Salah satu cabang ilmu bahasa Arab yang mempelajari kaidah susunan kata dalam kalimat bahasa Arab disebut ilmu nahu. Cabang ilmu ini memfokuskan kajian pada keadaan baris huruf terakhir kata dalam bahasa Arab karena kedudukan kata dalam kalimat berubah.
Nama lain dari ilmu nahu ialah ilmu qawa’id (ilmu tata bahasa Arab). Penyebutan ilmu nahu ini sering dikaitkan dengan saraf (menjadi nahu saraf), suatu cabang ilmu yang mempelajari perubahan bentuk kata bahasa Arab.
Objek kajian ilmu nahu ialah baris akhir suatu kata dalam kalimat bahasa Arab dan perubahan yang terjadi karena perubahan kedudukannya dalam kalimat, dengan menggunakan tanda (‘alamat) tertentu.
Dengan adanya perubahan ini, dalam ilmu nahu dikenal berbagai istilah, seperti marfu‘ (yang dibaca dengan bacaan yang sama dengan bunyi vokal /u/), mansub (yang dibaca dengan bacaan yang sama dengan bunyi vokal /a/), majrur (yang dibaca dengan bacaan yang sama dengan bunyi vokal /i/), d
an majzum (yang dibaca dengan bacaan konsonan yang tidak diiringi bunyi /a/, /u/, /i/) dengan tanda antara lain dammah (berbunyi /u/), fathah (berbunyi /a/), kasrah (berbunyi /i/), dan sukun (tanda baca mati).
Istilah lain yang juga dikenal dalam ilmu nahu ini ialah mu‘rab dan mabni. Istilah mu‘rab digunakan untuk kata-kata yang selalu mengalami perubahan baris huruf akhirnya karena perubahan kedudukannya dalam kalimat, sedangkan istilah mabni digunakan untuk kata-kata yang keadaan baris huruf akhirnya tidak pernah berubah, walaupun terjadi perubahan kedudukannya dalam kalimat.
Ada beberapa faedah yang dapat diambil dari mempelajari ilmu nahu:
(1) untuk memahami susunan kata Arab yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, yang merupakan dua sumber utama hukum Islam; dengan ilmu nahu ini seseorang akan dapat memahami agama (yang ditulis dalam bahasa Arab) secara baik dan benar;
(2) untuk dapat menyusun kata Arab dalam susunan yang benar dan sesuai dengan kaidahnya;
(3) untuk dapat menentukan kedudukan kata dan memahami pengertian suatu kalimat dengan benar;
(4) untuk dapat menyusun kalimat bahasa Arab menurut susunan dan bentuk yang benar.
Terdapat perbedaan pendapat ulama nahu tentang orang pertama yang meletakkan dasar ilmu nahu. Ada yang mengatakan Abu al-Aswad ad-Du’ali, ada juga yang mengatakan Nasr bin Asim, dan ada lagi yang mengatakan Abdurrahman bin Hurmuz.
Namun demikian, kebanyakan ulama berpendapat bahwa peletak pertama dasar ilmu ini ialah Abu al-Aswad Zalim bin Sufyan ad-Du’ali (w. 69 H/688 M), seorang ahli qiraah Basrah.
Ada beberapa faktor yang mendorong ulama Basrah untuk menyusun dasar ilmu ini. Di antaranya adalah faktor agama, nasionalisme Arab, dan faktor sosiologis. Faktor agama sangat berkaitan erat dengan keinginan yang kuat dari ulama untuk menyampaikan nas-nas Al-Qur’an itu dengan baik dan benar agar terlepas dari kesalahan yang dapat menimbulkan salah paham terhadap ayat Al-Qur’an.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa ada beberapa ayat yang sudah dibaca secara salah oleh sebagian orang. Faktor kedua ialah faktor nasionalisme Arab. Faktor ini berkaitan erat dengan keinginan orang Arab untuk memperkuat kedudukan bahasa Arab di tengah pembaurannya dengan bahasa non-Arab dan adanya kekhawatiran akan kepunahan dan kehancuran bahasa Arab dalam bahasa non-Arab.
Faktor ketiga, faktor sosiologis, berkaitan dengan keadaan masyarakat yang sudah sangat membutuhkan pemahaman bahasa Al-Qur’an dan bahasa Arab, baik dari segi i‘rab (perubahan harakat huruf terakhir) dan tasrif (perubahan bentuk kata).
Ilmu nahu lahir, tumbuh, dan berkembang di Basrah, yang pada periode berikutnya tersebar ke beberapa negeri Islam lainnya, seperti Kufah, Baghdad, Andalusia, dan Mesir. Kelahiran ilmu nahu ini tidak dapat dilepaskan dari peranan Abu al-Aswad ad-Du’ali.
Ia bersama dua orang muridnya, Nasr bin Asim dan Abdurrahman bin Hurmuz, baru sampai pada usaha memberi harakat bagi huruf terakhir kata-kata yang terdapat dalam Al-Qur’an dan memberi titik bagi huruf hija’iyah (abjad) yang harus memiliki titik (al-huruf al-mu‘jamah) dalam mushaf (kitab) Al-Qur’an agar dapat dibedakan dari huruf hija’iyah yang tidak memiliki titik (al-huruf al-muhmalah).
Dasar ilmu nahu yang telah diletakkan itu kemudian dikembangkan ulama berikutnya yang juga merupakan murid mereka, seperti Ibnu Abu Ishaq (w. 117 H/735 M), ulama nahu pertama di Basrah yang telah meletakkan kaidah nahu.
Lalu disusul dua orang muridnya, Isa bin Umar as-Saqafi dan al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi al-Basri (100 H/718 M–175 H/791 M), yang telah berusaha memperkuat kaidah dasar sebelumnya.
Al-Khalil bin Ahmad sendiri adalah ulama yang mengembangkan kaidah dasar yang ada dengan mempertajam nahu, memperkuat dasar dan fondasinya, membuat kaidah yang berhubungan dengan pembentukan (abniyah), pemecahan (isytiqaq), perubahan (i‘lal), dan penggantian (ibdal) dalam nahu,
di samping telah memperbaiki teori ‘awamil (kata-kata yang mengubah keadaan kata yang lain) dan ma‘mulat (kata-kata yang berubah karena dipengaruhi kata sebelumnya) dan menetapkan kaidah sama‘i (berdasarkan kebiasaan dan sifat bahasa yang digunakan pemakai bahasa ibu), ta‘lil (perubahan kata yang disebabkan alasan tertentu), dan qiyas (analogi bentuk kata).
Pengembangan ilmu nahu ini dilakukan pula oleh muridnya, di antaranya Abu Basyar Amr bin Usman bin Qanbar yang dikenal dengan nama Imam Sibawaih. Ia telah menyusun suatu buku nahu dengan judul al-Kitab, yang oleh kebanyakan ulama dianggap sebagai kitab utama ilmu nahu (Qur’an an-Nahwi), yang belum ada taranya baik sebelum maupun sesudahnya.
Munculnya banyak ahli nahu di Basrah tidak terlepaskan dari peranan al-Madrasah al-Basriyyah (Madrasah khusus yang dibentuk untuk membina kader nahu di Basrah) yang didirikan pada masa al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Dari madrasah ini lahir beberapa ulama terkenal lainnya, seperti al-Akhfasy al-Awsat, al-Mazini, dan al-Kisa’i.
Di Kufah ilmu nahu ini berkembang melalui Ja’far ar-Ruwasi dan Mu‘az al-Harra’. Ar-Ruwasi belajar nahu di Basrah dari Isa bin Umar dan Abu Amr bin al-Alai. Untuk pegangan muridnya ar-Ruwasi menulis sebuah buku nahu dengan judul al-Faisal.
Mu‘az al-Harra’ pun mendapatkan ilmu ini di Basrah. Untuk mengembangkan ilmu itu mereka membina kader baru pewaris ilmu ini kepada generasi berikutnya. Dari sini lahirlah ulama nahu Kufah, seperti al-Kasa’I dan muridnya, al-Farra‘.
Keduanya telah menyusun satu bentuk nahu dan meletakkan dasar yang berbeda dengan dasar nahu Basrah. Mereka membentuk madrasah khusus yaitu Madrasah Kufiah sebagai tempat pengaderan ulama nahu Kufah.
Tokoh nahu Kufah yang lahir dari madrasah ini antara lain Hamzah Muhammad bin Sa’dan ad-Darir, Ali bin Hazim al-Lihyani, Hisyam bin Mu‘awiyah ad-Darir (murid al-Kasa’i), dan Sa’lab, murid al-Farra‘.
Pengaruh ilmu nahu di Basrah dan Kufah telah sampai pula ke Baghdad. Hal ini ditandai oleh munculnya beberapa tokoh nahu yang terkenal di Baghdad, seperti Abu Ali al-Farisi dan muridnya, yaitu Ibnu Jinni, Ibnu Kaisan, Ibnu Syuqair, dan Ibnu Khayyat.
Pengembangan nahu di negeri Baghdad ini dilakukan melalui Madrasah Baghdadiyyah. Madrasah Baghdad ini pada dasarnya juga diilhami oleh dasar nahu yang dikembangkan di Basrah dan Kufah. Di antara tokoh nahu di Baghdad ada yang condong kepada pendapat ulama nahu Basrah dan ada pula yang condong kepada ulama nahu Kufah.
Usaha mereka pada umumnya diarahkan untuk mengadakan seleksi di antara pendapat dari kedua madrasah sebelumnya, Kufah dan Basrah, dan melakukan ijtihad untuk mengeluarkan pendapat baru. Generasi ulama nahu Baghdad terakhir adalah az-Zamakhsyari, Ibnu Syajari, Abu al-Barakat al-Anbari, Ibnu Ya’isy, dan ar-Rida al-Istirabadi.
Di Andalusia pun berkembang kegiatan ilmu nahu. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai tokoh dan ahli bahasa yang mengajar prinsip bahasa Arab kepada para pemuda di kota Andalusia pada masa Bani Umayah (139 H/756 M–423 H/1031 M).
Ahli nahu pertama di Andalusia ialah Jaudi bin Usman al-Maurani, yang sebelumnya pernah belajar pada al-Kasa’i dan al-Farra‘. Ia merupakan orang pertama yang memasukkan buku-buku ahli nahu Kufah ke negerinya dan yang pertama menyusun buku nahu di Andalusia. Ulama yang semasa dengannya ialah Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah.
Perhatian ulama Andalusia terhadap nahu Kufah lebih dahulu daripada nahu Basrah. Nahu Kufah dibawa masuk ke Andalusia sekitar pertengahan abad ke-2 H (abad ke-8 M) oleh Jaudi bin Usman al-Maurani, sedang nahu Basrah dibawa ke Andalusia sekitar akhir abad ke-3 H (abad ke-9 M) oleh al-Afusyniq Muhammad bin Musa bin Hasyim.
Banyak ulama yang mengembangkan ilmu nahu di Andalusia. Di antara mereka ialah Muhammad bin Yahya al-Mahlabi (w. 353 H/964 M), Ibnu Bazisi (w. 528 H/1133 M), as-Suhaili (w. 581 H/1185 M), Ibnu Hisyam al-Khadrawi (w. 646 H/1248 M), dan Ibnu Malik (w. 672 H/1273 M).
Di sini ilmu nahu berkembang terus sampai sekitar akhir abad ke-8 H (abad ke-14 M) yang ditandai dengan tampilnya beberapa ulama, seperti Ibnu Abu ar-Rabi’ (w. 688 H/1290 M) dan Ibnu Hayyan (w. 745 H/1347 M).
Di Mesir pun digalakkan usaha dalam bidang pengembangan nahu dengan jalan mengajarkannya di beberapa kota di negeri ini, seperti Fustat dan Iskandariyah. Prinsip bahasa Arab diajarkan supaya Al-Qur’an dapat dibaca dengan baik dan benar.
Ulama nahu pertama yang membawa nahu ke Mesir ialah Wallad bin Muhammad at-Tamimi yang berasal dari Basrah, tetapi tumbuh dan besar di Fustat. Ia adalah murid al-Khalil bin Ahmad.
Ketika kembali ke Mesir, ia membawa beberapa kitab al-Khalil dan mengajarkannya kepada muridnya. Ulama nahu yang semasa dengannya ialah Abu al-Hasan al-A’azzu yang juga murid al-Kasa’i.
Ad-Dinauri Ahmad bin Ja’far adalah salah seorang ulama generasi kedua di Mesir, yang sebelumnya adalah murid al-Mazini dan membawa al-Kitab karangan Imam Sibawaih. Buku yang disusunnya adalah al-Muhadzdzab (Yang Terdidik).
Ulama nahu yang terkenal yang mengembangkan nahu di Mesir adalah Abu Bakr al-Adfawi (w. 388 H/998 M), Ali bin Ibrahim (w. 430 H/1038 M), Ibnu Babsyad Tahir bin Ahmad (w. 469 H/1076 M), Ibnu Barri al-Misri (w. 582 H/1186 M), Ibnu Hajib (w. 646 H/1248 M), dan Ibnu Hisyam (w. 761 H/1360 M).
Di antara ulama nahu generasi terakhir di Mesir ialah Ibnu Aqil Abdullah bin Abdur Rahman (w. 769 H/1368 M), Ibnu Sani’ (w. 779 H/1377 M), ad-Damamimi (w. 837 H/1434 M), as-Suyuti (w. 911 H/1505 M), dan al-Asymuni (w. 929 H/1521 M).
Ulama generasi terakhir ini tidak lagi membuat kaidah-kaidah baru ilmu nahu, tetapi berusaha mensyarah (memberi penjelasan) dan membuat hasyiyyah (semacam komentar) terhadap kitab-kitab nahu yang ditulis ulama sebelum mereka.
Dari sejarah hidup ulama yang mengembangkan ilmu nahu ini tampak bahwa mereka adalah ahli-ahli qiraah (qurra’) yang sangat menaruh perhatian pada usaha untuk melestarikan bacaan Al-Qur’an yang baik.
Di samping itu, mereka juga adalah fakih (ahli fikih), mufasir (ahli tafsir), dan muhaddits (ahli hadis). Karena mereka adalah qurra’, tujuan utama pengajaran ilmu nahu ialah untuk memberikan pengetahuan tentang membaca Al-Qur’an secara baik dan benar.