Pajang, Kesultanan

Kesultanan Pajang, pelanjut kesultanan Islam Demak. Kesultanan, terletak di daerah Kartasura (dekat Surakarta) dan merupakan kerajaan Islam pertama di daerah pedalaman Pulau Jawa. Sebelumnya kerajaan Islam selalu berada di daerah pesisir utara Pulau Jawa. Usia kesultanan ini tidak panjang. Kekuasaan dan kebesarannya kemu­dian diambil alih Kerajaan Mataram.

Sultan atau raja pertama Kesultanan Pajang adalah Joko Tingkir yang berasal dari Pengging, di lereng Gunung Merapi sebelah tenggara (termasuk daerah aliran­ Bengawan Solo). Para raja Pengging sebelum Islam konon mempunyai hubungan kekerabatan dengan raja Majapahit dan keturunan Gajah Mada.

Raja Pengging yang terakhir, Andayaningrat, terbunuh dalam peperangan melawan pasukan Demak yang dipimpin oleh Sunan Kudus pada perempat­ kedua abad ke-16. Anak laki-lakinya, Mas Karebet, ketika itu masih kecil. Menurut Babad Tanah Jawi, Mas Karebet itulah yang kemudian menjadi raja Pajang pertama.

Pada masa remaja, ia bernama Joko Tingkir. Tingkir adalah nama tempat ia dibesarkan. Kemudian Joko Tingkir diangkat oleh raja Demak ketiga, Sultan Trenggono, menjadi penguasa di Pajang, setelah sebelumnya dikawinkan­ dengan anak perempuannya. Kediaman pe­nguasa Pajang itu, menurut Babad, dibangun dengan­ mencontoh kraton di Demak.

Pada 1546, Sultan Demak meninggal dunia­. Setelah itu muncul kekacauan di ibukota. Joko Tingkir yang telah menjadi penguasa Pajang dengan segera mengambil alih kekuasaan. Anak sulung Sultan Trenggono yang menjadi ahli waris takhta kesultanan, Susuhunan Prawoto, dibunuh oleh kemenakannya, Ario Penangsang yang pada waktu itu menjadi penguasa di Jipang (Bojonegoro sekarang)­.

Ario Penangsang bertujuan membalas dendam kematian ayahnya yang jauh sebelum itu dibunuh­ atas perintah Susuhunan Prawoto. Selain alasan itu, Ario Penangsang menganggap bahwa dirinya berwenang menduduki takhta Demak. Akan tetapi, kemudian ia dikala-hkan dan terbunuh dalam pertempuran melawan laskar Joko Tingkir dari pedalaman.

Joko Tingkir membalas dendam, antara lain atas kematian iparnya, Susuhunan Prawoto­. Setelah itu, Joko Tingkir menjadi raja Pajang yang sekaligus mewarisi takhta Demak.

Kemudian ia memerintahkan agar semua benda pusaka Demak dipindahkan ke Pajang. Setelah menjadi raja yang paling berpengaruh di Pulau Jawa, ia bergelar Sultan Adiwijaya. Pada masa sejarah Jawa Islam dimulai dalam bentuk baru, titik politik pindah dari pesisir (Demak) ke pedalaman.

Perpindahan kekuasaan politik itu semakin mantap pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram. Peralihan pusat politik­ itu membawa akibat yang sangat besar dalam perkembangan peradaban Jawa Islam.

Sultan Adiwijaya memperluas kekuasaannya di tanah pedalaman ke arah timur sampai daerah Madiun,­ di aliran anak Bengawan Solo yang terbesar. Pada 1554, Blora, dekat Jipang, diduduki pula. Kediri ditundukkannya pada 1577.

Pa­da 1581, sesudah usia Sultan Adiwijaya me­lampaui setengah baya, ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai Sultan Islam dari para raja terpenting di Jawa Timur. Hal itu terjadi pada waktu berlangsungnya musyawarah di kraton Sunan Prapen­ dari Giri yang ketika itu sudah berusia lanjut.

Sultan Pajang bersama seluruh tentaranya berangkat­ menuju Giri guna memohon restu Sunan Pra­pen untuk menjalankan tugasnya sebagai sultan. Hadir pada acara itu para raja dari Japan, Wirasaba,­ Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem, Tuban, dan Pati. Pada umumnya hubungan antara kraton Pajang dan para raja Jawa Timur me­mang bersahabat.

Meskipun Sultan Adi­wijaya sa­ngat berpengaruh dan kuat, tetapi Pajang tidak dapat memperluas wilayah kekuasaannya ke daerah­ lautan. Bahkan Madura pun tidak termasuk dalam wilayah kekuasaan­ Pajang.

Selama pemerintahan Sultan Adiwijaya, kesusastraan­ dan kesenian kraton yang sudah maju di Demak dan Jepara lambat laun dikenal di pedalaman­ Jawa. Pengaruh aga­ ma Islam yang kuat di pesisir menjalar dan tersebar ke daerah pedalaman.

Sultan Pajang meninggal dunia pada 1587 dan di­ makamkan di Butuh, suatu daerah di sebelah barat taman Kerajaan Pajang. Ia digantikan oleh menantunya, Ario Pangiri, anak Susuhunan Prawoto yang terbunuh di tangan Ario Penangsang dan cucu Sultan Trenggono.

Pada waktu itu Ario Pangiri menjadi penguasa di Demak. Setelah menetap di kraton Pajang, Ario Pangiri masih bersama para peja­bat yang dibawanya dari Demak. Sementara itu, anak Sultan Adiwijaya, Pangeran Benowo, dijadikan­ penguasa di Jipang.

Pangeran muda ini, karena tidak puas dengan ke­ dudukannya di tengah lingkungan yang masih asing baginya, meminta bantuan kepada kakak­ angkatnya, Senopati, penguasa Mataram, untuk mengusir raja Pajang yang baru itu. Pada 1588 usahanya itu berhasil.

Sebagai rasa terima kasihnya, Pangeran Benowo kemudian me­nyerahkan hak atas warisan ayahnya kepada Senopati. Tetapi Senopati menyatakan keinginannya untuk tetap tinggal di Mataram. Ia hanya meminta perhiasan emas intan Kerajaan Pajang. Ketika itu Mataram memang­ sedang dalam proses menjadi sebuah kerajaan­ yang besar. Pangeran Benowo kemudian dikukuhkan­ sebagai raja Pajang.

Akan tetapi, Kesultanan­ Pajang berada di bawah perlindungan Kerajaan Mataram. Setahun kemudian, raja Pajang yang ketiga­ itu mengundurkan diri dari takhtanya dan me­milih hidup mengabdi untuk agama. Selanjutnya, Kesultanan Pajang sepenuhnya berada di bawah kekuasa­an Mataram.

Sebagai pengganti Pangeran Benowo, raja Mataram mengangkat Gagak Bening sebagai penguasa di Pajang. Akan tetapi usianya tidak panjang, ia meninggal­ dunia pada tahun 1591. Sebagai penggantinya, raja Mataram meng­angkat putra Pangeran Benowo sebagai raja bawahan Mataram.

Riwayat Kerajaan Pajang berakhir pada 1618. Kerajaan Pajang memberontak terhadap Mataram yang ketika itu diperintah oleh Sultan Agung. Kerajaan Pajang dihancurkan,­ rajanya melarikan diri ke Giri dan Surabaya, dan penduduknya­ digiring ke Mataram untuk kerja paksa membangun kota Kerajaan Mataram yang baru.

Daftar Pustaka

De Graff, H.J. de Graaf, H.J. Awal Kebangkitan Mataram Masa Kekuasaan Senapati. Jakarta: Grafiti Press, 1985.
_______ dan Th. G. Th. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian
Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16. Jakarta: Grafiti, 1986.
Tjandrasasmita, Uka, ed. Sejarah Nasional Indonesia III: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Watt, W. Montgomery. Kerajaan Islam, terj. Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Badri Yatim