Sesuatu yang menyinari objek, sehingga menjadi jelas dan terang, disebut nur. Menurut Ibrahim Anis (ahli bahasa), nur adalah cahaya yang menyebabkan mata melihat. Sementara itu, menurut Muhammad Mahmud Hijazi (ahli tasawuf), nur adalah cahaya yang tertangkap indra sehingga mata dapat melihat. Pengertian ini berkembang dengan makna “petunjuk” dan “nalar”.
Menurut Thabathaba’i (as-Sayid Muhammad Husin at-Thabathaba’i, penulis al-Mizan, sebuah kitab tafsir Al-Qur’an), pengertian awal dari kata “nur” itu adalah sesuatu yang tampak dengan sendirinya, dan juga menyebabkan lainnya yang bersifat sensual (naluriah, implisit) menjadi tampak.
Kemudian arti ini berkembang menjadi lebih luas lagi, yaitu setiap alat indra dipandang sebagai nur atau mempunyai nur, dan dengannya hal-hal yang bersifat sensual dapat terlihat.
Selanjutnya, pengertian ini berkembang lagi hingga mencakup yang nonsensual, termasuk akal juga dikatakan sebagai nur sebab ia dapat menyingkap hal yang abstrak.
Ibnu Sina (980–1037), ketika ditanya tentang pengertian nur pada surah an-Nur (24) ayat 35, menjawab bahwa kata nur mengandung dua makna: yang esensial dan yang metaforikal.
Yang esensial berarti kesempurnaan kebeningan karena nur itu pada dirinya bersifat bening. Adapun makna metaforikal harus dipahami dalam dua cara, yaitu sebagai sesuatu yang bersifat baik, atau sebagai sebab yang mengarahkan kepada yang baik.
Al-Isfahani, seorang ahli tafsir, membagi pengertian nur atas arti material (duniawi) dan arti spiritual (ukhrawi). Nur dalam arti material adalah cahaya yang dapat dilihat/ditangkap di dunia, dan arti ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
(1) arti abstrak (ma‘qul), yakni cahaya yang hanya dapat ditangkap oleh mata hati (basirah), dan (2) arti konkret atau sensual (mahsus), yakni cahaya yang dapat ditangkap oleh mata kepala. Adapun nur dalam arti spiritual ialah cahaya yang akan dilihat di akhirat.
Dalam Al-Qur’an, kata nur disebutkan 43 kali dan paling tidak memiliki arti dalam tiga kemungkinan: (1) cahaya itu sendiri (misalnya pada surah Yunus [10] ayat 5); (2) petunjuk (misalnya pada surah al-hadid [57] ayat 9); (3) Al-Qur’an (misalnya pada surah at-Tagabun [64] ayat 8).
Makna dasar kata nur itu adalah petunjuk, karena nur dalam arti cahaya itu sendiri, petunjuk, ataupun Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi orang yang tersesat atau orang yang mencari kebenaran.
Maka Nabi Muhammad SAW disebut juga nur, karena beliau diyakini sebagai orang yang membawa petunjuk atau menunjukkan jalan yang benar. Al-Ghazali, penulis kitab Misykah al-Anwar, mengatakan bahwa kedudukan Al-Qur’an bagi mata akal sama seperti kedudukan cahaya matahari bagi mata lahiriah.
Sebab, hanya dengan itulah sempurna penglihatan. Dengan itu pula Al-Qur’an lebih patut menyandang nama nur sebagaimana sinar matahari biasa dinamakan cahaya.
Menurut al-Ghazali, hakikat nur yang sebenarnya hanyalah Allah SWT, sedangkan sebutan cahaya bagi selain Dia hanyalah kiasan, tak ada wujud sebenarnya. Karena itu, ia membedakan makna nur atas: (1) pengertian di kalangan awam; dan (2) pengertian di kalangan khusus.
Nur dalam pengertian orang awam menunjuk kepada sesuatu yang tampak. Ketampakan itu adalah sesuatu yang nisbi. Ada kalanya sesuatu tampak dengan pasti bagi suatu pandangan di saat ia bersembunyi bagi pandangan lainnya. Cahaya adalah sebutan sesuatu yang tampak dengan sendirinya ataupun yang membuat tampak benda lainnya.
Nur dalam pengertian orang khusus adalah “jiwa yang melihat”. Rahasia cahaya adalah ketampakannya bagi suatu daya cerap. Akan tetapi pencerapan bergantung, selain pada adanya cahaya, juga pada adanya mata yang berdaya lihat.
Meskipun cahaya disebut sebagai sesuatu yang tampak dan menampakkan sesuatu, tidak ada suatu cahaya yang tampak dan menampakkan sesuatu bagi orang buta.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa “jiwa (roh) yang melihat” sama dengan cahaya yang tampak dalam kedudukannya sebagai unsur yang harus ada bagi pencerapan. Bahkan, berdasarkan hal ini, “kedudukan jiwa (roh) yang melihat” lebih tinggi karena berdaya cerap dan dengannya pula suatu pencerapan dapat terwujud.
Di kalangan kaum sufi (falsofi), nur biasanya dinisbahkan dengan Muhammad SAW, sehingga menjadi ungkapan Nur Muhammad atau haqiqah Muhammadiyyah. Konsep Nur Muhammad pertama kali dibawakan oleh al-Hallaj (858–922).
Namun sebenarnya konsep nur telah dikenal sebelumnya di kalangan Syiah. Mereka percaya akan adanya cahaya purba yang melewati nabi satu ke nabi lain lalu sampai kepada imam-imam. Nur itu melindungi nabi dan imam dari dosa, menjadikan mereka maksum, dan mengaruniai mereka pengetahuan tentang rahasia Ilahi.
Adanya nur atau Nur Muhammad ini dikuatkan dengan surah an-Nur (24) ayat 35: “Allah adalah cahaya langit dan bumi.” Kata “nur” di sini ditafsirkan sebagai Nur Muhammad. Selain itu digunakan pula hadis (menurut Abu al-Ala Afifi, ahli hadis: hadis maudu‘) seperti:
“Saya adalah manusia pertama dalam kejadian”, “Yang pertama diciptakan Allah adalah Nurku”, dan “Aku diangkat sebagai nabi, sedangkan Adam masih di antara air dan tanah”.