Nahdlatul Ulama

(Ar.: Nahdah al-‘Ulama’)

Organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia adalah Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344/31 Januari 1926 atas prakarsa KH Abdul Wahab Hasbullah (1888–1971) dan KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871–1947).

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) berkedudukan di ibukota negara, Jakarta. NU berakidah Islam menurut paham Ahlusunah waljamaah dan menganut empat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali). Asasnya adalah Pancasila.

Tujuannya adalah memperjuangkan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlusunah waljamaah dan menganut empat mazhab fikih di tengah kehidupan di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila.

Dalam merealisasi tujuannya, NU melakukan berbagai upaya. Di bidang keagamaan, organisasi ini mengusahakan terlaksananya ajaran Islam menurut paham Ahlusunah waljamaah dalam masyarakat dengan melaksanakan amar makruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan) serta meningkatkan ukhuwah islamiah (persaudaraan Islam).

Di bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, NU mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan berdasarkan agama Islam untuk membina manusia muslim yang takwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas, terampil, berkepribadian, serta berguna bagi agama, bangsa, dan negara.

Di bidang sosial, NU mengusahakan terwujudnya keadilan sosial dan hukum di segala lapangan bagi rakyat untuk menuju kesejahteraan umat di dunia dan keselamatan di akhirat. Di bidang ekonomi, NU mengusahakan terciptanya pembangunan ekonomi yang meliputi berbagai sektor dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya koperasi.

Lambang organisasi NU adalah gambar bola dunia yang dilingkari tali tersimpul dan dikelilingi sembilan bintang: lima melingkar di atas garis khatulistiwa (satu yang terbesar di bagian tengah atas) dan empat lainnya di bawah khatulistiwa, dengan tulisan Nahdah al-‘Ulama’ berhuruf Arab dari sebelah kanan bola dunia ke kiri. Semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau.

Keanggotaan NU terdiri atas anggota biasa dan anggota kehormatan. Susunan kepengurusan NU terdiri atas Mustasyar (Dewan Penasihat), Syuriah (Pimpinan Tertinggi NU), dan Tanfidziyah (Pelaksana Harian NU).

Tingkat kepengurusannya terdiri atas Pengurus Besar (PB) untuk tingkat pusat, Pengurus Wilayah (PW) untuk tingkat provinsi, Pengurus Cabang (PC) untuk tingkat kabupaten/kota madya, Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) untuk tingkat kecamatan, dan Pengurus Ranting (PR) untuk tingkat desa/kelurahan.

Pengangkatan pengurus dilakukan dalam waktu 5 tahun bagi Pengurus Besar, 4 tahun bagi Pengurus Wilayah, 3 tahun bagi Pengurus Cabang, 3 tahun bagi Pengurus Majelis Wakil Cabang, dan 3 tahun bagi Pengurus Ranting.

Pengurus Besar sendiri terdiri atas Mustasyar Pengurus Besar, Pengurus Besar Harian Syuriah, Pengurus Besar Harian Tanfidziyah, Pengurus Besar Lengkap Syuriah, Pengurus Besar Lengkap Tanfidziyah, dan Pengurus Besar Pleno.

Kekuasaan tertinggi organisasi dipegang muktamar. Muktamar diadakan sekali dalam 5 tahun untuk membicarakan dan merumuskan:

(1) masa’il diniyyah (masalah keagamaan);

(2) pertanggungjawaban kebijaksanaan Pengurus Besar;

(3) program dasar NU untuk jangka waktu 5 tahun;

(4) masalah yang bertalian dengan agama, umat, dan mas‘alah ‘ammah (masalah yang bersifat umum);

(5) anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART); dan (

6) pemilihan Pengurus Besar.

Muktamar dihadiri oleh Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Cabang. Instansi permusyawaratan tertinggi setelah muktamar adalah konferensi besar. Konferensi besar bertugas membicarakan pelaksanaan keputusan muktamar, mengkaji perkembangan organisasi serta peranannya di tengah masyarakat, dan membahas masalah keagamaan dan kemasyarakatan.

Setelah itu, ada musyawarah nasional alim ulama, yang dilaksanakan satu kali dalam setiap satu periode kepengurusan oleh Pengurus Besar Syuriah, dan dihadiri tokoh ulama Ahlusunah waljamaah. Di tingkat wilayah, cabang, dan anak cabang dilaksanakan masing-masing konferensi wilayah, konferensi cabang, dan konferensi anak cabang, sedangkan di tingkat ranting hanya ada rapat anggota.

NU, selain memiliki AD dan ART, juga mempunyai pedoman pokok organisasi, yaitu:

(1) Nilai Dasar Jamiah NU tentang hakikat keberadaan NU sebagai gerakan yang berupaya mengantar umatnya untuk dekat dengan Tuhannya. NU sebagai gerakan yang meliputi semua dimensi kehidupan mengarah pada baldatun tayyibah wa Rabbun gafur (terwujudnya negara yang aman, makmur, dan mendapat pengampunan dari Tuhan) dan bertujuan mencapai ‘izz al-Islam wa al-muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin).

Selain itu, NU juga meyakini ulama sebagai pewaris Nabi SAW dalam konteks pergerakan dan Ahlusunah waljamaah sebagai paradigm dan kekuatan doktrinal.

(2) Pola Dasar Perjuangan NU (Khittah 1926), yaitu wawasan keagamaan yang sudah melembaga dan membudaya sehingga merupakan rangkaian perwatakan yang membentengi NU dari segala goncangan. Dalam Khittah NU 1926 dijelaskan bahwa NU didirikan karena motif keagamaan, bukan politik, ekonomi, dan sebagainya.

NU berlandaskan agama sehingga segala sikap, tingkah laku, dan karakteristik perjuangannya selalu disesuaikan dan diukur dengan norma hukum dan ajaran agama. Cita-cita keagamaan NU adalah ‘izz al-Islam wa al-muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin) menuju rahmatan li al-‘alamin (rahmat bagi seluruh semesta alam).

Kegiatan NU diarahkan pada bidang yang langsung berhubungan dengan keagamaan, seperti masalah ‘ubudiyah (ibadah), mabarrat (sosial), dakwah, ma‘arif (ilmu pengetahuan), dan muamalah (sosial kemasyarakatan).

(3) Pola Pengembangan NU Jangka Panjang, meliputi tujuan, landasan, dasar pengembangan, dan program umum. Tujuannya adalah mewujudkan cita-cita NU. Landasan pembinaan dan pengembangan NU adalah akidah Islam Ahlusunah waljamaah, Pancasila, dan UUD 1945, serta peraturan organisasi.

Dasar pengembangan NU meliputi segi rohani, yaitu sikap dasar tawadu‘ (rendah hati), tawasuth (sederhana, pertengahan), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang), istiqamah (teguh pendirian), dan amar makruf nahi munkar, serta segi jasmani, yaitu sikap kepeloporan, kebersamaan, penyesuaian diri terhadap tuntutan zaman, kesinambungan, dan kemandirian.

Program kerja NU meliputi tiga belas bidang garapan, yaitu: diniyyah (keagamaan), pendidikan dan kebudayaan, dakwah, mabarrat (sosial), perekonomian, tenaga kerja, pertanian dan nelayan, generasi muda, kewanitaan, pengembangan sumber daya manusia, penerbitan dan informasi, kependudukan, dan lingkungan hidup.

Untuk merealisasi program yang telah dicanangkan, NU membentuk perangkat organisasi berupa lajnah (panitia atau lembaga), lembaga, dan badan otonom.

Lajnah adalah perangkat organisasi NU yang berfungsi melaksanakan program NU, yang memerlukan penanganan khusus karena sifat program tersebut. NU mempunyai 7 lajnah, yaitu:

(1) Lajnah Falakiyyah (Lembaga Falak);

(2) Lajnah at-Ta’lif wa an-Nasyr (Lembaga Penerbitan dan Publikasi);

(3) Lajnah Kajian dan Pengembangan SDM (Lakpesdam);

(4) Lajnah Waqfiyah (Lembaga Wakaf);

(5) Lajnah Penyuluhan dan Bantuan Hukum;

(6) Lajnah Zakat, Infak, dan Sedekah; serta

(7) Lajnah Bahts al-Masa’il ad-Diniyyah (Lembaga Pengkajian Masalah Keagamaan).

Lembaga adalah perangkat NU yang berfungsi sebagai pelaksana kebijaksanaan NU, khususnya yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Terdapat 12 lembaga dalam NU, yaitu:

(1) Lembaga Dakwah NU, yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang penyiaran agama Islam Ahlusunah waljamaah;

(2) Lembaga Pendidikan Ma’arif, yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang pendidikan dan pengajaran, baik formal maupun non-formal;

(3) Lembaga Sosial Mubarrat NU, yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang sosial dan kesehatan;

(4) Lembaga Perekonomian NU, yang berfungsi menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan ekonomi warga NU;

(5) Lembaga Pembangunan dan Pengembangan Pertanian NU, yang berfungsi menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan pertanian, peternakan, dan perikanan;

(6) Lembaga Rabitah al-Ma‘ahid al-Islamiyyah (Ikatan Pesantren Islam), yang berfungsi menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan pondok pesantren;

(7) Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU, yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang kemaslahatan keluarga, kependudukan, KB, dan lingkungan hidup;

(8) Lembaga Hai’ah Ta‘mir al-Masjid (Kemakmuran Masjid), yang berfungsi menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan dan kemakmuran masjid;

(9) Lembaga Misi Islam, yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang pengembangan dan penyiaran Islam Ahlusunah waljamaah di daerah yang bersifat khusus;

(10) Ikatan Seni Hadrah Indonesia, yang bertugas melaksanakan kebijakan NU di bidang pengembangan seni hadrah;

(11) Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi), yang berfungsi menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan kesenian dan budaya selain seni hadrah; serta

(12) Lembaga Pencak Silat Pagar Nusa, yang bertugas melaksanakan kebijakan NU di bidang pengembangan olahraga bela diri pencak silat.

Badan otonom adalah perangkat organisasi NU yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan NU, khususnya yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Kepengurusan badan otonom diatur menurut Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga masing-masing serta berkewajiban menyesuaikan akidah, asas, tujuan, dan usahanya dengan NU.

NU mempunyai sembilan badan otonom, yaitu:

(1) Muslimat NU, organisasi wanita NU;

(2) Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), organisasi pemuda NU;

(3) Fatayat NU, organisasi pemudi NU;

(4) Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU), organisasi remaja putra NU;

(5) Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), organisasi remaja putri NU;

(6) Jam‘iyyah Ahl ath-tariqah al-Mu‘tabarah an-Nahdiyyah, organisasi pengikut Tarekat Muktabarah di kalangan NU;

(7) Jam‘iyyah al-Qurra’ wa al-huffaz, organisasi qari dan penghafal Al-Qur’an;

(8) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama; dan

(9) Ikatan Sarjana Islam Indonesia. Berikut ini diuraikan secara lebih rinci beberapa dari perangkat organisasi NU.

Lakpesdam. Salah satu perangkat NU yang bertugas merencanakan dan menyelenggarakan program pendidikan, latihan, dan pengembangan masyarakat dalam rangka pelaksanaan khidmat warga nahdiyin (NU) di dalam proses pembangunan bangsa Indonesia disebut Lakpesdam. Lembaga ini didirikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada 16 Rajab 1405/7 April 1985 di Jakarta.

Tujuan Lakpesdam adalah:

(1) mengembangkan sumber daya manusia dan alam lingkungan ke arah terwujudnya kecerdasan dan kesejahteraan hidup masyarakat;

(2) mendorong tumbuhnya gagasan, pemikiran, percobaan, dan kerja rintisan untuk menggali model alternatif di bidang pendidikan dan pengembangan masyarakat; dan

(3) membantu mengembangkan prasarana dan lingkungan sosial-psikologis yang mampu merangsang dan menggerakkan swakarsa dan swadaya masyarakat untuk melakukan usaha perbaikan lingkungan dan kualitas hidup manusia, baik sebagai hamba Allah (hablun min Allah) maupun anggota masyarakat (hablun min an-nas).

Lajnah ini mempunyai fungsi utama sebagai wadah untuk proses aktualisasi nilai agama serta gagasan kreatif menjadi suatu kegiatan nyata yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Selain itu, lajnah ini juga berfungsi sebagai forum komunikasi serta pengkajian berbagai masalah sosial dan keagamaan yang muncul di tengah masyarakat, kemudian merumuskannya dalam bentuk program serta kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.

Fungsi lain lajnah ini adalah:

(1) pusat pendidikan dan latihan untuk tenaga penggerak pengembangan sosial ekonomi masyarakat;

(2) pelayan masyarakat di bidang pendidikan serta pengembangan masyarakat melalui kegiatan konsultasi, bimbingan, dan penyuluhan; dan

(3) alat daya dukung dan fasilitator bagi terlaksananya program pengembangan sumber daya manusia di kalangan masyarakat luas, khususnya kalangan NU.

Lakpesdam memiliki tiga unit pelaksana program. Masing-masing unit pelaksana program tersebut bertempat di Jakarta, Surabaya, dan Makassar (dulu: Ujungpandang).

LKK-NU. Perangkat LKK-NU bertujuan memberikan bimbingan serta pembinaan keluarga dan masyarakat agar memiliki pengertian, kesadaran, juga sikap yang bertanggung jawab terhadap eratnya hubungan keluarga maslahat dengan aspek kehidupan manusia secara menyeluruh.

Lembaga ini didirikan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada 7 Desember 1977 di Jakarta sebagai kelanjutan dari Yayasan Kesejahteraan Muslimat yang telah bergerak khusus menangani masalah kependudukan dan keluarga berencana sejak 1969.

Konsep keluarga maslahat yang hendak diwujudkan NU melalui lembaga ini adalah keluarga yang mempunyai suami dan istri yang saleh, serta anak-anak yang baik dalam pengertian berkualitas, berakhlak, sehat rohani jasmani, serta berkecukupan dalam hal pangan, sandang, dan papan). Keluarga maslahat juga memiliki lingkungan yang baik atau keluarga sehat, sejahtera, dan berkualitas.

Muslimat NU. Organisasi wanita NU ini menjadi badan otonom NU, yang lahir pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya (15–21 Juni 1940) dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM). Pada waktu itu organisasi ini masih menjadi bagian dari NU, belum berdiri sendiri.

Pada Muktamar NU ke-16 tanggal 29 Maret 1946 di Purwokerto, Jawa Tengah, Nahdlatul Ulama Muslimat disahkan menjadi organisasi yang berdiri sendiri, yakni badan otonom NU. Namanya pun berubah menjadi Muslimat NU.

Muslimat NU berasaskan Pancasila. Perjuangannya berdasarkan Ahlusunah waljamaah, yaitu berpegang pada ajaran Islam yang dikembangkan oleh 4 mazhab fikih yang bersumber dari Al-Qur’an, hadis, ijmak, dan kias.

Tujuan Muslimat NU adalah sebagai berikut:

(1) terwujudnya wanita Islam yang bertakwa kepada Allah SWT, berilmu, beramal, cakap, dan bertanggung jawab serta berguna bagi agama, nusa, dan bangsa;

(2) terwujudnya wanita Islam yang sadar akan kewajiban dan haknya menurut ajaran Islam, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok anggota masyarakat; dan

(3) terlaksananya jamiah NU di kalangan kaum wanita sehingga terwujud masyarakat adil makmur yang merata dan diridai Allah SWT.

Dalam usaha merealisasi tujuannya, Muslimat NU melakukan berbagai kegiatan, antara lain:

(1) mempelajari dan memperdalam serta mengamalkan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya;

(2) mempersatukan gerak langkah kaum wanita umumnya dan muslimat Ahlusunah waljamaah pada khususnya dalam mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridai Allah SWT;

(3) melaksanakan nilai budi pekerti utama dalam kehidupan sehari-hari; (4) meningkatkan kualitas wanita Indonesia untuk memperkuat rasa tanggung jawab terhadap agama, bangsa, dan negara;

(5) mengusahakan agar wanita Indonesia menjadi istri dan ibu yang baik guna pertumbuhan bangsa yang taat beragama; (

6) bergerak aktif dalam lapangan peribadatan, sosial/kesehatan/KLH, pendidikan, penerangan/dakwah, ekonomi/koperasi, dan usaha kemasyarakatan lainnya; dan

(7) membina kerjasama dengan organisasi wanita dan lembaga lain.

Lambang Muslimat NU dilukiskan dalam bentuk sebuah bola dunia yang dilingkari tali, dikelilingi lima bintang yang terletak di atas garis khatulistiwa dan empat bintang di bawah garis khatulistiwa. Jumlah bintang seluruhnya ada sembilan.

Di atasnya tertulis kata “Muslimat”, sedangkan di ujung tali kiri dan kanan tertulis huruf “NU”. Lambang ini berwarna putih di atas dasar hijau dan padanya terdapat tulisan “Nahdlatul Ulama” dengan huruf Arab yang memanjang pada garis khatulistiwa.

Muslimat NU, selain memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, mempunyai pola dasar perjuangan Muslimat NU. Pola dasar tersebut meliputi beberapa dasar pengembangan, yaitu:

(1) perjuangan Muslimat NU sebagai khalifah fi al-ard (di bumi), yang meliputi (a) amanah insan ila rabbihi (tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya), (b) amanah insan ‘ala insan (tanggung jawab manusia terhadap sesama manusia), dan (c) amanah insan ‘ala nafsihi (tanggung jawab manusia terhadap dirinya sendiri);

(2) perjuangan Muslimat NU sebagai warga negara yang meliputi wawasan ukhuwah islamiah (persaudaraan Islam), wawasan ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan setanah air), juga wawasan ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan kemanusiaan); dan

(3) perjuangan Muslimat NU sebagai warga nah«iyyah di bidang kewanitaan.

Gerakan Pemuda Ansor (GP ANSOR). Organisasi pemuda NU ini bernaung di bawah jamiah NU sebagai badan otonom. GP Ansor didirikan pada 14 Desember 1949 di Surabaya sebagai kelanjutan dari Ansor Nahdlatul Ulama (ANU) yang didirikan pada 24 April 1934.

Kelahiran dan perkembangan GP Ansor tidak dapat dilepaskan dari sejarah kelahiran induknya, NU. Pada 1924 di Surabaya berdiri suatu organisasi pemuda yang diberi nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) di bawah pimpinan Abdullah Ubaid (ketua) dan kawan-kawannya. Kegiatan utamanya adalah dakwah keliling, latihan kepemimpinan, dan latihan bela diri.

Pada tahun 1930, ketika jamiah NU sudah terbentuk, Syubbanul Wathan melebur diri menjadi Nahdlatusy Syubban. Setelah itu namanya berubah menjadi Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama (PPNU) pada 1931.

Setahun kemudian, kata “Persatuan” dihilangkan dan namanya menjadi Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU), dan kemudian berubah menjadi Ansor Nahdlatul Ulama (ANU). Pada Muktamar NU ke-9, 21–26 April 1934 di Banyuwangi, ANU diterima menjadi bagian (departemen) Pemuda NU.

Pada masa pendudukan Jepang, hampir seluruh kekuatan ANU masuk tentara Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin. Setelah proklamasi, ANU yang tergabung dalam Hizbullah ikut serta dalam revolusi fisik melawan sisa-sisa tentara Jepang, Belanda, maupun Sekutu yang hendak kembali menjajah.

Selama revolusi fisik, ANU dibekukan. Akan tetapi, pada 1949 muncul ide dari Muhammad Chusaini, tokoh ANU Surabaya, untuk menghidupkan kembali ANU. Maka pada 14 Desember 1949 diadakanlah pertemuan yang dihadiri oleh semua tokoh ANU yang masih ada dan juga KH Wahid Hasyim, menteri Agama RIS waktu itu, yang menekankan pentingnya dihidupkan kembali ANU dengan alasan untuk:

(1) membentengi perjuangan umat Islam Indonesia, dan

(2) mempersiapkan diri sebagai kader penerus NU. Dalam pertemuan tersebut dicapai kesepakatan untuk menghidupkan kembali ANU dengan nama baru “Gerakan Pemuda Ansor” (GP Ansor).

Organisasi ini berasaskan Pancasila, berakidah Islam Ahlusunah waljamaah dan mengikuti empat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali); bersifat kepemudaan, kemasyarakatan, dan keagamaan; serta merupakan organisasi kader NU. Lambang yang dipakai adalah gambar segitiga sama sisi dengan garis tebal di sebelah luar dan tipis di sebelah dalam.

Di dalamnya terdapat bulan sabit yang dikelilingi 9 bintang, satu di antaranya yang terbesar terletak di atas bulan sabit dengan 5 garis sinar atas dan 3 bawah dengan tulisan “Ansor” di bawahnya, dan lukisan warna putih di atas warna hijau.

GP Ansor bertujuan:

(1) menegakkan ajaran Islam yang berakidah Ahlusunah waljamaah,

(2) mempersiapkan generasi muda Indonesia sebagai kader bangsa yang tangguh dan berkepribadian luhur, dan

(3) mengusahakan terbentuknya kehidupan masyarakat berdasarkan Islam untuk kesejahteraan rohani dan jasmani.

Usaha yang dilakukan adalah

(1) menyadarkan para pemuda Islam akan kewajibannya memperjuangkan cita-cita Islam,

(2) meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran,

(3) mempergiat pendidikan rohani dan jasmani dalam rangka mewujudkan masyarakat islamiah,

(4) membimbing dan membantu tegaknya kepanduan Ansor,

(5) meningkatkan kerjasama dengan organisasi pemuda lainnya di dalam maupun di luar negeri, dan

(6) meningkatkan kegiatan olahraga, kesenian, dan kemasyarakatan.

Dalam Ansor dikenal adanya “Banser”, yaitu Barisan Ansor Serba Guna, yang didirikan pada Kongres VII GP Ansor tahun 1968 di Jakarta. Tugasnya adalah (1) mengamalkan dan mengamankan ideologi gerakan serta mempertahankan dan menyelamatkan segala hasil perjuangan yang telah dicapai, dan (2) melaksanakan program perjuangan gerakan dan membantu pelaksanaan program pemerintah.

Fatayat NU. Organisasi pemudi (wanita muda) Islam ini merupakan salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama, yang didirikan pada 7 Rajab 1369/24 April 1950. Perintisannya dilakukan sejak 1940 oleh tiga serangkai, yaitu Murthasiyah (Surabaya), Khuzaimah Mansur (Gresik), dan Aminah (Sidoarjo).

Ketika berlangsung Muktamar NU ke-15 di Surabaya, putri NU dari berbagai cabang hadir dan mengadakan pertemuan sendiri. Pertemuan itu menyepakati pembentukan organisasi putri Nahdlatul Ulama Muslimat yang disingkat NUM. Mereka lalu mengajukan kepada Muktamar NU agar NUM dapat disahkan sebagai organisasi yang berdiri sendiri.

NU dapat menerima dan mengesahkannya sebagai bagian dari organisasi Muslimat NU. Dalam masa dua tahun, karena cabang organisasi putri NUM terus bertambah dan berkembang, mereka lalu meminta adanya pimpinan pusat sendiri.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merestui pembentukan pengurus pusat NUM yang dinamai Dewan Pimpinan Fatayat NU pada 26 Rabiulakhir 1939/14 Februari 1950. Selanjutnya Muktamar NU ke-18 pada 20 April–3 Mei 1950 di Jakarta secara resmi mengesahkan Fatayat NU menjadi salah satu badan otonom NU.

Pucuk pimpinan Fatayat NU pertama adalah Nihayah Bakri (Surabaya) sebagai ketua I dan Aminah Mansur (Sidoarjo) sebagai ketua II. Kepengurusan pada waktu itu hanya mempunyai dua bagian, yaitu bagian penerangan dan pendidikan.

Tujuan Fatayat NU adalah:

(1) membentuk pemudi atau wanita muda Islam yang bertakwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, beramal, cakap, dan bertanggung jawab, serta berguna bagi agama, nusa, dan bangsa;

(2) mewujudkan rasa kesetiaan terhadap asas, akidah, dan tujuan Nahdlatul Ulama dalam menegakkan syariat Islam; dan

(3) mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata serta diridai Allah SWT.

Usaha yang dilakukan untuk merealisasi tujuan tersebut adalah antara lain:

(1) menghimpun dan membina pemudi atau wanita muda Islam dalam organisasi Fatayat NU;

(2) meningkatkan mutu pendidikan, pengajaran, keterampilan, dan memperluas ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara;

(3) meningkatkan peranan wanita Indonesia dalam segala bidang kehidupan beragama, bernegara, dan bermasyarakat;

(4) mempertinggi budi (al-akhlaq al-karimah) dalam kehidupan sehari-hari;

(5) menjalankan kegiatan dan menjalin kerjasama yang menunjang syiar keagamaan dan kesejahteraan masyarakat; dan

(6) membina persahabatan dengan organisasi lain, terutama organisasi pemuda dan wanita.

Organisasi Fatayat NU bersifat keagamaan, kemasyarakatan, dan kekeluargaan. Asasnya adalah Pancasila. Akidahnya adalah akidah Islam menurut paham Ahlusunah waljamaah, mengikuti salah satu mazhab empat.

Lambang Fatayat NU adalah setangkai bunga melati tegak di atas dua helai daun dalam sebuah bintang besar yang dikelilingi delapan bintang kecil dengan dilingkari tali persatuan. Lambang ini dilukiskan dengan warna putih di atas dasar hijau.

Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU). IPNU adalah suatu organisasi remaja putra Nahdlatul Ulama dan merupakan salah satu badan otonom NU yang didirikan pada 20 Jumadilakhir 1373/24 Februari 1954 di Semarang.

IPNU berasaskan Pancasila dan berakidah Islam menurut paham Ahlusunah waljamaah yang mengikuti salah satu dari mazhab empat. Organisasi ini bersifat kekeluargaan dan kemasyarakatan yang berfungsi sebagai:

(1) wadah berhimpun putra NU untuk melanjutkan semangat, jiwa, dan nilai nahdiyyah;

(2) wadah komunikasi putra NU untuk menggalang ukhuwah islamiah serta mengembangkan syariat Islam; dan

(3) wadah kaderisasi putra NU untuk mempersiapkan kader bangsa.

IPNU bertujuan untuk membentuk putra bangsa yang bertakwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlak mulia, dan berwawasan kebangsaan, serta bertanggung jawab atas tegak dan terlaksananya syariat Islam Ahlusunah waljamaah dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Untuk mewujudkan tujuannya, IPNU melakukan usaha sebagai berikut:

(1) menghimpun dan membina putra NU dalam satu wadah organisasi;

(2) mempersiapkan kader intelektual sebagai penerus perjuangan bangsa; dan

(3) mengusahakan tercapainya tujuan organisasi dengan menyusun landasan perjuangan sesuai dengan perkembangan­ masyarakat.

Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). IPPNU adalah salah satu organisasi remaja yang menghimpun putri NU, yang didirikan pada 8 Rajab 1374/2 Maret 1955 di Solo, dan merupakan organisasi badan otonom NU. IPPNU berdasarkan Pancasila dan berakidah Islam menurut paham Ahlusunah waljamaah serta mengikuti salah satu mazhab empat.

IPPNU bersifat keagamaan, kekeluargaan, dan kemasyarakatan. IPPNU berfungsi sebagai:

(1) wadah berhimpun putri NU untuk melanjutkan semangat, jiwa, dan nilai nahdiyin;

(2) wadah komunikasi putri NU untuk menggalang ukhuwah islamiah dan syiar Islam, serta

(3) wadah kaderisasi putri NU untuk mempersiapkan kader bangsa.

Tujuan IPPNU adalah:

(1) terbentuknya kesempurnaan putri Indonesia yang berakhlak karimah dan bertakwa kepada Allah SWT;

(2) tegak dan berkembangnya syariat Islam menurut paham Ahlusunah waljamaah;

(3) terbentuknya kader bangsa yang berilmu dan berwawasan nasional; serta

(4) terbentuknya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Untuk mewujudkan tujuan itu IPPNU melakukan usaha:

(1) menghimpun dan membina putri Islam dalam satu wadah organisasi;

(2) mempersiapkan kader intelektual sebagai proses perjuangan bangsa;

(3) mengusahakan tercapainya tujuan organisasi dengan menyusun landasan program perjuangan sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan

(4) membina persahabatan dengan organisasi putri lslam pada khususnya dan organisasi lain pada umumnya selama tidak merugikan organisasi IPPNU.

Selain dari perangkat organisasi tersebut di atas, ada lagi organisasi yang tumbuh dari NU, yaitu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Organisasi ini berdiri pada 1960, namun pada 1971 keluar dari NU dan menjadi organisasi mahasiswa independen.

Sejarah NU. NU berdiri berkat perjuangan dan rintisan sejumlah ulama yang memiliki wawasan keagamaan yang sama.

Mereka adalah KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Muhammad Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang), KH Maksum (Lasem), KH Ridwan (Semarang), KH Nawawi (Pasuruan), KH Nahrawi Muchtar (Malang), KH Ridwan (Surabaya), K. Abdullah Ubaid (Surabaya), KH Alwi Abdul Aziz (Malang), KH Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon), KH Doro Muntaha (Madiun), KH Dahlan Abdulqahar (Kertosono), dan KH Abdullah Faqih (Gresik).

Dua orang pertama, KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Muhammad Hasyim Asy’ari, bertindak sebagai pemrakarsa.

Kelahiran NU tidak terlepas dari adanya reaksi terhadap situasi umat Islam ketika itu. Pada permulaan abad ke-20 umat Islam mengalami kegoncangan akibat kekalahan Usmani Turki pada Perang Dunia I yang dipandang sebagai kejatuhan dunia Islam. Hal ini terjadi karena keberadaan kekuasaan sultan Turki sebagai khalifah umat Islam itu telah diakui semua wilayah Islam, termasuk Indonesia.

Kegoncangan umat Islam ini diperburuk lagi oleh keputusan Majelis Nasional Agung Turki yang menghapuskan kekuasaan sultan pada 1922 dan jabatan khalifah pada 1924 di bawah pimpinan penguasa baru Turki, Mustafa Kemal Ataturk. Pada masa itu pengikut Gerakan Wahabi di bawah pimpinan Ibnu Sa‘ud berhasil menguasai wilayah Hijaz, tempat kedua kota suci: Mekah dan Madinah.

Dengan tujuan memurnikan paham tauhid umat Islam, gerakan ini telah memusnahkan semua yang dipandangnya menimbulkan bid’ah dan khurafat, seperti bangunan di atas kuburan, makam orang suci, dan kiswah (penutup Ka’bah), di samping menentang taklid kepada pendapat imam mazhab dan menyeru untuk kembali kepada Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW.

Hal ini menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap umat Islam, termasuk umat Islam Indonesia, terutama terhadap para ulama yang kuat berpegang pada tradisi dan melestarikan ajaran bermazhab.

Ketika itu di Indonesia muncul pula gerakan keagamaan yang dikenal dengan gerakan pembaru, sebagai akibat dari pengaruh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab dari Arab Saudi dan Muhammad Abduh di Mesir. Berkembangnya gerakan yang bersemboyankan kembali kepada Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW ini dirasakan para ulama tradisional sebagai “ancaman” terhadap kelestarian tradisi Ahlusunah waljamaah.

Sebagai reaksi terhadap penghapusan khilafah (kekhalifahan), pada 1924 Mesir memprakarsai diadakannya suatu kongres dengan mengundang wakil dari umat Islam sedunia, termasuk Indonesia.

Menanggapi undangan Mesir itu, umat Islam Indonesia mengadakan Kongres al-Islam II di Surabaya pada 4 Oktober 1924. Hasil kongres itu adalah terbentuknya Komite Khilafah sebagai delegasi yang mewakili Indonesia pada kongres di Mesir. Delegasi terdiri atas Wondoamiseno (Sarekat Islam) sebagai ketua dan KH Abdul Wahab Hasbullah (ulama tradisional) sebagai wakil ketua.

Akan tetapi beberapa bulan kemudian, Kongres al-Islam III yang diadakan di Surabaya pada 24–26 Desember 1924 mengubah susunan delegasi yang telah ditetapkan sebelumnya menjadi tiga orang, yaitu Suryopranoto (Sarekat Islam), H Fachruddin (Muhammadiyah), dan KH Abdul Wahab Hasbullah. Karena alasan keamanan, kongres itu tidak jadi diadakan dan delegasi itu pun tidak jadi berangkat.

Tidak berapa lama kemudian datang pula undangan dari Raja Abdul Aziz bin Sa‘ud untuk menghadiri kongres di Mekah. Untuk menetapkan susunan delegasi yang akan dikirim, umat Islam Indonesia mengadakan dua kali kongres al-Islam, masing-masing pada 1925 dan 1926. Kongres memutuskan dua orang sebagai wakil Indonesia, yaitu H Oemar Said Tjokroaminoto (Sarekat Islam) dan KH Mas Mansur (Muhammadiyah).

Dalam kongres tersebut KH Abdul Wahab Hasbullah, atas nama para ulama yang teguh memegang pendapat mazhab, mengemukakan usul untuk dibawa ke kongres Mekah. Yang terpenting di antaranya adalah memohon kepada Raja Abdul Aziz bin Sa‘ud agar kebiasaan agama yang telah menjadi tradisi, seperti membangun kuburan, membaca doa, dan ajaran mazhab, tetap dihormati.

Akan tetapi, usul itu tidak dapat diterima oleh kongres. Karena usul yang diajukannya ditolak, KH Abdul Wahab Hasbullah dan beberapa orang pendukungnya menyatakan diri keluar dari kongres dan selanjutnya membentuk suatu komite sendiri yang dinamakan Komite Hijaz. Komite inilah yang merupakan embrio kelahiran NU.

Komite Hijaz mengadakan rapat pertama pada 16 Rajab 1344/31 Januari 1926 (kemudian dicatat sebagai hari lahir NU) di kediaman KH Abdul Wahab Hasbullah, desa Kertopaten, Surabaya, yang dihadiri sejumlah ulama dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang kemudian dikenal sebagai pendiri NU.

Ada dua keputusan penting yang dihasilkan rapat itu. Pertama, mereka mengirim delegasi ke Mekah agar bertemu langsung dengan Raja Abdul Aziz bin Sa‘ud untuk menyampaikan usul seperti yang telah diutarakan KH Abdul Wahab Hasbullah dalam kongres al-Islam. Delegasi terdiri atas KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Asnawi Kudus, yang karena suatu halangan digantikan oleh Syekh Ahmad Ghunaim.

Kedua, mereka membentuk suatu jamiah untuk wadah persatuan para ulama dalam tugas memimpin umat menuju tercapainya ‘izz al-Islam wa al-muslimin (kejayaan Islam dan umatnya). Atas usul KH Alwi Abdul Aziz, jamiah itu bernama Jam‘iyyah Nahdah al-‘Ulama’. Organisasi ini kemudian mendapat pengakuan dari gubernur jenderal Hindia Belanda sesuai dengan suratnya pada 6 Februari 1930.

Ijtihad Politik. Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU tidak hanya menghadapi persoalan yang berkaitan dengan pendidikan, dakwah, ekonomi, dan lingkungan hidup, tapi juga tidak terlepas dari persoalan politik. Karena itu, NU tidak dapat menghindar dari kegiatan politik praktis.

Langkah politik NU, misalnya, sudah tampak sejak setelah tiga tahun resmi berdiri. Pada 1929, kalangan NU dengan tegas menolak rencana Hindia Belanda yang hendak melakukan perubahan pengaturan perkawinan umat Islam dari kepenghuluan (kantor urusan agama) ke pengadilan negeri.

Penolakan ini memperlihatkan munculnya praksis dan aksi politik yang berkaitan dengan konsep politik untuk mengaitkan konsep tata hukum dalam kerangka kenegaraan.

Begitu juga pada muktamar NU di Banjarmasin, Kalimantan, pada 1936. Kalangan NU memutuskan bahwa Indonesia merupakan darul islam (negeri Muslim). Keputusan ini didasarkan pada kenyataan, bahwa Indonesia pernah diperintah raja-raja Muslim dan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.

Umat Islam, termasuk juga NU, memiliki “keleluasaan” menjalankan syariat agama, sekalipun diperintah Hindia Belanda yang kafir. Dalam muktamar NU di Menes, Jawa Barat (1938), diperdebatkan usul kalangan nahdliyin asal Cabang Indramayu, Jawa Barat, agar NU menempatkan wakilnya di Volksraad (Dewan Rakyat).

Usul ini ditolak muktamirin dengan perbandingan suara 39:11, dan 3 abstain. Penolakan ini bukan karena substansi dewan yang dapat menyuarakan kepentingan umat, tapi adanya kekhawatiran akan tersedotnya kader-kader NU yang sangat terbatas padahal tenaga mereka masih sangat diperlukan untuk membina NU sendiri.

Orientasi politik praktis NU semakin kelihatan dengan terbentuknya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 21 September 1937. Keterlibatan NU dalam MIAI berdampak pada meningkatnya orientasi para pemimpin NU dari persoalan keagamaan dan sosial ke persoalan politik.

Pada November 1943 terjadi pembubaran MIAI dan pembentukan Masyumi oleh Jepang. NU dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam yang diakui Jepang, menjadi inti Masyumi. Secara teoretis, Masyumi memang bukan organisasi politik, namun berfungsi setengah politik.

Tokoh-tokoh NU juga terlibat dan menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kebijakan pemerintah Jepang ini membuka peluang sejumlah besar kiai dan santri dari NU untuk aktif di dalam kegiatan politik.

Pada 3 November 1945 tiga bulan setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia memberi kesempatan dan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Kalangan Islam menyambut pengumuman keputusan ini dengan menyelenggarakan Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta pada 7–8 November 1945, yang memutuskan membentuk partai politik Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam.

NU melalui muktamarnya di Purwokerto (1946) mendorong para nahdliyin untuk masuk Masyumi. Perbedaan kepentingan politik pun tak dapat dihindari antarpendukung Masyumi.

Pada 31 Juli 1952 NU secara resmi menyatakan keluar dari Masyumi. Penarikan dukungan NU dari Masyumi ini diputuskan melalui muktamarnya ke-19 (April 1952) di Palembang, Sumatera, dengan perbandingan suara 61 setuju, 9 menolak, dan 7 abstain.

Tokoh penting dan utama dalam kampanye penarikan diri ini adalah Wahab Hasbullah. Asal mula perpecahan NU-Masyumi ini antara lain menyangkut struktur partai, peran ulama dalam politik, dan pembagian kekuasaan antara kaum tradisionalis dan modernis.

NU merasa mulai kehilangan kekuasaan dalam kabinet, khususnya fungsi Menteri Agama. Peran ulama NU juga semakin berkurang dalam pengambilan keputusan politik di tubuh Masyumi.

Setelah keluar dari Masyumi, NU menyatakan diri sebagai partai politik pada 1952. Pada awal 1950-an ini, hubungan NU dan Presiden Soekarno membaik. Beberapa tokoh dan pemimpin NU diundang Soekarno ke istana negara untuk menghadiri acara kenegaraan atau berdiskusi mengenai masalah agama dan politik.

NU menjadi pendukung kuat posisi Soekarno. Hubungan NU dan Soekarno disorot banyak kalangan karena pada Maret 1954 Konferensi Nasional Ulama menganugerahi Presiden Soekarno dengan gelar waliy al-amr daruri bi asy-syaukah, yang berarti “pemimpin dalam keadaan darurat” (bahwa Indonesia bukan negara Islam yang memegang kewenangan).

Pemberian gelar ini didorong adanya penolakan beberapa kelompok masyarakat di Sumatera Barat untuk mengakui wewenang pejabat Kementerian Agama yang menunjuk wali hakim dalam upacara pernikahan yang tidak dihadiri ayah pengantin perempuan. Bagi Konferensi Nasional Ulama, penolakan ini tidak hanya menjadi tantangan status hukum Kementerian Agama, tapi juga status hukum Presiden Soekarno.

Bagi kalangan non-NU, pemberian gelar ini kepada Soekarno dipandang tidak hanya sebagai tindakan keagamaan, tapi juga merupakan langkah politik NU.

Sejak menjadi partai politik, NU hanya membutuhkan waktu tiga tahun untuk bersaing dengan partai politik lain dalam menghadapi Pemilihan Umum pertama pada 1955. Dalam waktu yang singkat NU menjadi partai politik ketiga terbesar setelah PNI, Masyumi, dan PKI pada Pemilu 1955 yang diselenggarakan Orde Lama.

Lima tahun setelah pemilu 1955 partai Masyumi dan PSI dilarang Soekarno. sehingga NU menjadi partai Islam terbesar, bahkan NU juga memiliki wakil-wakil di semua lembaga Demokrasi Terpimpin. NU juga menjadi komponen utama dalam Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) yang diterapkan Soekarno.

Pada masa Orde Baru setelah runtuhnya kekuasaan Soekarno NU kembali mengikuti pemilu 1971. Dalam pemilu ini, suara NU tidak banyak berubah. Pada pemilu 1955, NU meraih 6.955.141 suara atau 18,4% dari seluruh suara di tingkat nasional.

Pada pemilu 1971 pada masa kekuasaan Soeharto, NU mengumpulkan 10.213.650 suara atau 18.6% dari seluruh pemilih di tingkat nasional. Setelah pemilu 1971, pemerintahan Soeharto menyederhanakan sistem kepartaian.

NU bersama tiga partai politik Islam lainnya (Parmusi, PSII, dan Perti) mencapai kesepakatan untuk melakukan fusi dalam sebuah partai dengan nama Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang dideklarasikan pada 5 Januari 1973.

Kepengurusan dan kepemimpinan dalam struktur PPP didistribusikan secara seimbang untuk meredam konflik. Namun dalam perkembangan selanjutnya, konflik antarunsur yang terjadi di dalam tubuh PPP tak dapat dihindari. Konflik terbuka antara NU dan MI terus berkembang.

Pada 1984, NU kembali ke khittah seperti pada 1926. NU tidak lagi secara formal berkiprah dalam dunia politik. Setelah Orde Baru tumbang (1998), Presiden BJ Habibie sebagai pengganti Soeharto, mempercepat pelaksanaan Pemilu pada 1999. Berbagai partai politik bermunculan. Tak ketinggalan juga dari kalangan nahdliyin.

Di lingkungan NU terdapat empat partai: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nahdlatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Ummat (PKU), dan Partai Uni Nasional Indonesia (SUNI). Semua partai ini mengaku sebagai anak sah dari NU. Namun, PBNU hanya mengakui dan membidani PKB. PKB yang didukung Poros Tengah dapat mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai pimpinan PBNU menjadi Presiden RI ke-4 dalam Sidang Umum MPR 1999.

NU untuk pertama kalinya dalam sejarah pergumulannya dalam dunia politik berhasil mengantarkan salah seorang pimpinan PBNU menuju kursi kepresidenan. Namun, tokoh NU ini akhirnya dilengserkan juga dari kursi kepresidenan pada 2001. Setelah pelengseran Abdurrahman Wahid dan menjelang Pemilu 2004, PKB mengalami perpecahan internal antara kubu PKB Matori Abdul Djalil dan PKB Alwi Shihab.

Ketua Umum PB NU, Hasyim Muzadi, berusaha menengahi konflik dan perpecahan tersebut, tetapi tidak mendapat sambutan menggembirakan dari kedua belah pihak yang bersengketa.

Pada 2004 NU mengadakan muktamar ke-31 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. Dalam muktamar itu, Hasyim Muzadi terpilih kembali sebagai ketua umum PBNU untuk periode 2004–2009. Hasyim Muzadi mengalahkan Masdar Farid Masudi dengan perolehan suara 346 dari 447 suara. Adapun kedudukan rais aam periode 2004–2009 dipegang oleh KH Sahal Mahfudz.

DAFTAR PUSTAKA

Anam, Choitir. Gerak Langkah Pemuda Ansor. Surabaya: Aula, 1990.
Asy’ari, Hasyim. Qanun Asasi Nahdatul Ulama. Kudus: Menara Kudus, 1971.
Barton, Greg. Biografi Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid). Yogyakarta: LKiS, 2003.
__________, dan Greg Fealy, eds. Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara. Yogyakarta: LKiS, 1997.
van Bruinessen, Martin. NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, dan Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS, 1999.
Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952–1967. Cet. ke-1. Yogyakarta: LKiS, 2003.
Feillard, Andrée. NU Vis-à-Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna. Yogyakarta: LKiS, 1999.
Haidar, M. Ali. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta: Gramedia, 1998.
Ida, Laode. Anatomi Konflik: NU, Elit Islam, dan Negara. Jakarta: Sinar Harapan, 1996.
Jihan, Abu, ed. NPP, NU, dan MI: Gejolak Wadah Politik Islam. Jakarta: Integritas Press, 1984.
Khuluq, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: LKiS, 2000.
Mawardi, H.A. Chalid. Nahdlatul Ulama Mendayung di Tengah Gelombang. Jakarta: Yayasan Pendidikan Practica, t.t.
Ma’shum, Saifullah. Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU. Bandung: Mizan bekerjasama Yayasan Saifuddin Zuhri, 1998.
Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, atau Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942, terj. Jakarta: LP3ES, 1980.
__________. Partai Islam di Pentas Nasional 1945–1965. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.
PP Fatayat NU. Keputusan-Keputusan Kongres Fatayat NU Ke-10 Di Yogyakarta, Jakarta: PP Fatayat NU, 1990.
PP IPNU, IPPNU. Keputusan-Keputusan Kongres X dan IPPNU IX di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, PP IPNU, IPPNU, 1988.
Qomar, Mujamil. NU “Liberal”: Dari Tradisionalisme Ahlussunah ke Universalisme Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Thohir, Anas, dkk. Kebangkitan Umat Islam dan Peran NU di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
Yusuf, Slamet Effendi. Dinamika Kaum Santri: Menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU. Jakarta: Rajawali, 1983.
Zuhri, KH Saifuddin. KH Wahab Hasbullah, Bapak dan Pendiri NU. Yogyakarta: Pustaka Falakiyah, t.t.
Musdah Mulia Dan Idris Thaha

__