Nasikh dan Mansukh

Kata nasikh (dari naskh) secara etimologis berarti menghapus (al-izalat), mengganti (at-tabdil), memalingkan (at-tahwil), serta memindahkan (an-naql). Jadi, nasikh adalah sesuatu yang menghapus, mengganti, dan membatalkan. Adapun mansukh adalah sesuatu yang dihapus, diganti, dan dibatalkan.

Menurut ulama mutakadimin (yang terdahulu, yakni abad ke-1 hingga abad ke-3 H), arti nasikh dan mansukh dari segi terminologi mencakup:
(1) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian,
(2) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian,
(3) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang belum jelas (samar), dan
(4) penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.

Di samping itu ada pula yang berpendapat bahwa istilah tersebut berarti pembatalan ketetapan hukum yang ditetapkan pada suatu kondisi tertentu oleh ketetapan lain yang berbeda akibat munculnya kondisi lain.

Misalnya, perintah agar kaum muslimin pada periode Mekah bersabar karena kondisi mereka lemah telah di naskh oleh adanya perintah berperang pada periode Madinah karena kondisi mereka sudah kuat. Bahkan ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa sebelum Islam termasuk dalam pengertian naskh.

Ulama muta’akhkhirin (setelah abad ke-3 H) mempersempit pengertian yang luas itu. Menurut mereka, naskh adalah ketentuan hukum yang datang kemudian untuk membatalkan masa berlakunya hukum terdahulu. Artinya, ketetapan hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi dengan adanya ketetapan hukum yang baru.

Pembahasan tentang nasikh dan mansukh yang muncul dalam kajian ilmu tafsir merupakan masalah yang mengundang perdebatan di kalangan ulama. Kontroversi yang timbul bertolak dari bagaimana memahami dan menghadapi ayat Al-Qur’an yang pada lahirnya kelihatan saling berlawanan.

Segolongan ulama berpendapat bahwa ada ayat yang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, dan dengan demikian ada naskh dalam Al-Qur’an. Sebaliknya, segolongan ulama yang lain berpendapat bahwa ayat yang dikatakan tampak bertentangan bisa dikompromikan dan dengan demikian tidak ada naskh dalam Al-Qur’an.

Jumhur (mayoritas) ulama, antara lain Imam Syafi‘i yang mengakui adanya naskh dalam Al-Qur’an berdalih pada ayat Al-Qur’an yang menyatakan: “Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.

Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS.2:106). “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ada saja. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui’” (QS.16:101).

Menurut mereka, ayat yang di-naskh adalah ayat Al-Qur’an yang mengandung ketentuan hukum. Di samping alasan nas (bukti tekstual) itu, menurut mereka ada ayat yang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan.

Berkaitan dengan kandungan surah al-Baqarah (2) ayat 106 tersebut, para mufasir (ahli tafsir) memberi komentar. Ibnu Kasir dalam kitab tafsirnya menyatakan: “Sesungguhnya menurut rasio tidak ada alasan yang menunjukkan tidak adanya naskh (pembatalan) dalam hukum-hukum Allah, karena Allah menetapkan hukum menurut kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.”

Al-Maraghi dalam kitab tafsirnya melihat adanya hikmah keberadaan naskh dengan menyatakan: “Sesungguhnya hukum-hukum itu tidak diundangkan kecuali untuk kepentingan manusia. Hal ini dapat berbeda karena perbedaan waktu dan tempat.

Jika suatu hukum diundangkan karena dirasakan perlu adanya hukum itu, kemudian keperluan itu berakhir, adalah suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu. Dengan demikian hukum menjadi lebih baik dari yang semula atau sama dari segi manfaat untuk hamba-hamba Allah.”

Muhammad Rasyid Rida dalam tafsirnya menjelaskan:

“Sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan lingkungan, serta situasi. Apabila suatu hukum diundangkan pada suatu waktu karena kebutuhan pada hukum itu, kemudian hukum itu tidak dibutuhkan lagi pada waktu lain, adalah suatu tindakan bijaksana membatalkan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu.”

Adapun Sayid Qutub berpendapat bahwa ayat itu merupakan sanggahan terhadap pendirian orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan alasan bahwa Allah SWT tidak mungkin menghapuskan hukum-Nya dalam Taurat.

Selain itu mereka menuduh bahwa Nabi Muhammad SAW tidak konsisten, baik mengenai perpindahan kiblat dari Masjidilaksa ke Masjidilharam, maupun perubahan petunjuk, hukum, dan perintah yang akan terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam menurut situasi dan kondisi mereka yang berkembang.

Menurut pendukung adanya naskh, naskh baru dilakukan jika:
(1) terdapat dua ayat hukum yang saling berlawanan dan tidak dapat dikompromikan; (2) harus diakui secara meyakinkan urutan turunnya ayat tersebut, yang lebih dahulu turun ditetapkan sebagai mansukh dan yang kemudian sebagai nasikh; dan
(3) hukum yang mansukh tidak bersifat abadi, tetapi bersifat sementara. Karena itu hanya ayat tertentu yang bisa di-nasakh.

Ayat yang tidak bisa di-nasakh adalah:
(1) ayat yang mengandung hukum pokok yang tidak bisa berubah dengan sebab berubahnya situasi dan kondisi manusia, seperti ayat yang berkaitan dengan akidah, ibadah, keadilan, dan amanah;
(2) ayat yang secara tekstual menunjukkan ketentuan hukumnya berlaku sepanjang masa (abadi); dan
(3) ayat yang berisi berita yang tidak mengandung perintah dan larangan, seperti kabar tentang umat-umat terdahulu.

Naskh dalam Al-Qur’an dibagi ke dalam empat jenis. (1) Naskh sarih, yaitu ayat yang secara tegas menghapuskan hukum yang terdapat dalam ayat terdahulu. Misalnya, ayat-ayat mengenai peperangan yang mengharuskan perbandingan antara muslim dan kafir adalah 1:10 di-nasakh dengan ayat yang mengharuskan hanya 1:2 dalam masalah yang sama (QS.8:65–66).

(2) Naskh dimni, yaitu apabila ada ketentuan hukum ayat-ayat terdahulu tidak bisa dikompromikan dengan ketentuan hukum ayat yang datang kemudian dan ia menasakh ayat yang terdahulu. Misalnya, ayat tentang kewajiban wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.

(3) Naskh kulli, yaitu menasakh hukum yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya, ketentuan hukum idah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati suaminya yang di-nasakh dengan idah 4 bulan 10 hari (QS.2:234).

(4) Naskh juz’i, yaitu menasakh hukum yang mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu, atau me-nasakh hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang bersifat muqayyad (terbatas).

Misalnya, orang yang menuduh seorang wanita berzina tanpa menghadirkan 4 orang saksi hukumnya didera 80 kali (QS.24:4) di-nasakh oleh ayat yang menjelaskan bahwa jika penuduh itu suaminya sendiri, hukumnya tidak didera tetapi dilakukan saling sumpah antara keduanya (QS.24:6).

Ulama yang menolak adanya naskh dalam Al-Qur’an antara lain Abu Muslim al-Asfahani, mufasir dari golongan Muktazilah, Imam ar-Razi, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, Dr. Taufiq Sidqy, dan Muhammad Khudari Bek.

Alasan penolakan mereka didasarkan pada ayat Al-Qur’an yang sama yang dikemukakan kelompok pendukung naskh, dengan perbedaan penafsiran. Ala­san mereka adalah sebagai berikut.

(1) Kandungan surah al-Baqarah (2) ayat 106 yang oleh kelompok pendukung naskh dijadikan sebagai argumen adanya naskh dalam Al-Qur’an, menurut mereka ditujukan kepada kaum Yahudi yang mengingkari Al-Qur’an atau merujuk pada wahyu yang diturunkan sebelum Al-Qur’an yang akhirnya digantikan oleh Al-Qur’an.

Artinya, hukum yang terdapat dalam kitab suci sebelum Al-Qur’an diganti dengan yang lebih baik, yaitu Al-Qur’an. Kandungan surah an-Nahl (16) ayat 101 dilihat dari segi turunnya ditujukan kepada orang kafir yang tidak mempercayai kerasulan Muhammad SAW karena hukum yang ada di dalam Al-Qur’an berlainan dengan hukum Taurat dan Injil.

Menurut mereka, kalau Al-Qur’an benar-benar datang dari Allah SWT, maka pasti tidak akan berbeda dari isi kitab sebelumnya. Untuk itulah Allah SWT menjawab bahwa Dia lebih tahu apa yang maslahat buat hamba-Nya untuk setiap zaman.

(2) Jika dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang mansukh, berarti dalam Al-Qur’an terdapat kesalahan dan saling berlawanan, padahal Al-Qur’an sendiri telah menegaskan: “Tidak datang kepada Al-Qur’an kebatilan baik dari depannya maupun dari belakangnya…” (QS.41:42).

(3) Rasulullah SAW sendiri tidak pernah mengatakan adanya naskh dalam Al-Qur’an. Seandainya ada, sudah tentu ia akan menjelaskannya.

(4) Hadis yang dikatakan pendukung naskh dinilai sebagai penasikh ayat Al-Qur’an, seperti hadis yang berarti: “Tidak ada wasiat bagi penerima waris” (HR. Bukhari, Abu Dawud, at-Tarmizi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Daruqutni, dan Ahmad bin Hanbal).

Hadis ini bukanlah hadis mutawatir melainkan hadis ahad yang tidak sederajat dengan Al-Qur’an, dan hadis ahad tidak punya kualifikasi untuk menjadi hujah dalam menetapkan hukum sesuatu.

(5) Di kalangan pendukung naskh sendiri tidak ada kesepakatan dalam menentukan jumlah ayat yang mansukh. Misalnya, menurut an-Nuhas terdapat 100 lebih ayat yang mansukh, as-Suyuti 20 ayat, sedangkan asy-Syaukani berhasil mengkompromikan 12 ayat dari 20 ayat yang oleh as-Suyuti tidak bisa dikompromikan.

Ini berarti ada sebagian ayat yang oleh sebagian ulama dipandang tidak dapat dikompromikan, ternyata dapat dikompromikan ulama lain. Karena itu kelompok penolak adanya naskh membuktikan kemampuan mereka dalam mengkompromikan ayat yang oleh pendukung naskh dinilai kontradiktif.

Karena kontroversi itu maka jalan terbaik adalah mengkompromikan kedua kelompok ulama tersebut, yaitu dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan ulama muta’akhkhirin sebagaimana mereka meninjau pengertian dari ulama mutakadimin.

Untuk usaha ini pemikiran Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai titik tolak. Ia menolak adanya naskh dalam pengertian “pembatalan”, tetapi ia dapat menerima dalam arti at-tabdil (pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain).

Dengan demikian pengertian istilah naskh adalah pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, dalam arti semua ayat Al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada yang kontradiktif dan yang dibatalkan.

Hanya saja terjadi pergantian hukum bagi masyarakat/orang tertentu karena adanya kondisi yang berbeda. Namun demikian, ayat hukum yang tidak berlaku bagi masyarakat dalam satu kondisi dapat berlaku bagi masyarakat lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.

Pemahaman demikian akan sangat membantu dalam pengembangan hukum Islam, sehingga ayat hukum yang bertahap tetap dapat diberlakukan oleh mereka yang kondisinya sama atau serupa dengan kondisi umat Islam pada awal masa perkembangan Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir Al-Qur’an al-hakim (al-Manar). Cairo: Dar al-Manar, 1953.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Cairo: al-Halabi, 1957.
az-Zarkasyi, Badaruddin Muhammad Abdullah. al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Cairo: al-Halaby, 1957.
J. Suyuti Pulungan