Menurut asas Islam, orang yang hendak melakukan ibadah harus mempunyai maksud (niat) sebelum melakukannya, supaya perbuatan itu dapat dianggap sah. Secara bahasa, arti niat sama dengan al-qasdu, al-‘azimah, al-iradah, dan al-himmah (maksud, keinginan, kehendak, dan keinginan kuat dengan sengaja).
Menurut al-Muhasibi (Basrah, 165 H/782 M–Baghdad, 243 H/858 M; tokoh tasawuf yang mengkaji tasawuf akhlak berdasarkan Al-Qur’an dan sunah), niat berarti keinginan seseorang untuk mengerjakan sesuatu atau pekerjaan tertentu, baik karena perintah Allah SWT atau hal lainnya.
Menurut Ibnu Abidin, niat berarti kehendak untuk taat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam melakukan suatu pekerjaan. Ulama Mazhab Syafi‘i mengartikan niat dengan “bermaksud terhadap sesuatu yang diikuti dengan mengerjakannya”, “kehendak hati untuk mengerjakan suatu pekerjaan, baik yang wajib maupun yang sunah” atau “kehendak hati terhadap suatu pekerjaan untuk mencari rida Allah SWT dengan mengikuti aturannya.”
Niat itu disyariatkan sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Dalam Al-Qur’an di ungkapkan dengan kata-kata ikhlas dan mukhlis yang berkaitan erat dengan niat, seperti pada surah-surah al-Baqarah (2) ayat 139, al-A‘raf (7) ayat 29, Yunus (10) ayat 22, al-Ankabut (29) ayat 65, az-Zumar (39) ayat 2, 11, dan 14, Luqman (31) ayat 32, dan al-Bayyinah (98) ayat 5.
Dalam hadis didapati beberapa sabda Rasulullah SAW, antara lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab: “Setiap perbuatan hanya sah dengan niat, dan setiap orang akan mendapatkan imbalan sesuai dengan niatnya” dan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah: “Allah tidak memandang seseorang kepada keadaan fisiknya melainkan kepada hatinya.”
Terdapat kaitan erat antara niat dan perbuatan ibadah. Berdasarkan hadis-hadis tersebut, sah atau tidaknya dan diterima atau tidaknya suatu perbuatan ibadah sangat bergantung pada niat. Kedudukan niat sangat menentukan kualitas perbuatan ibadah dan hasil yang diperolehnya karena niat itu jiwa perbuatan, pedoman, dan kemudinya.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, niat itu wajib hukumnya dalam ibadah. Niat merupakan syarat sah suatu ibadah. Adapun dalam masalah muamalah dan adat kebiasaan, jika bermaksud untuk mendapatkan keridaan dan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, diharuskan memakai niat. Untuk meninggalkan perbuatan maksiat tidak dituntut adanya niat. Begitu juga upaya untuk menghilangkan najis semata-mata.
Hikmah dan kegunaan disyariatkannya niat antara lain adalah sebagai berikut.
(1) Untuk membedakan antara ibadah dalam arti khusus (mahdah) dengan perbuatan lainnya, atau antara perbuatan yang disyariatkan dengan perbuatan lainnya yang berupa kebolehan saja, seperti menahan diri dari makan dan minum dengan niat melaksanakan puasa berbeda dengan sekadar untuk menjaga kesehatan tubuh (yang tidak perlu memakai niat).
(2) Untuk membedakan antara satu ibadah mahdah dan ibadah mahdah lainnya. Niat untuk salat wajib dibedakan dengan niat untuk salat sunah, begitu juga niat untuk salat wajib yang satu dibedakan dengan salat wajib lainnya. (3) Untuk membedakan apakah perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu tujuannya kepada Allah SWT.
Niat terbagi atas beberapa macam.
(1) Berdasarkan susunan perbuatan: (a) niat yang umum, yaitu niat yang mencakup seluruh bagiannya, seperti niat ibadah semata-mata kepada Allah SWT atau niat menjauhi segala bentuk maksiat karena taat dan takut pada-Nya, dan (b) niat khusus, yaitu niat yang dilakukan ketika akan melaksanakan bagian yang khusus dari sesuatu yang disyariatkan.
(2) Berdasarkan kaitannya: (a) niat untuk membedakan perbuatan ibadah antara satu dan yang lainnya dan (b) niat untuk membedakan maksudnya, yaitu untuk siapa ia beribadah.
(3) Berdasarkan ibadah mahdah: (a) niat idafi, yaitu niat untuk ibadah mahdah yang bisa serupa atau dicampuri adat kebiasaan, seperti zakat yang bisa serupa dengan hadiah, niat zakat harus benarbenar di-idafatkan kepada Allah SWT, dan (b) niat gairi dzati, yaitu niat untuk ibadah mahdah yang tidak mungkin bisa dicampuri adat, seperti salat atau naik haji; niat seperti ini tidak harus di-idafatkan kepada-Nya karena ibadah tersebut sudah jelas dan pasti tujuannya.
Adapun tempat niat (mahall an-niyyah) terletak pada hati yang merupakan tempat atau sumber keluar segala kehendak. Waktu niat dilakukan pada awal mengerjakan suatu perbuatan ibadah.
Ada perbuatan ibadah yang mengharuskan niatnya itu dilakukan beriringan dengan perbuatan dan tidak boleh diselingi oleh perbuatan-perbuatan lainnya, seperti niat salat. Ada perbuatan ibadah yang tidak mengharuskan demikian, seperti niat puasa dan niat zakat.
Mengucapkan niat tidak disyariatkan dalam agama, kecuali yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Antara lain, niat ketika akan melaksanakan ihram haji. Niat yang diucapkan pada saat itu ialah Allahumma inni uridu al-hajja fayassirhu li wataqabbalhu minni (Ya Allah, aku hendak melaksanakan haji, berilah aku kemudahan untuk menjalankannya dan terimalah amal baktiku ini).
Rasulullah SAW juga menganjurkan mengucapkan niat pada waktu akan menyembelih hewan korban atau hewan denda dalam haji.