Mustadh‘afun atau mustadh‘afin berarti “orang tertindas dan lemah”. Lawan katanya adalah mustakbirun atau mustakbirun, yang berarti “menyombongkan diri”. Dalam Islam, pemahaman mustadh‘afun menjadi menarik karena Allah SWT menjanjikan bahwa mereka akan menjadi ahli waris dan pemimpin bumi ini.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah tertindas itu, negeri bagian timur bumi dan bagian barat yang telah Kami beri berkah padanya” (QS.7:137).
Ayat Al-Qur’an lainnya menyebutkan pula,
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi” (QS.28:5).
Sebagian besar generasi pertama kaum muslimin yang menerima dakwah Nabi Muhammad SAW berasal dari kelompok tertindas. Dakwah Nabi SAW menarik perhatian mereka karena mengajarkan persamaan, persaudaraan, dan keadilan, sesuatu yang tidak mereka dapatkan sebelumnya. Mereka terdiri dari para budak, hamba sahaya, orang miskin, dan orang lemah lainnya.
Sementara itu para pemimpin dan elite Quraisy menentang dakwah ini, karena akan merusak tatanan sosial yang selama ini menguntungkan mereka. Mereka ini adalah kelompok mustakbirun.
Di dunia Suni, istilah mustadh‘afun menunjuk pada sekelompok kaum muslimin yang mengalami penindasan. Ketertindasan bisa jadi karena masalah politik, ekonomi, sosial, maupun agama.
Di beberapa belahan dunia seperti di Bosnia, Chechnya, dan Palestina, kaum muslimin menjadi golongan yang tertindas oleh rezim pemerintahan yang ada. Karena itu, kaum muslimin yang lain harus membantu mereka dari ketertindasan ini.
Farid Esack, seorang intelektual muslim kontemporer Afrika Selatan, dalam bukunya Membebaskan Yang Tertindas, Al-Qur’an, Liberalisme, dan Pluralisme, berupaya menggagas mustadh‘afun dalam kerangka sosial, politik, dan keagamaan Afrika Selatan.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu, negeri ini dikuasai rezim kulit putih yang menerapkan apartheid (pemisahan rasial) yang telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-17. Esack ingin menegaskan bahwa Islam pada dasarnya sangat kaya dengan pesan persamaan, keadilan, dan perdamaian.
Dengan pendekatan hermeneutikanya, Esack berhasil membuktikan bahwa gagasan pluralisme merupakan pesan yang paling utama dari Al-Qur’an. Gagasan ini diyakini dapat menghubungkan kaum muslimin, khususnya Afrika Selatan dengan kelompok agama lain sehingga terbangun sebuah Afrika Selatan yang baru.
Teologi pembebasan yang tengah dibangun oleh Esack harus dibarengi dengan sikap liberal kaum muslimin itu sendiri. Kecenderungan kaum muslimin untuk kembali lagi pada doktrin tradisional yang eksklusif dapat membahayakan proses rekonsiliasi dan perdamaian di negeri tersebut.
Penafsiran kalangan Syiah mengenai mustadh‘afun jauh lebih menarik. Janji Allah SWT untuk memberikan kemenang an kepada kaum mustadh‘afun telah memunculkan gerakan millenarianisme (semacam mesianisme) yang sangat kuat di kalangan Syiah.
Kaum Syiah sepanjang sejarah menjadi kelompok minoritas yang berhadapan dengan kekuasaan Suni. Karena itu, wajar apabila kemudian sejarah mereka penuh dengan oposisi dan ideologi untuk melawan kemapanan.
Di samping millenarianisme, mereka juga memiliki mahdisme (penantian kedatangan kembali Imam Mahdi [imam ke-12 Syiah Dua Belas Imam; w. 265 H/878 M] untuk memimpin umat) yang terus memompa semangat untuk menentang setiap kezaliman.
Dalam bukunya Sosiologi Islam, Ali Syari’ati, seorang intelektual Syiah kontemporer, membagi manusia menjadi dua kelompok, yaitu mustadh‘afun dan mustakbirun. Mustadh‘afun tidak lain daripada kelompok manusia yang membela kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.
Mereka jatuh bangun dikalahkan oleh golongan manusia yang tamak akan kekuasaan. Namun pada suatu saat nanti, kaum mustadh‘afun akan menang atas mustakbirun, dan menjadi ahli waris bumi ini seperti dijanjikan Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Mustadh‘afun adalah istilah yang digunakan, antara lain, untuk menunjukkan adanya kesamaan nasib bagi kaum muslimin yang tertindas sejak zaman Abu Zarr al-Giffari (sahabat Nabi SAW; w. 32 H/653 M), Bilal bin Rabah (muazin pertama dalam se-jarah Islam; 581–664), dan kaum muslimin tertindas lainnya.
Lebih lanjut Syari’ati menjelaskan bahwa kelompok mustadh‘afun dilambangkan dengan Habil, putra Nabi Adam AS yang baik hati dan cinta akan persaudaraan.
Ia diperlakukan secara jahat oleh saudaranya sendiri Qabil, yang melambangkan kelompok mustakbirin. Dalam Al-Qur’an diceritakan bahwa Nabi Adam AS memerintahkan kepada mereka agar berkorban dengan mempersembahkan milik mereka yang paling baik.
Korban Habil, berupa seekor domba yang gemuk, diterima Allah SWT; sedangkan korban Qabil, berupa gandum yang busuk, ditolak Allah SWT. Setelah peris-tiwa ini, Qabil memusuhi Habil yang berakhir pada pembunuhannya.
Habil dan Qabil mewakili dua kelompok manusia yang senantiasa berlawanan sepanjang sejarah. Perlawanan dua kelompok ini membuat gerak sejarah menjadi dialektis. Nabi Adam AS merupakan manusia pertama dan keberadaan manusia di bumi baru mengalami aktualisasi ketika kedua putranya (Habil-Qabil) bertikai satu sama lain.
Syari’ati menafsirkan kisah ini dengan tinjauan analisis kelas sosial yang berbeda antarmereka. Kelas sosial Habil dan Qabil bisa diketahui dari korban yang mereka persembahkan. Domba menunjukkan bahwa Habil adalah seorang penggembala, dan gandum menunjukkan bahwa Qabil adalah seorang petani.
Dalam masyarakat penggembala, sistem kepemilikan didasarkan pada kepentingan bersama, dan konsumsi barang berdasarkan kadar kebutuhan. Sementara dalam masyarakat petani, sistem kepemilikan didasarkan pada penguasaan atas sumber daya alam.
Dengan kata lain, Habil dan Qabil sebenarnya merupakan dua simbol dari dua model masyarakat yang berbeda. Habil mewakili masyarakat komunis, sedangkan Qabil mewakili masyarakat kapitalis.
Syari’ati ingin menegaskan bahwa tatanan masyarakat yang didasarkan pada nilai penguasaan selalu melahirkan kelompok penindas dan tertindas.
Tatanan masyarakat yang didasarkan pada kebersamaan melahirkan kesejahteraan dan kemakmuran. Dan inilah yang terjadi pada saat ini, di mana tatanan hidup kapitalis telah membelah masyarakat manusia; yakni penindas dan tertindas.
Tatanan seperti ini tidak bisa dipertahankan karena kelompok tertindas dari waktu ke waktu akan melakukan perlawanan sampai mereka memperoleh keadilan dan persamaan.
Dengan demikian perlawanan Habil versus Qabil bersifat transhistoris dan akan ditemukan sepanjang sejarah manusia di bumi. Pada akhirnya kelompok Habil akan memenangkan pertarungan ini, yang merupakan tujuan sejarah manusia di muka bumi.
Tafsiran simbolik terhadap kisah Habil dan Qabil berisi sebuah pandangan filsafat sejarah linear yang merupakan inti dari gerak sejarah dalam pandangan Islam.
Filsafat sejarah yang linear mengajarkan, sejarah dimulai dari sebuah titik tertentu yang menjadi awalnya. Titik itu kemudian bergerak membentuk sebuah garis lurus menuju titik lain. Jarak yang membentang antara kedua titik itu adalah sejarah. Pada tepi yang lain terletak ujungnya, yang menjadi tujuan sejarah itu sendiri.
Berbeda dengan Karl Marx (1818–1883) yang mendasarkan perlawanan kelas pada aspek ekonomi, Syari’ati mengajukan oposisi linear yang menyeluruh. Manusia tidak dipandang sebagai makhluk materiil semata, seperti ke yakinan Marx, namun juga makhluk spiritual.
Inilah perbedaan paling penting antara Syari’ati dan Marx. Basis ideologi seperti ini berhubungan erat dengan perlawanan kaum Syiah Iran terhadap kekuasaan rezim Syah Iran, Mohammad Reza Pahlevi (1919–1980), pada tahun 1979. Syari’ati dianggap sebagai ideolog peletak dasar filosofis revolusi.
Daftar Pustaka
Esack, Farid. Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme. Bandung: Mizan, 2000.
Sasono, Adi. “Islam dan Sosialisme Religious,” Aspirasi Umat Islam, ed. Bosco Carvallo dan Dasrizal. Jakarta: Leppenas, 1983.
Syari’ati, Ali. Sosiologi Islam. Yogyakarta: Ananda, 1982.
Ahmadie Thaha