Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah sejarawan, filsuf, dan seniman berkewarganegaraan Malaysia. Di dunia akademis, ia dikenal sebagai sejarawan khusus sejarah Islam di ranah Melayu. Ia mendirikan The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kualalumpur, Malaysia.
Nenek moyang Syed Muhammad Naquib al-Attas berasal dari Hadramaut. Dari keluarga ibunya yang merupakan keturunan bangsawan Sunda, ia memperoleh pendidikan agama Islam.
Dari lingkungan keluarga ayahnya sebagai bangsawan Johor, ia diperkenalkan dengan bahasa, kesusastraan, dan budaya Melayu. Sejak masa mudanya, Naquib telah memiliki perhatian besar pada aspek-aspek budaya Islam-Melayu, khususnya yang berhubungan dengan tasawuf.
Pada usia 5 tahun ia dikirim oleh orangtuanya untuk bermukim di Malaysia dan menempuh pendidikan dasar di Ngee Heng Primary School (1936–1941). Ia kembali ke Indonesia ketika Jepang menduduki Malaya untuk belajar ilmu-ilmu keislaman tradisional di Madrasah al-Urwatul Wutsqa’, Sukabumi, Jawa Barat (1941–1945).
Setelah menyelesaikan sekolah lanjutan atas, ia memasuki ketentaraan Malaysia dan sempat dikirim untuk belajar di beberapa sekolah militer di Inggris, termasuk Royal Military Academy, Sandhurst (1952–1955).
Pada tahun 1957 ia keluar dari dunia militer dan belajar di Universiti Malaya, Malaysia, selama dua tahun. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Institute of Islamic Studies, McGill University, Canada (1959–1962), hingga meraih gelar Master dengan tesis berjudul Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh (diterbitkan 1966).
Adapun gelar Doktor diperolehnya dari School of Oriental and African Studies, University of London (1963–1965), dengan disertasi berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri (diterbitkan 1970).
Sekembalinya ke Malaysia (1966), ia memegang beberapa jabatan penting di lingkungan Jurusan Kajian Melayu, Universiti Malaya. Naquib sempat mendapat tentangan keras ketika mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa pengajaran di universitas, yang ketika itu menggunakan bahasa Inggris.
Pada 1970 ia menjadi salah seorang pendiri Universiti Kebangsaan Malaysia yang akan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya. Perhatiannya yang besar pada bahasa dan budaya Melayu ini tampak pula ketika ia menentang keras usulan untuk menghilangkan pengajaran bahasa Melayu-Jawi (yang ditulis dengan huruf Arab) di sekolah-sekolah dasar dan lanjutan Malaysia.
Mulai awal 1980-an, Naquib berusaha mempraktekkan gagasannya mengenai konsep pendidikan Islam dalam bentuk universitas. Hal ini antara lain dikemukakan dalam Konferensi Dunia Pendidikan Islam pertama di Mekah tahun 1977.
Sebagai tindak lanjut konferensi tersebut, Organisasi Konferensi Islam (OKI) bersedia membantu pemerintah Malaysia mendirikan suatu universitas Islam internasional di Malaysia, yang kemudian diberi nama International Islamic University (Universitas Islam Internasional), pada tahun 1984. Konsep universitas ini adalah universitas biasa, namun dengan tambahan pengajaran dasar-dasar Islam dan bahasa Arab.
Pengetahuan dasar tentang Islam diberi cukup mendalam agar mahasiswa dapat menyaring konsep-konsep tak islami dari ilmu-ilmu yang dipelajarinya. Artinya, islamisasi terjadi dalam diri mahasiswa yang mempelajari ilmu-ilmu modern itu, dan bukan sesuatu yang dilakukan terhadap disiplin itu sendiri.
Belakangan arah konsep universitas ini berubah menjadi lebih dekat dengan konsep universitas Islam versi Internation al Institute of Islamic Thought (IIIT) sebuah lembaga penelitian yang berpusat di Washington D.C., Amerika Serikat, serta diilhami oleh pemikiran almarhum Ismail Raji al-Faruqi yaitu islamisasi disiplin ilmu itu sendiri.
Merasa tidak sejalan dengan arah baru universitas ini, Naquib berusaha mendirikan sebuah lembaga pengajaran dan penelitian yang mengkhususkan diri pada pemikiran Islam khususnya filsafat sebagai jantung dari proses islamisasi yang dibayangkannya itu.
Gagasannya tersebut terwujud dengan berdirinya ISTAC di Kuala Lumpur pada tanggal 27 Februari 1987. Pada bulan Desember 1987 Naquib diangkat menjadi profesor bidang pemikiran dan peradaban Islam pada lembaga tersebut.
Ia juga merancang gedung ISTAC yang diresmikan tahun 1991. Selain itu, ia juga memperoleh penghargaan Al-Ghazali Chair of Islamic Thought pada bulan Desember 1993 dari lembaga ini atas sumbangannya dalam pemikiran Islam kontemporer.
NAQUIB al-ATTAS
1931 Lahir (5 September) di Bogor 1952–1955 Pendidikan militer di Inggris 1954 Pameran kaligrafi di Amsterdam 1957–1959 Belajar di Universitas Malaya. 1960 Belajar di Universitas McGill, Canada 1962 Memperoleh gelar MA 1963 Kuliah di Universitas London 1965 Meraih gelar doktor 1968–1970 Dekan Fakultas Sastra Universitas Malaya 1970–1984 Kepala Fakultas Bahasa dan Kesusastraan Melayu pada Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) 1973 Mendirikan IBKKM 1976–1977 Guru besar tamu Universitas Temple 1980–1982 Guru besar tamu Universitas Ohio 1987 Mendirikan ISTAC |
Dalam kajian tentang sejarah Melayu, Naquib berpendapat bahwa jati diri Melayu tidak terpisahkan dengan Islam, bahkan menurutnya kemelayuan itu dibentuk oleh Islam. Bukti yang diajukannya bukan berdasarkan peninggalan fisik, tetapi terutama yang berkaitan dengan pandangan dunia orang Melayu.
Metodologi yang digunakannya adalah penelitian teks-teks Melayu dan medan semantik dari kata-kata kunci yang menunjukkan aspek-aspek pandangan dunia peradaban Melayu.
Dalam bukunya Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago (1969), ia mengatakan bahwa dakwah Islam datang ke wilayah Melayu sebagai “islamisasi”. Proses ini berjalan dalam tiga periode dan tahap yang serupa dengan ketika Islam mempengaruhi Abad Pertengahan Eropa.
Naquib sering dikaitkan dengan gagasan tentang “islamisasi ilmu”. Ia termasuk salah seorang yang pertama mengangkat masalah ini. Masalah “ilmu” amat diyakini sebagai sumber dari segala masalah yang ada di dunia.
Dalam makalahnya Dewesternization of Knowledge (dimuat dalam Islam and Secularism), ia menjelaskan bahwa “masalah ilmu” terutama berhubungan dengan epistemologi. Masalah ini muncul ketika sains modern diterima di negara-negara muslim modern, di saat kesadaran epistemologis muslim amat lemah.
Menguatnya anggapan bahwa sains modern adalah satu-satunya cabang ilmu yang otoritatif segera melemahkan pandangan Islam mengenai ilmu. Ini khususnya berlaku dalam hal sumber ilmu di mana Islam mengakui adanya sumber kebenaran mutlak seperti Al-Qur’an dan otoritas dan metodologi ilmu di mana Islam mengakui intuisi sebagai salah satu jalan terpenting mengenali realitas.
Menurutnya, pada dasarnya tidak ada keberatan besar terhadap hasil praktis sains, namun perlu dilengkapi dengan etika. Tetapi ia menolak posisi sains modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis, karena banyak kebenaran agama yang tak dapat dicapai oleh sains yang hanya berhubungan dengan realitas empirik.
Hanya dalam arti ini sains dapat bertentangan dengan agama. Menurutnya, dalam proses pembalikan kesadaran epistemologis ini, program islamisasi menjadi satu bagian kecil dari pemecahan “masalah ilmu”.
Naquib telah menulis sekitar 24 buku dan sejumlah monograf. Dalam tesis masternya, ia menunjukkan kemampuan Nuruddin ar-Raniri mendefinisikan dan menjelaskan medan semantik dari kata-kata kunci Melayu yang berhubungan dengan Islam.
Dalam A Commentary on the Hujjat as-Siddiq of Nur ad-Din ar-Raniri (1986), ia menunjukkan adanya kesatuan gagasan metafisika di dunia Islam dan pandangan sistemik tentang realitas (Tuhan, alam semesta, manusia, dan ilmu) dapat diungkapkan dalam bahasa rasional dan teoretis, sehingga dapat menjadi dasar dari suatu filsafat sains islami.
Naquib juga menyunting dan menerjemahkan manuskrip teolog muslim ternama an-Nasafi dalam judul The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqa’id of an-Nasafi (1988).
Karyanya Rangkaian Ruba’iyyat (1959) merupakan kumpulan syair yang menunjukkan penguasaannya atas bahasa Melayu klasik. Buku ini ditulis ketika ia masih menjadi mahasiswa bersama dengan bukunya yang lain, yaitu Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced Among the Malays (1963).
Penelitiannya tentang batu nisan di Trengganu yang ditulis dalam The Correct Date of Trengganu Inscription (1972) menjawab umur batu nisan tersebut, sehingga dapat membantu penentuan tahun masuknya Islam di wilayah ini.
Karya-karya selanjutnya lebih menekankan pembahasan sendi-sendi ajaran Islam dan upaya menjawab tantangan dunia modern. Makalahnya dalam Konferensi Dunia Pendidikan Islam pertama di Mekah (1977) diterbitkan dalam buku hasil suntingannya yang berjudul Aims and Objectives of Islamic Education (1979).
Melalui perbaikan bersama tulisan-tulisan lainnya, makalah ini diterbitkan kembali dengan judul Islam and Secularism (1978). Pada tahun 1985 dengan beberapa penambahan, buku ini terbit kembali di New York dengan judul Islam, Secularism, and the Philosophy of the Future.
Beberapa risalah banyak berhubungan dengan elaborasi metafisika Islam, antara lain: Islam and the Philosophy of Science (1989), The Nature of Man and the Psychology of Human Soul A Framework for Islamic Epistemology and Psychology (1990), On Quiddity and Essence An Outline of the Basic Structure of Reality in Islamic Metaphysics (1990),
The Intuition of Existence A Fundamental Basis of Islamic Metaphysics (1990), Islam the Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality (1976 dan 1992), The Meaning and Experience of Happiness in Islam (1993), Degrees of Existence (1995), dan Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of Fundamental Elements of the Worldview of Islam (1995).
Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Indonesia, Perancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, Hindi, Korea, dan Albania.