Secara bahasa, najis berarti “kotor”. Secara etimologis, segala sesuatu yang dianggap kotor oleh syarak disebut najis. Masalah najis berkaitan dengan ibadah. Untuk beribadah, seseorang harus suci, baik anggota tubuh, sifat, dan keadaannya. Ada kaidah atau dalil dari ulama fikih yang menunjukkan keharaman atau kenajisan.
Pembagian Najis. Najis dibagi menjadi dua, yaitu najis haqiqi dan najis hukmi. Najis haqiqi adalah ‘ain (zat) benda yang najis dan pembersihannya dilakukan dengan air bersih. Penggunaan air bersih disandarkan pada hadis Asma binti Abu Bakar yang diperintahkan untuk membersihkan najis dengan air bersih oleh Nabi SAW.
Bagaimana cara mempergunakan air dan cara membersihkannya juga secara terperinci dikemukakan, yaitu ada yang cukup dengan menyiramkan air bersih saja ke bekas najis tersebut (seperti pada air kencing bayi laki-laki yang masih menyusu sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ummi Qais yang diriwayatkan Muttafaq ‘alaih dan dari Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan Ahmad),
ada yang mencucinya dengan air sebanyak tiga kali (seperti yang dikemukakan Mazhab Hanafi dalam membersihkan air kencing), dan ada pula yang sampai tujuh kali (seperti membersihkan bekas jilatan anjing atau babi, yang salah satu di antaranya dengan tanah).
Najis haqiqi ini dibagi menjadi: najis mugallazah (berat), najis mutawassithah (pertengahan, sedang), najis mukhaffafah (ringan), najis kering, dan najis basah. Masing-masing bagian ini berbeda-beda cara membersihkannya.
Najis mugallazah adalah suatu materi yang kenajisannya ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qath’i). Yang termasuk dalam kelompok ini adalah anjing dan babi. Najis kelompok ini dapat dicuci/dibersihkan sebanyak tujuh kali, satu di antaranya dengan tanah.
Najis mutawassithah (sedang) di antaranya adalah kotoran manusia, kencing, dan kotoran hewan. Najis kelompok ini dapat dicuci dengan air.
Najis mukhaffafah ialah najis yang ringan, di antaranya ialah kencing bayi yang belum makan apa pun selain air susu ibunya. Najis kelompok ini dapat dicuci dengan memercikkan air di atasnya.
Najis kering adalah najis yang berwujud benda padat seperti bangkai dan tinja manusia. Adapun najis basah adalah najis yang berwujud benda cair, seperti air kencing, darah yang mengalir, dan mazi (lendir yang keluar tatkala muncul nafsu seksual).
Najis hukmi artinya secara hukum keadaan seseorang dianggap sebagai bernajis hingga wajib dibersihkan. Dalam menentukan najis hukmi ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Mazhab Hanbali menyatakan bahwa najis hukmi merupakan keadaan yang mendatang terhadap sesuatu yang dianggap bersih sebelumnya.
Karena adanya unsur luar yang melekat pada sesuatu atau seseorang membuat dia dihukumkan bernajis. Dengan demikian yang dianggap najis secara hukum itu adalah pemilik tubuh.
Mazhab Syafi‘i menyatakan bahwa najis hukmi adalah sesuatu yang keadaannya dianggap najis yang tidak mempunyai tubuh, yaitu tidak punya warna dan bau serta tidak berupa makanan (seperti kencing yang sudah kering).
Mazhab Maliki mengatakan bahwa bekas najis hukmi adalah najis yang dihukumkan melekat pada tempat yang bersih. Sementara itu Mazhab Hanafi mengatakan bahwa najis hukmi itu adalah sifat syar‘i (yang berdasarkan syarak) yang melekat pada anggota tubuh atau tubuh itu sendiri, yang membuat keadaan seseorang bernajis secara hukum (seperti berhadas kecil atau besar).
Hadas kecil misalnya seseorang yang buang air kecil. Keadaannya dianggap bernajis secara hukum, dan membersihkannya cukup dengan air seketika itu. Dengan demikian ia tidak dianggap bernajis lagi. Adapun orang yang berhadas besar, yang keadaannya dianggap sebagai bernajis (najis hukmi) adalah orang yang dalam keadaaan junub, haid, dan nifas.
Membersihkannya harus dengan mandi wajib. Jika ia telah mandi wajib, barulah keadaannya dianggap bersih. Dengan demikian, sebenarnya seseorang dianggap bernajis secara hukum apabila ada unsur lain yang melekat pada dirinya. Artinya, keadaan orang tersebutlah yang dianggap bernajis, sehingga antara lain ia tidak dibenarkan salat sebelum keadaannya tersebut dibersihkan.
Najis yang Disepakati Ulama. Materi najis yang disepakati kenajisannya yang menyebabkan terhalangnya seseorang yang terkena najis tersebut untuk melakukan salat antara lain: (1) babi, yang meliputi daging, tulang, kulit, bulu, dan seluruh unsurnya; (2) darah manusia (kecuali yang mati syahid), dan (3) darah binatang yang mengalir ketika luka, dilukai atau disembelih.
Adapun darah binatang sembelihan yang berada di tubuhnya setelah disembelih itu tidak najis. Demikian pula darah ikan, hati, dan jantung tidak najis bagi kalangan pengikut Mazhab Hanafi. Tetapi bagi pengikut Mazhab Syafi‘i, darah ikan termasuk darah yang mengalir; karenanya dianggap najis.
Najis yang disepakati oleh imam yang empat (Syafi‘i, Hanbali, Hanafi, dan Malik) adalah: (1) tinja; (2) muntah; (3) kencing manusia, kecuali air kencing anak laki-laki kecil yang masih menyusu (menurut kalangan Mazhab Syafi‘i, untuk membersihkannya cukup dengan menyiramkan air saja); (4) khamar dan segala minuman yang memabukkan, seperti disebutkan dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 90.
Ada pendapat lain yang mengatakan khamar dan segala minuman yang memabukkan itu bukanlah bendanya yang najis; (5) nanah yang muncul dari luka yang membusuk, bisul, dan lain sebagainya; (6) mazi (lendir yang keluar tatkala muncul nafsu seksual); (7) wadi (lendir yang keluar sehabis buang air kecil); (8) darah binatang yang tidak dimakan;
(9) bangkai binatang yang tidak basah (binatang darat) yang memiliki darah yang mengalir di tubuhnya, seperti anjing, kambing, kucing, dan burung; dan (10) bagian tubuh yang terpotong dari binatang yang masih hidup, seperti tangan, kaki, telinga, dan ekor.
Najis yang Tidak Disepakati Ulama. Adapun materi yang tidak disepakati kenajisannya adalah sebagai berikut. (1) Anjing. Kalangan Mazhab Hanafi mengatakan bahwa anjing tidak termasuk najis ‘ain-Nya (bendanya) karena anjing tersebut dimanfaatkan orang, seperti untuk menjaga rumah dan berburu.
Namun demikian, mulut, air ludah, dan tinjanya adalah najis. Akan tetapi ketiga hal ini tidak dapat dikiaskan pada seluruh tubuhnya. Oleh karenanya jika kena jilatan anjing, membersihkannya harus dengan mencucinya sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah, sesuai dengan hadis Nabi SAW yang berarti:
“Jika bejana seseorang dari kamu dijilat anjing, maka cucilah sebanyak tujuh kali, salah satu di antaranya dengan tanah” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Baihaki dari Abu Hurairah).
Adapun ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanafi menyatakan kulit binatang yang sudah disamak tidaklah najis berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Kulit binatang apa saja yang sudah disamak, maka dia sudah bersih” (HR. an-Nasa’i dan at-Tirmizi dari Ibnu Abbas; hadis yang sama juga diriwayatkan dari Ibnu Umar oleh Ibnu Hibban).
Kalangan Mazhab Maliki menganggap bahwa anjing, baik yang liar atau peliharaan, tidak najis, kecuali jilatannya saja yang secara ta‘abbudi (ibadah/kepatuhan) umat Islam diperintahkan untuk mencucinya sebanyak tujuh kali.
Adapun kalangan Mazhab Syafi‘i dan Hanbali menyatakan bahwa anjing dan babi (serta segala unsur-unsurnya) adalah najis ‘ain, dan untuk menyucikannya dilakukan sebagaimana cara yang dituntunkan Nabi SAW dalam sabdanya, yakni tujuh kali mencuci, salah satu di antaranya dengan tanah.
Sekalipun dalam hadis hanya dikatakan jilatan mulut dan lidahnya, namun hakikatnya adalah air lendir yang ada dalam mulutnya; dan air lendir ini merembet ke seluruh tubuh anjing tersebut. Oleh sebab itu keseluruhan tubuhnya adalah najis, sebagaimana juga keseluruhan tubuh babi itu najis.
(2) Bangkai binatang air (laut) yang tidak mempunyai darah yang mengalir. Untuk ikan dan sebangsanya, ulama sepakat menyatakan bahwa itu tidaklah najis, sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi SAW: “Dihalalkan bagi kami dua macam bangkai dan dua macam darah, yaitu bangkai ikan dan belalang…” (HR. Ibnu Majah).
Perbedaan muncul terhadap binatang air yang tidak mempunyai darah yang mengalir. Kalangan Mazhab Hanafi mengatakan tidak najis, sedangkan ulama lainnya mengatakan hal itu najis.
(3) Bagian tubuh binatang yang keras yang tidak mempunyai darah, seperti tanduk, tulang, gigi, gading, kuku, rambut, dan bulu. Oleh kalangan Mazhab Hanafi semua benda ini tidak dianggap sebagai najis,
dengan alasan materi-materi tersebut tidak termasuk yang dinamakan bangkai (yang dinamakan bangkai oleh mereka secara syarak adalah sesuatu yang unsur hidupnya telah hilang bukan karena perbuatan manusia, atau dengan cara yang tidak disyariatkan).
Materi tersebut tidak mempunyai kehidupan, oleh sebab itu tidak dinamakan bangkai, di samping materi itu tidak mempunyai darah yang mengalir. Adapun jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa seluruh unsur dari bangkai binatang adalah najis. Namun tentang rambut dan bulu binatang tidak dikatakan najis oleh ulama, kecuali kalangan Mazhab Syafi‘i.
(4) Kulit binatang. Oleh ulama Mazhab Maliki dan Hanbali dianggap sebagai najis, baik kulit itu sudah disamak atau belum, karena kulit tersebut termasuk unsur dari bangkai binatang. Keharamannya termasuk ke dalam firman Allah SWT yang berarti: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai…” (QS.5:3).
(5) Air kencing anak kecil yang masih menyusu, yang makanannya hanya susu. Ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali menyatakan bahwa air kencing bayi laki-laki yang makanannya masih berupa susu dianggap najis yang pembersihannya cukup dengan mengalirkan air ke bekas air kencing tersebut.
Air kencing anak kecil perempuan yang masih menyusu, pembersihannya harus dilakukan dengan cara yang sama dengan buang air orang dewasa. Alasan mereka adalah hadis Nabi SAW yang berarti: “Disiram dengan air untuk air kencing anak kecil laki-laki, dan dicuci untuk air kencing anak kecil perempuan” (HR. at-Tirmizi).
Adapun ulama Mazhab Maliki dan Hanafi berpendapat air kencing anak kecil yang masih menyusu adalah najis yang harus dibersihkan sebagaimana membersihkan air kencing orang dewasa.
(6) Tinja binatang yang dagingnya dimakan. Mazhab Maliki dan Hanbali menganggapnya tidak najis, sedangkan Mazhab Syafi‘i dan Hanafi menganggapnya najis. Keduanya masing-masing punya alasan dari hadis Nabi SAW.
(7) Mani. Untuk mani binatang terjadi perbedaan pendapat. Mazhab Hanafi dan Maliki menganggapnya najis, Mazhab Hanbali mengatakan mani binatang yang dagingnya dimakan adalah suci, sedangkan Mazhab Syafi‘i mengatakan mani binatang itu suci, kecuali mani anjing dan babi.
Adapun mani manusia oleh Mazhab Maliki dan Hanafi dianggap najis yang wajib dicuci bekasnya. Dalam hal ini Mazhab Hanafi menetapkan perinciannya, yaitu: jika mani itu sudah kering, wajib mencuci bekasnya; sedangkan jika mani itu masih basah, harus digosok atau dikikis dari benda yang kena mani tersebut.
Pendapat ini sesuai hadis Aisyah binti Abu Bakar RA yang mengatakan: “Saya mengikis mani dari pakaian Rasulullah SAW jika ia basah (belum kering), dan aku cuci apabila ia sudah kering” (HR. Daruqutni).
Adapun bagi Mazhab Syafi‘i dan Hanbali, mani itu adalah suci, namun disunatkan untuk mencucinya. Alasannya juga dari hadis Aisyah RA yang mengatakan bahwa suatu hari pakaian Nabi SAW terciprat mani, kemudian beliau salat dengan pakaian tersebut.
(8) Mayat manusia dan air yang keluar dari mulut ma nusia sewaktu tidur. Jumhur ulama menyatakan bahwa jasad manusia yang telah wafat tidaklah najis, dengan dasar hadis Nabi SAW yang berarti: “Sesungguhnya seorang muslim itu tidaklah najis” (HR. Jamaah dari Ibnu Mas‘ud).
Mazhab Hanafi mengatakan bahwa jasad manusia yang telah wafat sama saja dengan bangkai lainnya, yaitu sama-sama memiliki najis. Pendapat ini mengikuti fatwa Ibnu Abbas dan fatwa Ibnu Zubair. Tetapi untuk air yang mengalir dari mulut manusia yang tidur, Mazhab Syafi‘i, Mazhab Hanbali, dan Mazhab Maliki menganggapnya tidak najis.