Naib

(Ar.: an-na’ib)

Naib secara kebahasaan berarti “pengganti”. Secara terminologis, naib berarti “jabatan kepemimpinan dalam badan yang bertugas mengurus masalah keagamaan masyarakat di tingkat distrik (kewedanaan) dan onderdistrik (kecamatan), khususnya di Jawa, pada masa Hindia Belanda. Badan itu disebut “kenaiban”.

Naib, yang biasa pula disebut “penghulu naib”, diangkat oleh bupati atas usul penghulu. Jabatan itu secara struktural berada di bawah jabatan penghulu, yang disebut juga “penghulu kepala”.

Penghulu bertugas mengurus masalah keagamaan di tingkat kabupaten dan diangkat oleh residen atas usul bupati. Di sebagian kabupaten, tugas ini dipegang adjunct (wakil) penghulu. Khusus di daerah swapraja Surakarta dan Yogyakarta, tugas ini dipegang kanjeng penghulu yang diangkat raja.

Dalam melaksanakan tugasnya, penghulu dan naib dibantu para pegawai kemasjidan, seperti khatib (juru khotbah), katib (juru tulis), modin (muazin, juru azan), dan marbut (murabbi, perawat masjid).

Jabatan penghulu sudah ada sejak berkembangnya agama Islam di Pulau Jawa, tetapi pembagian jabatan penghulu untuk distrik dan onderdistrik dengan sebutan naib baru ada sekitar abad ke-19 dan secara resmi mendapat tempat dalam perundang-undangan pada 1882 dengan keluarnya Staatsblad 1882 No. 152.

Tugas para naib di kewedanaan dan kecamatan adalah sebagai pegawai pencatat nikah. Mereka juga bertindak sebagai wali hakim dalam keadaan seorang wanita tidak mempunyai wali atau walinya ’adal (tidak mau bertindak sebagai wali).

Selain itu, mereka juga pembantu penghulu dalam masalah keagamaan lainnya, seperti guru ordonnantie (Stbl. 1925 No. 219), yaitu pengawas terhadap pengajian, madrasah, dan pesantren; juga turut serta dalam urusan haji (pelgrims-ordonnantie, Stbl. 1930 No. 386), dan yang lainnya di tingkat kewedanaan dan kecamatan.

Dalam melaksanakan tugasnya, para naib tidaklah mendapat gaji dari pemerintah Hindia Belanda; mereka hanya memperoleh penghasilan dari biaya pencatatan nikah, talak, dan rujuk. Demikian pula dengan penghulu.

Tetapi penghulu, dalam kedudukannya sebagai adviseur de landraad (penasihat pada pengadilan negeri), mendapat tunjangan dari pemerintah Hindia Belanda.

DAFTAR PUSTAKA
Latif, Djamil. Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Lev, Daniel S. Peradilan Agama Islam di Indonesia, terj. Jakarta: Intermasa, 1980.
Noeh, Zaini Ahmad dan Abdul Basit Adnan. Sejarah Pengadilan Agama Islam di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
Pijper, G.F. Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX, terj. Jakarta: UI Press, 1987.
Yunasril Ali