Organisasi Konferensi Islam, OKI

Organisasi Konferensi Islam merupakan perserikatan negara-negara Islam yang menjadi forum interaksi bangsa-bangsa muslim di dunia.

Organisasi ini berawal pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam pertama pada 25 September 1969 di Rabat, Maroko. Dalam bahasa Arab, Organisasi Kenferensi Islam ini disebut Munazzamah al-Mu’tamar al-Islami; dan dalam bahasa Inggris disebut Organization of the Islamic Conference (OIC).

Latar belakang lahirnya organisasi ini setidak-tidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor:

(1) menguatnya gagasan panislamisme sebagai reaksi terhadap dominasi politik dan ekonomi Barat;

(2) reaksi terhadap munculnya paham sekularisme; dan

(3) dampak dari konflik Arab-Israel, khususnya perang pada 1967 yang menyebabkan jatuhnya kota Yerusalem dan terjadinya peristiwa pembakaran Masjidilaksa pada 21 Agustus 1969 oleh Israel.

Tindakan ini menggemparkan umat Islam di seluruh dunia. Raja Hasan dari Maroko segera menyerukan kepada umat Islam di seluruh dunia, khususnya dunia Arab, untuk bersatu menuntut pertanggungjawaban Israel. Timbullah gagasan konsolidasi umat Islam sedunia untuk membebaskan kota Yerusalem dari cengkeraman zionis Israel.

Seruan itu disambut oleh para menlu negara anggota Liga Arab, yang segera mengadakan pertemuan darurat tanggal 22–26 Agustus 1969. Pertemuan itu menghasilkan keputusan untuk mengadakan konferensi tingkat tinggi (KTT) negara Islam sesegera mungkin.

KTT negara Islam yang pertama diselenggarakan di Rabat (22–25 September 1969).

KTT yang dihadiri 28 negara Islam itu menghasilkan berbagai keputusan penting yang intinya:

(1) mengutuk pembakaran Masjidilaksa oleh Israel;

(2) menuntut dikembalikannya kota Yerusalem sebagaimana sebelum perang 1967;

(3) menuntut penarikan tentara Israel dari seluruh wilayah Arab yang diduduki;

dan (4) menetapkan pertemuan tingkat menlu di Jiddah pada Maret 1970.

Pada pertemuan selanjutnya OKI mengalami perkembangan di berbagai bidang. Dalam bidang kelembagaan, misalnya, sesuai dengan hasil konferensi tingkat menlu di Jiddah (1970), dibentuklah sekretariat tetap OKI di Jiddah dan ditetapkan perlunya pertemuan tahunan tingkat menlu.

Piagam OKI disahkan dalam konferensi tingkat menlu (KTM) III di Jiddah, yang menetapkan struktur organisasi OKI sebagai berikut:

(1) badan utama, yang terdiri dari (a) konferensi para raja dan kepala negara/pemerintahan (KTT) yang diadakan setiap tahun, (b) sekretariat jenderal sebagai badan eksekutif di Jiddah, (c) konferensi para menlu yang diadakan setiap tahun, dan (d) Mahkamah Islam Internasional sebagai badan yudikatif di Kuwait;

(2) komite khusus, yang terdiri dari Komite al-Quds, (b) Komite Tetap Keuangan, (c) Komite Ekonomi, Sosial, dan Budaya;

(3) badan subsider yang bergerak di bidang ekonomi maupun sosial-budaya;

(4) lembaga dan organisasi yang bersifat otonom dalam lingkungan OKI.

Dalam bidang keanggotaan, OKI juga mengalami perkembangan. Ketika pertama kali dibentuk, jumlah anggotanya hanya 28 negara, yakni mereka yang hadir pada KTT I di Rabat. Setelah KTT IV di Casablanca (1984), jumlah anggota menjadi 45 negara dari berbagai kawasan di Asia dan Afrika.

Saat ini, OKI mempunyai 57 anggota, termasuk Palestina, empat republik Islam di Asia Tengah, dan Albania. Negara anggota terbaru adalah Cote d’Ivore (Pantai Gading). Kazakhstan dan Uzbekistan mempunyai status sebagai peninjau. Cyprus Turki dan MNLF (Moro National Liberation Front, Front Pembebasan Bangsa Moro) secara reguler hadir sebagai peninjau.

PBB, OAU (Organisasi Persatuan Afrika), dan Liga Arab juga secara teratur mengirimkan utusan tingkat tingginya. Adapun Liga Dunia Muslim (Muslim World League), Masyarakat Dakwah Islami (Islamic Call Society) yang berbasis di Libya, dan Majelis Pemuda Muslim se-Dunia (World Assembly of Muslim Youth) masuk sebagai anggota OKI dari unsur nonpemerintah.

Dalam Piagam OKI dijelaskan bahwa yang menjadi anggota OKI adalah: (1) negara yang hadir dalam KTT Rabat pada 1969, (2) negara yang menandatangani Piagam OKI, dan (3) negara yang hadir dalam KTT Jiddah dan Karachi.

Adapun negara yang tidak memenuhi persyaratan di atas dapat menjadi anggota OKI jika negara tersebut mengajukan lamaran atau aplikasi, dan lamaran itu disetujui oleh sedikitnya dua pertiga negara anggota OKI lainnya pada saat berlangsungnya Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri pertama setelah lamaran itu diajukan.

Prinsip keanggotaan OKI adalah sebagai berikut:

(1) ada persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban di antara negara anggota;

(2) menghormati hak menentukan sendiri dan tidak campur tangan dalam masalah domestik yang terjadi dalam negara anggota;

(3) menghormati kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah setiap negara anggota;

(4) menyelesaikan setiap konflik yang muncul dengan menggunakan cara damai, seperti negosiasi, mediasi, rekonsiliasi atau arbitrase; dan

(5) tidak mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah, persatuan nasional atau kemerdekaan politik negara anggota.

Selain di bidang kelembagaan dan keanggotaan, OKI juga mengalami perkembangan dalam lingkup kegiatannya. Kalau pada awal pembentukannya OKI hanya bergerak di bidang politik, khususnya dalam kasus pembakaran Masjidilaksa, maka pada perkembangan lebih lanjut OKI telah menangani masalah Islam yang lebih luas seperti politik, ekonomi, dan sosial budaya.

Hal ini sejalan dengan tujuan OKI, yaitu antara lain mempromosikan solidaritas Islam dan kerjasama negara anggota dalam ekonomi, sosial budaya, dan ilmu pengetahuan.

Untuk terlaksananya kegiatan tersebut, dalam lingkungan OKI telah dibentuk badan subsider serta lembaga dan organisasi, antara lain:

(1) Dana Solidaritas Islam di Jiddah;

(2) Pusat Riset Sejarah dan Budaya Islam di Istanbul (Turki);

(3) Dana Ilmu, Teknologi, dan Pembangunan di Jiddah;

(4) Komisi Bulan Sabit Islam di Bengasi (Libya);

(5) Komisi Warisan Budaya Islam di Istanbul;

(6) Pusat Riset dan Training Sosial Ekonomi di Ankara (Turki);

(7) Pusat Riset dan Latihan Teknik di Dacca (Bangladesh);

(8) Bank Pembangunan Islam di Jiddah; dan

(9) Kantor Berita Islam Internasional (IINA) di Jiddah.

Di dalam OKI terdapat tiga badan utama:

(1) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) atau disebut sebagai konferensi para raja dan kepala negara atau pemerintahan,

(2) Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri, dan

(3) Sekretariat Jenderal di Jiddah (Arab Saudi). Namun, pada KTT di Ta’if, Arab Saudi (Januari 1981) diputuskan untuk mendirikan Mahkamah Hukum Islam Internasional sebagai organ keempat OKI. Fungsi pengambil keputusan tertinggi ada pada KTT.

Di samping ketiga badan tersebut, OKI juga membentuk enam komite khusus guna menindaklanjuti apa yang menjadi kebijakan, keputusan, dan langkah OKI di bidang tertentu.

Keenam badan itu adalah:

(1) komite al-Quds;

(2) komite tetap bidang keuangan;

(3) komite Islam untuk masalah ekonomi, kebudayaan, dan perdagangan;

(4) komite kerjasama ilmu pengetahuan dan teknik;

(5) komite kerjasama ekonomi dan perdagangan; dan

(6) komite kerja untuk masalah informasi dan kebudayaan.

Selain itu, OKI juga membentuk organisasi dan lembaga yang bergerak di bidang ekonomi dan pembangunan, yaitu: Bank Pembangunan Islam (IDB); (2) Kamar Dagang, Industri dan Pertukaran Komoditi (negara-negara) Islam; (3) Yayasan Islam bagi Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pembangunan;

Pusat Latihan dan Riset Statistik, Ekonomi, dan Sosial Negara-Negara Islam; (5) Pusat Islam bagi Riset dan Latihan Teknik dan Kejuruan; (6) Pusat Islam bagi Pembangunan dan Perdagangan; (7) Dewan Penerbangan Sipil Islami; dan

Asosiasi Pemilik Kapal Islami. Kedelapan organisasi ini dimaksudkan untuk menciptakan kerangka kelembagaan guna mengoordinasi segala aktivitas negara-negara muslim di bidang sosial, ekonomi, dan bidang lain untuk mempromosikan kerjasama yang saling menguntungkan. Di samping itu, OKI juga mempunyai Islamic Educational, Scientific, and Cultural Organization (ISESCO), seperti UNESCO-nya PBB.

Dalam perkembangannya OKI kadang kala dianggap hanya mewakili kepentingan negara-negara Arab yang kaya (yang notabene lebih pro-Barat), karena dari segi finansial OKI memang sangat tergantung pada mereka. Oleh sebab itu OKI lebih sering terlihat pasif terhadap persoalan yang dihadapi negara Islam, seperti kasus Bosnia, Kashmir, Palestina, dan Chechnya.

Pada 1999 untuk lebih meningkatkan kerjasama ekonomi antara Indonesia dan negara anggota OKI, dipandang perlu untuk membentuk Badan Peningkatan Kerjasama Ekonomi Indonesia-OKI dengan suatu Keputusan Presiden. Badan ini selanjutnya disebut Badan Peningkatan.

Adapun tugas Badan Peningkatan sebagai berikut: 1) mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk meningkatkan kerjasama di bidang ekonomi, keuangan, industri, perdagangan, dan ketenagakerjaan antarnegara anggota OKI dan 2) menyampaikan hasil pelaksanaan tugasnya kepada presiden sebagai rekomendasi bagi penyusunan kebijakan pemerintah di bidang kerjasama ekonomi dengan negara anggota OKI.

Pada 2002 pemerintah Indonesia menyatakan bahwa keanggotaannya dalam OKI hanya sebagai anggota luar biasa, karena Indonesia tidak ingin disebut sebagai negara Islam, melainkan negara Pancasila. Pola ini yang dijalankan baik oleh Departemen Luar Negeri maupun presiden.

Daftar Pustaka

Baba, Noor Ahmad. Organisation of Islamic Conference: Theory and Practice of Pan-Islamic Cooperation. New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1994.
Bannerman, J.P. “Organization of the Islamic Conference: Structure and Activities,” The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, ed. John L. Esposito. New York: Oxford University Press, 1995.
Choudhury, Golam W. “Organization of the Islamic Conference: Origins,” The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, ed. John L. Esposito. New York: Oxford University Press, 1995.
Nasr, Sayid Husein. “Islam in the Islamic World Today: An Overview,” Islam in the Contemporary World. Notre Dame: Cross Roads Books, 1980.
Rabie, Hamed A. al-Islam wa al-Quwa ad-Duwaliyyah. Cairo: Dar al-Mauqif al-‘Arab, 1981.
Rambe, A. Nawawi. “Yang Tersisa dari KTT OKI,” Panggilan, Jakarta, Mei, 1987.
Saptomo, B. “Organisasi Konperensi Islam (OKI) dan Partisipasi Indonesia di dalamnya,” Suara Mesjid, Oktober, 1984.

Syahrin Harahap