Pahala adalah ganjaran atau balasan untuk perbuatan yang baik. Pahala dalam bentuk kata al-ajr dalam Al-Qur’an disebutkan tidak kurang dari 94 kali dan kata ats-tsawab 9 kali. Sementara pahala dalam bentuk kata al-jaza’ disebutkan 81 kali, termasuk di dalamnya yang menunjuk balasan terhadap perbuatan yang jahat.
Hadis Nabi SAW yang menjelaskan masalah pahala antara lain adalah riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang berarti:
“Allah mencatat kebaikan dan keburukan, kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berhimmah (niat) kebaikan kemudian tidak mengerjakannya, maka Allah mencatat baginya kebaikan yang sempurna. Apabila ia berniat kebaikan dan mengerjakannya, Allah membalasnya 10 kebaikan sampai 700 kali lipat lebih banyak. Dan apabila berniat keburukan, kemudian tidak mengerjakannya, Allah mencatatnya kebaikan yang sempurna, dan apabila berniat buruk dan mengerjakannya Allah mencatat dengan satu keburukan. Dan tidak akan rusak di sisi Allah kecuali orang yang merusak.”
Di kalangan fukaha (ahli hukum Islam), pahala berkaitan erat dengan perbuatan yang wajib dan mandub (sunah) serta perbuatan yang haram dan makruh. Pahala diberikan kepada seseorang yang mengerjakan perbuatan yang wajib dan mandub jika ia melakukan yang wajib dan mandub atau meninggalkan yang haram dan makruh itu karena tunduk dan patuh kepada Allah SWT.
Di kalangan ulama usul fikih, pahala berhubungan erat dengan perintah (al-amr) dan larangan (an-nahy) Syari‘ (Pencipta Hukum, Allah SWT); perintah meliputi perbuatan yang wajib serta mandub dan larangan meliputi perbuatan yang haram serta makruh.
Jadi apabila terdapat perintah di dalam Al-Qur’an atau sunah untuk mengerjakan sesuatu, orang yang mengerjakannya akan mendapat pahala. Begitu pula apabila ia meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah SWT dan karena Allah SWT.
Terhadap perbuatan yang tidak ada ketentuan hukumnya, menurut sebagian ulama seperti asy-Syatibi, perlu dilihat akibat hukum yang ditimbulkan dari perbuatan itu. Apabila akibatnya baik, orang yang melakukan perbuatan itu akan mendapat pahala; tetapi jika sebaliknya, ia akan memperoleh siksa.
Dari segi ilmu kalam (teologi), pahala berkaitan erat dengan masalah baik dan buruk (al-husn wa al-qubh). Pada dasarnya perbuatan yang baik apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan perbuatan yang buruk apabila dikerjakan akan mendapat siksa.
Golongan Muktazilah mengatakan, akal mampu mengetahui kebaikan dan keburukan. Karena itu, seandainya tidak turun wahyu, orang yang berbuat baik akan mendapat pahala, meskipun tidak diketahui gambaran pahala yang akan diperoleh. Namun demikian, golongan Muktazilah memandang perlunya wahyu; selain penegasan terhadap kemampuan akal manusia, wahyu digunakan untuk meng-etahui perincian kebaikan dan pahala tersebut.
Golongan Maturidiyah (Abu Mansur Muhammad al-Maturidi), meskipun beranggapan bahwa akal mampu mengetahui baik dan buruk, berpendapat bahwa untuk menentukan hukum secara mutlak diperlukan wahyu. Karena itu pahala hanya akan diberikan Allah SWT kepada manusia apabila telah ada ketentuan hukumnya melalui rasul (utusan) Allah SWT.
Adapun golongan Asy‘ariyah, yang menganggap akal tidak dapat mengetahui baik dan buruk, berpendapat bahwa ukuran baik dan buruk bagi suatu perbuatan adalah wahyu. Karena itu pahala akan diberikan Allah SWT menurut ketentuan yang diberikan dalam wahyu tersebut. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Isra’ (17) ayat 15 yang berarti: “… dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
Para filsuf memahami pahala sebagai “kesenangan yang bersifat rohani”. Mereka berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan tidak hancur karena substansinya berasal dari substansi Tuhan. Roh adalah cahaya yang dipancarkan Tuhan.
Selama dalam badan, roh tidak memperoleh “kesenangan” yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan, roh memperoleh “kesenangan” sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna.
Setelah bercerai dengan badan, roh pergi ke alam kebenaran atau alam akal di atas bintang, di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan, dan dapat melihat Tuhan. Di sinilah terletak “kesenangan” abadi dari roh. Hanya roh yang sudah suci di dunia yang dapat pergi ke alam kebenaran ini.
Berkaitan dengan hal ini, ahli tasawuf mempunyai pandangan yang hampir sama dengan para filsuf. Bagi para sufi, yang terpenting bukan pahala, tetapi dekat pada Tuhan. Dengan dekat kepada Tuhan, manusia akan dapat memperoleh tujuan hidupnya di dunia ini, yaitu cinta dan makrifat kepada Tuhan. Masalah pahala diserahkan kepada Tuhan kelak di hari akhirat.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Usul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
as-Suyuti. al-Jami‘ as-sagir. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Ahmad Rofiq