Nihawan, Perang

Salah satu perang terdahsyat antara tentara Islam dan tentara Persia (Iran) terjadi pada 21 H/641 M di Nihawan, sebuah kota di Propinsi Hamadan, antara selatan Kirmansyah dan Isfahan. Perang ini penting dalam sejarah Islam, karena kemenangan pasukan Islam membuka jalan ke Iran. Pasukan Islam selanjutnya membentuk basis militer di Basrah dan Kufah.

Pada masa Dinasti Sasaniyah berkuasa (224–651), distrik Nihawan diberikan kepada keluarga Karin sebagai tanah garapan. Daerah ini sudah ditempati sejak zaman prasejarah.

Kerajaan Dinasti Sasaniyah yang berkuasa di Persia sejak abad ketiga secara geografis meliputi tiga wilayah, yakni wilayah Irak Arab, Irak non-Arab yang terletak di antara Sungai Dajlah (Sungai Tigris) dan Sungai Furat (Sungai Efrat) hingga barisan pegunungan Iran, dan wilayah pegunungan Iran yang membujur dari barisan pegunungan Iran sampai ke pegunungan Asia Tengah.

Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, di Persia sedang terjadi kekacauan politik. Pada saat itu yang menduduki singgasana Kerajaan Sasaniyah adalah Yazdajird yang masih sangat muda.

Khalifah Umar mengirimkan pasukan dengan kekuatan 10.000 tentara yang dipimpin Sa‘d bin Abi Waqqas (w. antara 51 H/671 M dan 58 H/678 M) untuk membantu penaklukan di daerah Irak.

Di Qadisiyah pasukan ini bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh Rustam, administrator Kekaisaran Persia. Rustam berhasil dibunuh dan tentaranya lari kocar-kacir, sehingga tanah subur di dataran rendah Irak, di sebelah barat Sungai Tigris, terbuka bagi pasukan Islam.

Pasukan ini diterima dengan baik oleh penduduk setempat karena mereka merasa lebih dekat, baik secara geografis maupun etnis dan agama. Sebagai orang Kristen, penduduk tidak suka kepada penguasa Persia yang beragama Zoroaster.

Sasaran Panglima Sa‘d bin Abi Waqqas berikutnya adalah ibukota Persia, Cesifon. Setelah Qadisiyah dan Madain dikuasai, penaklukan secara sistematis terhadap Kerajaan Persia dimulai dari basis militer yang baru didirikan di Basrah.

Atas perintah Khalifah Umar, pasukan Islam kemudian mengambil kamp militer di Kufah dan menjadikannya ibukota. Pada waktu itu, Kaisar Yazdajird III telah melarikan diri dan berpindah dari satu kota ke kota lain menuju ke arah utara.

Sisa tentara Sasaniyah di pangkalan militer Jalula yang berada di pinggiran dataran tinggi Persia sudah sangat lemah dan tidak mampu menghadapi tentara Islam. Pada 641 Mawsil (Mosul, Irak) berhasil direbut.

Hal ini merupakan puncak keberhasilan ekspedisi yang dimulai dari utara Suriah oleh Iyad bin Ganam. Pada 641 pertempuran besar terakhir yang terjadi di Nihawan. Dalam perang ini, tentara Persia berusaha mati-matian mempertahankan kota Nihawan.

Namun akhirnya juga mereka terpaksa menyerah kepada tentara Islam yang dipimpin oleh kemenakan Sa‘d bin Abi Waqqas, Nu‘man bin Maqran al-Muzni. Dengan ditaklukkannya kota ini maka tentara Arab Islam berhasil menghentikan perlawanan Dinasti Sasaniyah secara sempurna.

Kemenangan ini juga merupakan jalan masuk yang mulus menuju ke wilayah Iran. Usaha yang dilakukan pasukan Islam selanjutnya adalah membuat perbatasan antara Persia dan Bahrein dengan membentuk basis militer di Basrah dan Kufah untuk operasi selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Gibb, Hamilton A.R., et al. First Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1987.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam: as-Siyasi wa ad-Dini wa ats-saqafi wa al-Ijtima‘i. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
Hitti, Philip K. The History of the Arabs. London: Macmillan, 1974.
Mahmud, Hasan Ahmad. al-Islam wa al-hadarah al-‘Arabiyyah fi Asia al-Wusta. Cairo: Dar an-Nahdah al-‘Arabiyah, 1968.
Zuhad