Nizam al-Mulk adalah seorang wazir (perdana menteri) Dinasti Salajikah (Seljuk) pada masa pemerintahan Sultan Alp Arslan (w. 1072) dan Maliksyah (1072–1092). Ia adalah pendiri Madrasah Nizamiyah. Nama aslinya: Abu Ali al-Hasan bin Ali bin Ishaq at-Tusi. Ia pernah menuntut ilmu pada Hibatullah al-Muwaffaq, seorang ulama Syafi‘i di Nisabur.
Ayah Nizam al-Mulk adalah seorang pegawai pemerintah Ghaznawi di Tus, Khurasan. Ketika sebagian besar Khurasan jatuh ke tangan pasukan Salajikah, ayahnya dengan membawa Nizam al-Mulk lari ke Khusrawjird dan seterusnya ke Ghazna. Di Ghazna, Nizam al-Mulk bekerja pada sebuah kantor pemerintah Mahmud Ghaznawi.
Namun 3 atau 4 tahun kemudian ia meninggalkan Ghazna dan menuju ke daerah kekuasaan Salajikah. Pada mulanya ia bekerja di Balkh yang dikuasai Salajikah (432 H/1040–1041 M), kemudian pindah ke Marw.
Kariernya meningkat dengan cepat sehingga ia ditarik ke istana Sultan Alp Arslan dengan perdana menterinya Abu Ali Ahmad bin Syazan. Ketika perdana menteri ini meninggal dunia, Nizam al-Mulk ditunjuk sultan sebagai perdana menterinya. Dalam jabatannya sebagai perdana menteri ini ia menunjukkan kecakapannya sebagai negarawan yang tepercaya.
Untuk memelihara stabilitas negara ia menasihatkan sultan agar memberi lapangan pekerjaan kepada pengungsi Turki yang datang ke Persia (Iran) akibat kemenangan Dinasti Salajikah, dan meningkatkan kekuatan tempur angkatan bersenjata Salajikah dan gerak cepatnya untuk menumpas pemberontakan, tetapi pemberontak yang menyerah harus diampuni.
Kemudian dinasti juga harus mempertahankan penguasa lokal, baik Syiah maupun Suni, dan menunjuk keluarga Bani Seljuk sebagai gubernur. Nizam al-Mulk juga bertindak menghindari perebutan kekuasaan setelah meninggalnya sultan, dengan cara mengumumkan dan menunjuk Maliksyah sebagai putra mahkota yang akan menggantikan sultan.
Hubungan dengan Khilafah Abbasiyah sebagai penguasa tertinggi dunia Islam ketika itu juga dijalin dengan baik oleh Nizam al-Mulk sehingga ia mendapat penghargaan dari Khalifah al-Qa’im dari Abbasiyah berupa gelar Qiwam ad-Din (Pendukung Agama) dan Radi Amir al-Mu’minin (yang meridai dan pemimpin orang beriman).
Nizam al-Mulk tetap menjadi perdana menteri Dinasti Salajikah, bahkan setelah Alp Arslan terbunuh pada 165 H/1072 M dan digantikan oleh Maliksyah. Perannya pada masa Sultan Maliksyah bertambah besar dibanding sebelumnya.
Ia dipercaya oleh Sultan Maliksyah, yang ketika naik takhta baru berumur 18 tahun, untuk mengatur pemerintahan dan menjalankan keputusan politik. Oleh sultan ia diberi gelar Atabeg, artinya “Amir yang dianggap ayah”.
Ia tetap menjalankan politik kerjasama dan taat kepada Khilafah Abbasiyah, antara lain dengan mengawinkan seorang putrinya kepada khalifah Abbasiyah, ketika itu al-Muqtadi bin Amr Allah.
Nizam al-Mulk juga dikenal sebagai perdana menteri yang berpaham Asy‘ariyah dan mengusahakan penyebarannya melalui madrasah di beberapa kota dalam wilayah Salajikah. Madrasah terkenal yang didirikannya adalah Madrasah Nizamiyah di Baghdad, yang diresmikan pada 459 H/1067 M.
Menurut Philip K. Hitti, Madrasah Nizamiyah merupakan contoh awal dari perguruan tinggi yang menyediakan sarana belajar yang memadai bagi para penuntut ilmu.
Di antara ulama yang mengajar di Madrasah Nizamiyah adalah Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi, Syekh Abu Nasr bin as-Sabbag, dan Syekh Abu Mansur bin Yusuf bin Abdul Malik. Cabang Nizamiyah kemudian juga didirikan di hampir setiap kota di Irak dan Khurasan.
Usaha Nizam al-Mulk mendirikan madrasah dan lembaga-lembaga keagamaan lainnya mendapat dukungan dari ulama yang bermazhab Syafi‘i dan dalam teologi beraliran Asy‘ariyah.
Ulama tersebut bergembira dengan naiknya Nizam al-Mulk dan kebijaksanaannya mengembalikan nama baik ulama Asy‘ariyah yang telah dikutuk oleh Perdana Menteri al-Kunduri pada masa Sultan Tugril Beq.
Pada masa al-Kunduri aliran Asy‘ariyah bersama dengan aliran Rafidah dikutuk melalui mimbar masjid, sehingga banyak ulama yang melarikan diri, seperti Imam al-Haramain Abu Ma’ali al-Juwaini dan al-Qusyairi. Ulama baru kembali ke negeri mereka setelah Nizam al-Mulk menjadi perdana menteri dan melarang pengutukan Asy‘ariyah di mimbar masjid.
Disebutkan dalam al-Kamil fi at-Tarikh (Sejarah Lengkap) bahwa Nizam al-Mulk adalah seorang alim, agamawan, dermawan, adil, penyantun, suka memaafkan orang yang bersalah, banyak diam, majelisnya ramai didatangi para qari, fakih, ulama dan orang yang suka kebaikan dan kebajikan.
Ia juga dikatakan menyampaikan hadis di Baghdad, Khurasan, dan kota lainnya dengan alasan ikut berpartisipasi menyebarkan hadis Nabi SAW, sekalipun ia mengakui ia bukan ahli hadis. Dikatakan pula ia senang menjamu dan menghibur fakir miskin.
Pada 479 H (1086–1087 M) ia menghapuskan khumus (pajak yang tidak dikenai sanksi syariat), dan meningkatkan sarana dan prasarana bagi mereka yang menunaikan ibadah haji.
Setelah Hijaz kembali kepada kekuasaan Abbasiyah dari kekuasaan Fatimiyah 468 H/1076 M, ia mengamankan jalur perjalanan haji dari Irak ke Tanah Suci dengan memberantas perampok yang mengancam jemaah haji.
Selain itu, ia memprakarsai perluasan Masjidilharam di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah, serta pendirian tempat khusus bagi para abid, zahid, dan fakih, dan pendirian rumah sakit di Nisabur.
Setahun sebelum meninggal, pada 484 H/1091 M Nizam al-Mulk menulis kitab Siyaset-Name (buku mengenai politik) tentang siasat pemerintahan, berisi 50 bab nasihat yang digambarkan melalui anekdot sejarah.
Pada tahun berikutnya, ia menambah 11 bab tentang bahaya yang mengancam negara terutama dari kaum Qaramithah Isma’iliyah. Ia mengingatkan bahaya yang mengancam keutuhan Salajikah yang datang dari kaum Qaramitah yang pada 483 H (1090–1091 M) menyerbu kota Basrah, dan bermarkas di benteng yang kokoh di Alamut.
Kaum ini mempunyai pasukan pembunuh yang disebut Hasyasyin dan dipimpin Hasan bin Sabah, yang bertujuan menghidupkan Fatimiyah. Seorang pasukan Hasan bin Sabah, yang menyamar sebagai sufi, berhasil membunuh Nizam al-Mulk di Sihna, Nahawand, ketika ia dalam perjalanan dari Isfahan ke Baghdad pada 10 Ramadan 485/14 Oktober 1092.