Nazariyyah i’tibar al-ma’al terbentuk dari tiga kata; nazariyyah (teori), i’tibar (acuan), dan ma’al (hasil, akibat, atau dampak). Teori ini dikemukakan Imam asy-Syatibi, ahli usul fikih. Menurutnya, Nazariyyah i’tibar al-ma’al adalah suatu ijtihad yang berupaya menerapkan hukum sesuai dengan situasi objek hukum.
Teori Nazariyyah i’tibar al-ma’al pertama kali diperkenalkan oleh Imam asy-Syatibi, ahli usul fikih, ketika ia membagi ijtihad kepada dua bentuk, yaitu ijtihad istinbathi (upaya penggalian hukum dari teks suci) dan ijtihad tathbiqi (upaya untuk menerapkan hukum yang digali dari teks suci tersebut ke objek hukum).
Menurutnya, Nazariyyah i’tibar al-ma’al adalah suatu ijtihad yang berupaya menerapkan suatu hukum sesuai dengan situasi dan kondisi yang mengitari objek hukum. Situasi dan kondisi ini perlu diperhatikan, karena ketika menerapkan suatu hukum yang digali dari nas (Al-Qur’an atau sunah), ada kemungkinan hukum itu cocok untuk diterapkan ke objeknya atau sebaliknya membawa dampak yang negatif terhadap objek hukum secara keseluruhan.
Dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang mengitari objek hukum, seorang mujtahid dengan tepat dapat menentukan hukum mana yang akan diterapkan kepada objek hukum itu. Teori ini muncul ketika berlangsung ijtihad tathbiqi.
Teori ini dapat dikembangkan secara luas dalam berbagai persoalan agama, baik dalam bidang ibadah maupun bidang muamalah. Yang menjadi acuan dalam teori ini adalah tujuan pensyariatan suatu hukum, yaitu tercapainya kemaslahatan yang dikehendaki syarak.
Telah menjadi kesepakatan di kalangan ahli usul fikih bahwa setiap hukum yang ditentukan Allah SWT atau Rasulullah SAW pasti bertujuan untuk mencapai suatu kemaslahatan atau menolak suatu kemudaratan. Dalam kaitan ini seorang mujtahid dalam menerapkan hukum pada objeknya harus berupaya untuk mencapai maksud atau tujuan syarak ini.
Menurut Imam asy-Syatibi, seorang mujtahid tidak boleh menerapkan hukum yang telah digalinya dari Al-Qur’an atau sunah sebagaimana adanya. Ia berkewajiban memberikan pertimbangan berdasarkan situasi dan kondisi yang mengitari objek hukum.
Apabila hukum yang dihasilkan dari ijtihadnya itu tidak cocok diterapkan kepada objek hukum karena penerapan hukum itu membawa kemudaratan, mujtahid ini harus mencarikan hukum lain yang lebih sesuai, sehingga kemudaratan bisa dihilangkan dan kemaslahatan dapat dicapai. Contoh dari teori ini dapat diambil berdasarkan surah al-Baqarah (2) ayat 275, “…Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”
Ayat ini menunjukkan bahwa hukum asal jual beli adalah halal, karena jual beli mengandung kemaslahatan, baik untuk pribadi maupun orang banyak. Apabila seorang pedagang membeli suatu komoditas sebanyak-banyaknya dan kemudian menimbunnya sehingga jenis komoditas itu habis dari pasaran dan harga barang itu naik, maka perbuatannya dalam fikih disebut ihtikar.
Pada dasarnya, tindakan membeli barang yang dilakukan pedagang ini hukumnya boleh, sesuai dengan bunyi ayat di atas. Tetapi, tujuan pem-belian itu, yakni untuk menimbun dan kemudian menjualnya ketika harga barang sudah melonjak tajam, tidak dapat dibenarkan syarak karena membawa dampak yang sangat negatif terhadap pedagang lain dan masyarakat banyak.
Oleh sebab itu, sekalipun barang yang dibelinya itu dihukumkan sah, namun sikap dan tujuannya dianggap membawa mudarat. Dalam teori i’tibar al-ma’al, jika sikap dan niat pedagang yang memborong komoditas tertentu dari pasar diketahui, pedagang itu dilarang membeli komoditas tersebut. Larangan ini tujuannya untuk memelihara kemaslahatan orang banyak (konsumen).
Contoh lain adalah dalam kasus hibah. Sebagai salah satu akad yang bertujuan untuk saling tolong-menolong antara sesama hamba Allah SWT, hibah disyariatkan Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Tujuannya adalah agar fakir miskin dapat dibantu, di samping mempererat hubungan sesama muslim. Akan tetapi, perbuatan hibah yang semula dibolehkan ini bisa menjadi haram apabila harta yang dihibahkan itu bertujuan untuk menghindarkan diri dari kewajiban zakat.
Umpamanya, seseorang memiliki harta sejumlah 90 gram emas. Untuk harta tersebut wajib dikenakan zakat 2,5%. Harta ini telah mendekati haul (masa satu tahun)-nya. Kemudian orang tersebut menghibahkan 2 gram emasnya kepada orang miskin.
Pada dasarnya, perbuatannya menghibahkan harta itu dibolehkan. Tetapi, karena hibah yang dilakukannya semata-mata untuk menghindarkan diri dari kewajiban zakat karena jumlah hartanya kini tidak mencapai satu nisab lagi (90 gram emas) sikapnya ini tidak dapat dibenarkan.
Pertimbangan ketidakbolehan ini adalah hibah hanya merupakan pekerjaan sunah, sedangkan zakat merupakan kewajiban. Melakukan pekerjaan sunah untuk menghindarkan diri dari suatu kewajiban tidak dibenarkan syarak.
Hibah yang dilakukan untuk menghindarkan diri dari suatu kewajiban, zakat umpamanya, disebut sebagai hibah suri (hibah semu), karena “akad hibah” itu dilakukan sekadar taktik dan pada dasarnya ia tidak menghibahkan secara sungguh-sungguh. Oleh sebab itu, berdasarkan teori i’tibar al-ma’al, perbuatan seperti ini dinyatakan tidak sah.
Dalam penerapan teori ini ada beberapa kaidah (juga sebagai metode ijtihad) yang dikemukakan Imam asy-Syatibi, yakni kaidah adz-dzari‘ah, istihsan, dan hiyal. Adz-dzari‘ah itu sendiri ada yang dilarang (mamnu‘, disebut sadd adz-dzari‘ah) dan ada yang dibolehkan (fath adz-dzari‘ah).
Menurut para ahli usul fikih, yang dimaksud dengan sadd adz-dzari‘ah adalah menutup semua jalan yang membawa kepada kemudaratan. Misalnya, menerima hadiah dari seseorang pada dasarnya boleh dan halal karena perbuatan ini membawa pada suatu kemasalahatan dan dapat mempererat persaudaraan.
Akan tetapi, seorang hakim, karena tugas dan jabatannya, tidak dibenarkan menerima hadiah dari orang yang terkait dengan perkara yang sedang dihadapinya, karena penerimaannya itu dapat mempengaruhinya dalam mencari keputusan yang benar.
Dalam sadd adz-dzari‘ah ini dikenal juga kaidah “segala jalan yang membawa kepada yang haram adalah haram”. Umpamanya, karena berzina itu haram, segala jalan yang bisa membawa pada perzinaan diharamkan.
Dalam kaitan ini, Imam asy-Syatibi membagi perbuatan yang pada dasarnya boleh tetapi membawa dampak mudarat ke dalam empat bentuk.
(1) Suatu perbuatan yang dibolehkan, tetapi membawa pada kemudaratan secara mutlak. Misalnya: seseorang menggali sumur di depan pintu orang lain ketika hari gelap. Karena hal ini secara mutlak membawa kemudaratan bagi orang lain, perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan.
(2) Perbuatan yang dibolehkan, tapi kebanyakannya (aktsariyyah) membawa pada kemudaratan. Misalnya: seseorang membeli sebuah barang kepada seorang pedagang secara kredit selama waktu tertentu.
Kemudian pembeli ini menjual lagi barang tersebut secara tunai kepada pedagang itu dengan harga lebih murah dibandingkan harga pembeliannya dulu. Pembeli pertama ini tetap mengangsur kreditnya dengan jumlah angsuran yang disepakati.
Sekalipun, untuk sesaat, pembeli pertama mendapatkan uang tunai dari penjualan barangnya, tetapi dalam masa berikutnya ia terpaksa membayar angsuran utangnya, sementara barang itu tetap milik penjual.
Dalam kasus seperti ini terdapat perbedaan pendapat ulama. Ulama Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa perbuatan itu boleh dilakukan karena pada dasarnya perbuatan itu dibolehkan, sedangkan mudarat yang dikhawatirkan belum tentu muncul.
Tetapi, Imam asy-Syatibi memandang bahwa dugaan keras saja telah dapat dijadikan patokan suatu hukum. Oleh sebab itu perbuatan yang dibolehkan itu, jika kebanyakannya membawa pada kemudaratan, tidak boleh dilakukan.
(3) Suatu perbuatan yang dibolehkan, tetapi biasanya (aglabiyyah, secara mayoritas) membawa pada kemudaratan. Misalnya: seseorang menjual senjata kepada musuh Islam, sedangkan antara umat Islam dan musuh itu sedang berperang.
Dalam kasus seperti ini pun, ulama fikih berbeda pendapat. Ada yang berpegang kepada hukum asal, yaitu boleh melakukan perbuatan itu. Tetapi ada juga yang melihat kepada dampak yang diduga keras akan timbul, karenanya perbuatan itu dilarang.
(4) Suatu perbuatan yang dibolehkan, jarang sekali berdampak mudarat. Misalnya: seseorang menggali sumur di tempat yang disediakan untuk itu. Untuk perbuatan seperti ini seluruh ulama sepakat mengabaikan kemungkinan kemudaratan yang jarang terjadi tersebut. Artinya, dalam kasus seperti ini, kembali kepada hukum asal perbuatan itu sendiri.
Adapun fath adz-dzari‘ah adalah membuka semua jalan yang menyampaikan seseorang pada suatu kemaslahatan. Misalnya: mengerjakan salat Jumat itu adalah kewajiban, maka berupaya untuk mengerjakan salat Jumat itu juga wajib; salat itu wajib, maka berusaha untuk mencari air untuk berwudu juga wajib.
Dasar hukum yang menunjukkan kaidah sadd adz-dzari‘ah antara lain adalah firman Allah SWT dalam surah al-An‘am (6) ayat 108 yang berarti: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan….”
Dengan teori i’tibar al-ma’al, memaki sesembahan orang non-Islam tidak dibolehkan, karena dampaknya mungkin akan lebih besar bagi umat Islam.
Dasar hukum lainnya adalah hadis Rasulullah SAW, yakni tentang dilarangnya meminang wanita yang telah dipinang orang lain dan dilarangnya menawar barang yang sedang ditawar orang lain (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad bin Hanbal, at-Tirmizi, dan Ibnu Majah).
Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda: “Jangan kamu kawini secara bersamaan (kumpulkan) seorang wanita dan bibinya, karena jika itu kamu lakukan, berarti kamu telah memutus hubungan silaturahmi di antara kamu” (HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal, dan ad-Darimi).
Larangan ini didasarkan pada kekhawatiran akan munculnya persengketaan yang berkepanjangan antara seorang wanita dan bibinya yang bisa berakibat terputusnya hubungan kekeluargaan.
Kaidah lain yang muncul akibat Nazariyyah i’tibar al-ma’al adalah istihsan. Ulama Mazhab Maliki, antara lain Imam asy-Syatibi dan Ibnu Rusyd, seorang filsuf dan ahli fikih, mendefinisikannya sebagai “mendahulukan al-maslahah al-mursalah dari kias”. Artinya, jika kehendak kias (kaidah umum) bertentangan dengan kemaslahatan, didahulukan kemaslahatan.
Kaidah lain yang muncul dari Nazariyyah i’tibar al-ma’al ini adalah hiyal atau hilah. Imam asy-Syatibi mengatakan hiyal adalah melakukan suatu perbuatan yang secara lahirnya dibolehkan dengan tujuan membatalkan hukum syarak lainnya.
Contoh populer dalam hal ini adalah masalah hibah yang dikemukakan di atas, yaitu menghibahkan harta yang telah satu nisab dan telah mendekati haul dengan tujuan menghindarkan diri dari kewajiban membayar zakat.
Tindakan seperti ini tidak dibolehkan, karena hibah hukumnya sunah, sedangkan zakat yang dihindari itu hukumnya wajib. Menunaikan yang wajib harus lebih didahulukan dari yang sunah.
Contoh lain: karena enggan menunaikan ibadah haji (padahal ia mampu secara fisik dan materi), seseorang memberikan infak sebagian hartanya untuk kepentingan orang miskin. Dengan demikian ia memiliki alasan untuk tidak berhaji (karena biayanya tidak cukup lagi untuk melakukan ibadah haji).
Alasan yang dikemukakan ulama dalam melarang perbuatan hiyal ini juga didasarkan pada hasil induksi dari berbagai nas, seperti haramnya sogok-menyogok, tidak bolehnya hakim menerima hadiah dari penggugat atau dari tergugat, dan haramnya nikah tahlil (seseorang menyuruh orang lain menikahi bekas istri yang telah ditalaknya tiga kali dengan syarat tidak boleh digauli, kemudian istri itu diceraikan segera agar bekas suami pertama ini bisa menikahi kembali bekas istrinya itu).
Semuanya ini merupakan tindakan yang dikecam Allah SWT dan Rasul-Nya, walaupun hukum asalnya membolehkan.