusalem: Yad Izhak Ben-zvi, 1986.
O’Neill, Bard E. Armed Struggle in Palestina: A Political Military Analysis. Boulder, Colorado: Westview Press Inc., 1986.
Watt, W. Montgomery. The Majesty That was Islam, terj. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Saad-Ghorayeb, Amal. Hizbu’llah Politics Religion. London: Pluto Press, 2002.
Ranstorp, Magnus. Hizb’allah in Lebanon. New York: St. Martin’s Press, 1997.
https://www.worldometers.info/world-population/state-of-palestine-population/, diakses pada 11 April 2022.
https://www.bbc.com/news/world-middle-east-14630174, diakses pada 11 April 2022.

Hery Noer Aly, Idris Thaha, dan A. Bakir Ihsan

Data telah diperbarui oleh Tim Redaksi Ensiklopediaislam.id (April 2022)