Musa, Nabi

Allah SWT mengutus Nabi Musa AS untuk membebaskan Bani Israil yang ditindas di Mesir. Musa adalah adik Nabi Harun AS, keturunan Lawi, salah seorang putra Nabi Ya‘qub. Di Mesir keturunan Ya‘qub semula diterima oleh Dinasti Hyksos (sekitar 1630–1521 SM), kemudian ditindas oleh fir’aun. Ketika Musa lahir, fir’aun Mesir adalah Ramses II (1279–1213 SM) yang menganggap diri tuhan. Musa meng-ingatkan Fir’aun agar membebaskan Israil.

Suatu ketika, Fir’aun bermimpi. Pera­mal mengartikan mimpi itu bahwa akan lahir seorang bayi laki-laki Israil yang akan merampas kekuasaan Fir’aun. Seketika itu Fir’aun meng­ instruksikan untuk membunuh setiap bayi laki-laki Israil. Ibu Musa, Yukabad, istri Imran bin Qahat bin Lawi bin Ya‘qub, merasa gelisah karena penyelidikan para petugas sangat ketat.

Suatu ke­tika ibu Musa men­dapatkan petunjuk dalam mimpinya agar anaknya yang berusia 3 bulan dimasukkan ke dalam sebuah kotak lalu dihanyutkan di Sungai Nil. Allah SWT menjamin bahwa bayinya pasti selamat, bahkan Yukabad kelak tetap akan dapat merawatnya. Isyarat itu dilaksanakan dengan penuh ketabahan dan tawakal.

Kotak yang berisi bayi itu tiba-tiba berhenti di belakang rumah Fir’aun. Pada saat itu kebetulan istri Fir’aun, Asiah, sedang mandi di sungai dan melihat kotak itu. Ia mengambilnya, lalu memelihara bayi di dalamnya.

Fir’aun merasa curiga terhadap bayi tersebut tetapi Asiah tetap bersikeras­ untuk memeliharanya karena sudah lama mendambakan anak. Ia menamai bayi itu Musa, yang berarti “air dan pohon” (mu = air, sa = pohon).

Di antara sejumlah inang pengasuh pilihan Asiah, bayi Musa hanya mau menyusu pada Yukabad­. Asiah akhirnya menerima Yukabad sebagai inang pengasuh Musa. Dengan demikian janji Allah SWT bahwa Yukabad tetap akan mendap-atkan kembali bayinya terpenuhi. Kisah di atas ditemui dalam surah al-Qasas (28) ayat 4–13.

Walaupun dididik dalam tradisi istana, sejak kecil­ Musa memahami bahwa ia bukan anak Fir’aun, melainkan ketu­ runan Bani Israil yang tertindas. Karena prihatin terhadap nasib rakyat yang dianiaya­ oleh keluarga Fir’aun dan para pembesar kerajaan, ia bertekad untuk membela kaumnya yang lemah.

Suatu saat tindakan Musa membela seorang anggota­ kaumnya yang berkelahi melawan seseorang dari golongan Fir’aun menyebabkan yang terakhir ini tewas. Musa akhirnya memutuskan untuk meninggalkan­ Mesir.

Ia pergi ke Madyan, bagian selatan Palestina selama 8 hari 8 malam. Saat itu ia berusia 18 tahun. Kisah ini terdapat dalam surah al-Qasas (28) ayat 14–21.

Di Madyan, kota tempat tinggal Nabi Syu‘aib AS, ia menikah dengan salah seorang putri Nabi Syu‘aib AS, yang bernama Safura dengan syarat ia harus bekerja membantu Nabi Syu‘aib AS selama 8 sampai 10 tahun. Para ahli tafsir berselisih pendapat tentang mertua Musa.

Ada yang ber-pendapat yang dimaksud adalah Nabi Syu‘aib AS, namun ada pula yang mengatakan orang lain. Riwayat­ ini terdapat dalam surah al-Qaœaœ (28) ayat 22–28.

Sepuluh tahun setelah meninggalkan Mesir, Nabi Musa AS berniat kembali ke sana dengan istrinya. Dalam perjalanan, Nabi Musa AS tiba di Bukit (Tur) Sinai. Di sini Nabi Musa AS menerima wahyu dari Allah SWT. Sebagai rasul, Allah SWT memberinya mukjizat berupa tongkat yang bisa berubah menjadi ular dan tangannya dapat bersinar putih cemerlang­ tanpa cacat.

Kisah itu dapat dilihat pada surah ÍÎhÎ (20) ayat 9–23. Saat itu Allah SWT juga memerintahkan Nabi Musa AS untuk berdakwah kepada Fir’aun.

Dalam kesempatan bercakap-cakap langsung dengan Allah SWT di bukit itu, Musa AS juga memohon Allah SWT agar ia ditemani­ Harun, saudaranya, untuk berdakwah karena Harun amat cakap dalam berbicara dan berdebat. Hal tersebut dinyatakan dalam surah al-Qasas (28) ayat 32–35 dan surah Taha (20) ayat 42–47.

Bersama-sama dengan Nabi Harun AS, Nabi Musa AS menjumpai Fir’aun. Ia mengadakan dia­log dengan Fir’aun tentang Tuhan. Fir’aun sangat murka dan meminta Nabi Musa AS untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran Tuhan. Dialog antara Nabi Musa AS dan Fir’aun terdapat dalam surah asy-Syu‘ara’ (26) ayat 18–31.

Di depan masyarakat, Nabi Musa AS dapat menunjukkan mukjizatnya dan mengalahkan para ahli sihir Fir’aun. Melihat itu, sejumlah orang menyadari tentang keberada­an Allah SWT. Mereka menyatakan beriman terhadap Allah SWT. Ri-wayat Musa AS menunjukkan mukjizatnya terdapat dalam­ surah asy-Syu‘ara’ (26) ayat 32–51.

Kejengkelan Fir’aun memuncak setelah Nabi Musa AS memperoleh pendukung yang lebih ba­nyak. Fir’aun makin kejam terhadap Bani Israil. Nabi Musa AS senantiasa menyuruh kaumnya untuk bersabar menghadapi kese­ wenang-wenang­an itu.

Fir’aun juga tidak henti-hentinya mengejek dan menghina Nabi Musa AS. Karena makin lama tindakan Fir’aun makin merajalela, Nabi Musa AS meman-jatkan doa kepada Allah SWT agar Fir’aun dan pengikutnya diberi azab.

Allah SWT mengabulkan­ doa Musa AS. Kerajaan Fir’aun dilanda krisis keuangan. Selain itu wilayah Mesir di-landa kekeringan dan kemudian banjir besar. Akibat banjir itu, datanglah wabah penyakit. Pengikut Fir’aun mendatangi Nabi Musa AS untuk memohon agar azab itu dicabut dari mereka dengan janji mereka akan beriman.

Namun ketika Allah SWT mengabulkan­ permintaan­ itu, mereka ingkar akan janjinya. Riwayat ini terdapat dalam surah al-Mu’minØn (23) ayat 26, surah az-Zukhruf (43) ayat 51–54, surah Yunus (10) ayat 88–89, dan surah al-A‘rÎf (7) ayat 130–135.

Bani Israil semakin menderita karena ulah Fir’aun. Karena itu, para pengikut Nabi Musa AS memintanya untuk membawa mereka keluar dari Mesir menuju ke Baitul­makdis. Ketika sampai di tepi Laut Merah, mereka baru menyadari bahwa tentara Fir’aun mengejar mereka.

Saat itu turun wahyu agar Musa AS memukulkan tongkatnya ke laut. Laut pun membelah hingga terbentang jalan bagi Musa AS dan pengikutnya untuk menyeberang­. Fir’aun dan tentaranya mengejar rombongan itu.

Ketika Musa AS dan pengikutnya telah sampai di tepi seberang sementara­ Fir’aun dan tentaranya masih di tengah laut, atas perintah­ Allah SWT laut pun kembali tertu-tup hingga Fir’aun beserta pasukannya­ hanyut tenggelam. Kisah di atas terdapat dalam surah Taha (20) ayat 77–79, surah asy-Syu‘ara’ (26) ayat 60–68, dan surah Yunus (10) ayat 90–92.

Dalam perjalanan meninggalkan Mesir, Bani Israil sangat manja. Mereka meminta Nabi Musa AS memohon­ kepada Allah SWT agar menaungi mereka agar jangan kepanasan. Di Gurun Sinai yang panas terik itu Allah SWT menaungi mereka dengan awan.

Ketika bekal makanan dan minuman sudah menipis, kembali mereka meminta Nabi Musa AS untuk diberikan makanan dan minuman. Permintaan ini kembali dikabulkan Allah SWT. Berbagai tuntutan dan permintaan itu diceritakan dalam surah al-A‘raf (7) ayat 160 dan surah al-Baqarah (2) ayat 61.

Setelah persoalan dengan Fir’aun selesai, Nabi Musa AS memohon kepada Allah SWT agar diberi sebuah kitab suci untuk menjadi pedoman bagi kaumnya. Allah SWT memerintahkan agar Nabi Musa AS berpuasa selama 30 hari dan pergi ke Bukit Sinai. Ia mengajak tujuh puluh orang pengikutnya­ dan meminta Nabi Harun AS untuk mengurus­ kaumnya sementara ia pergi.

Dalam kesempatan bermunajat itu, Nabi Musa AS meminta Allah SWT mengizinkan dirinya untuk melihat Zat-Nya. Allah SWT mengatakan bahwa Nabi Musa AS tak akan sanggup melihat-Nya. Allah SWT kemudian menyuruh­ Nabi Musa AS untuk melihat ke sebuah bukit.

Jika bukit itu tetap tegak, maka Nabi Musa AS dapat melihat-Nya. Ke­tika Nabi Musa AS mengarahkan pandangannya ke bukit itu, seketika itu bukit itu hancur luluh. Nabi Musa AS jatuh pingsan. Setelah sadar, ia memohon ampun kepada Allah SWT. Dalam munajat itu, Allah SWT membe­rikan­ Taurat sebagai kitab suci.

Kisah munajat Nabi Musa AS ini terdapat dalam surah Taha (20) ayat 83–84 dan surah al-A‘raf (7) ayat 142–145. Sepeninggal Nabi Musa AS bermunajat kepada Allah SWT, Bani Israil dihasut oleh seorang munafik­ yang bernama Samiri. Karena keyakinan tauhid mereka belum tebal, mereka dengan mudah termakan hasutan Samiri.

Mereka membuat patung anak sapi lalu menyembahnya sebagai tuhan mereka. Nabi Harun AS tidak berdaya menghadapi­ kaumnya yang murtad itu. Ketika kembali, Nabi Musa AS amat marah dan bersedih­ hati.

Mula-mula ia marah kepada Nabi Harun AS yang dianggap tidak dapat­ menjaga kaumnya dengan baik. Setelah mendengar penjelasan­ Nabi Harun AS, Nabi Musa AS pun tenang kembali. Ia mengusir Samiri dan menjelaskan ke­pada kaumnya tentang perbuatan mereka yang salah.

Allah SWT kemudian memerintahkan Nabi Musa AS agar membawa sekelompok dari kaumnya untuk memohon ampun atas perbuatan dosa mereka, yakni menyembah patung anak sapi.

Nabi Musa AS mengajak tujuh puluh­ orang terpilih dari Bani Israil ke Bukit Sinai. Setelah berpuasa dan menyucikan­ diri, di bukit itu turun awan tebal. Ia dan rombongannya­ memasuki awan gelap itu dan bersujud.

Ketika bersujud, tujuh puluh orang itu mendengar percakapan­ antara Nabi Musa AS dan Allah SWT. Timbul keinginan­ mereka untuk melihat Zat Allah SWT. Bahkan mereka menyatakan tidak akan beriman­ sebelum melihat-Nya. Seketika itu pula mereka tersambar halilintar hingga tewas.

Nabi Musa AS memohon agar kaumnya diampuni­ dan dihidupkan kembali. Allah SWT me­ngabulkan doanya. Pengikutnya itu hidup kembali dan kemudian berjanji untuk hanya berpegang pada Taurat sebagai pedoman hidup mereka. Riwayat­ ini terdapat dalam surah ÍÎhÎ (20) ayat 85–98, surah al-A‘raf (7) ayat 149–155, dan surah al-Baqarah (2) ayat 55–56 dan 63–64.

Allah SWT memerintahkan Nabi Musa AS agar membawa­ kaumnya ke Palestina, tempat suci yang telah dijanjikan­ bagi Nabi Ibrahim AS sebagai tempat tinggal anak cucunya. Bani Israil yang telah mendapat berbagai karunia Allah SWT adalah kaum yang keras kepala dan tidak bersyukur.

Me­reka menolak ajakan nabinya dengan alasan di Palestina terdapat suku Kanaan yang kuat sehingga­ mereka tidak akan mampu mengalahkannya. Mereka hanya mau berangkat seandainya suku itu telah disingkirkan terle­bih dahulu. Nabi Musa AS marah mengetahui sikap kaumnya­ itu.

Sikap pengecut itu mencerminkan mereka belum beriman kepada Allah SWT, karena Allah SWT telah memberikan janjinya bahwa dengan pertolongan-Nya mereka akan mampu mengalahkan­ suku Kanaan. Nabi Musa AS memanjatkan doa kepada Allah SWT. Sebagai hukuman bagi Bani Israil yang menolak perintahNya,­ Allah SWT mengharamkan wilayah Palestina se­lama 40 tahun.

Selama itu mereka akan berkeliaran di atas bumi tanpa memiliki tempat bermukim yang tetap. Hal di atas dikisahkan dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 20–26.

Pada suatu kesempatan Nabi Musa AS berpidato di hadapan kaumnya, ia mengaku bahwa dirinya­lah yang paling pintar dan berpengetahuan. Allah SWT menegur Musa AS dan menyuruhnya untuk menemui hamba-Nya yang saleh.

Hamba Allah SWT yang saleh itu kemudian dikenal sebagai Nabi Khidir­ AS. Nabi Musa AS yang ingin belajar dari ham­ba-Nya yang saleh itu meminta agar diizinkan mengikuti­ Nabi Khidir AS.

Dalam perjalanan keduanya, Nabi Musa AS banyak melihat perilaku aneh yang di­lakukan Nabi Khidir AS. Menurut Nabi Khidir AS, perbuatannya dilakukan bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan karena tuntunan Allah SWT.

Nabi Musa AS menyadari kekeliruannya yang berlaku sombong. Kisah pertemuan Nabi Musa AS dan Nabi Khidir­ AS terdapat dalam surah al-Kahfi (18) ayat 60–82.

Kisah Nabi Musa AS lainnya terdapat dalam surah al-Qasas (28) ayat 76–82. Ayat tersebut mengisahkan riwayat Karun, seorang kaum Nabi Musa AS yang kaya namun tidak mau menyedekahkan­ hartanya bagi fakir miskin.

Karun tidak mengikuti nasihat Nabi Musa AS, bahkan mengejek dan memfitnah Nabi Musa AS. Guna memberi pelajaran kepada Karun dan memberikan contoh bagi kaumnya, Nabi Musa AS memanjatkan doa agar Allah SWT menurunkan azab-Nya atas diri hartawan itu.

Allah SWT mengabulkan doa Musa AS dengan menguburkan­ semua harta kekayaan­ dan diri Karun melalui bencana­ tanah longsor yang dahsyat.

Daftar Pustaka

Arifin, Bey. Rangkaian Cerita dalam Al-Qur’an. Bandung: al-Ma‘arif, 1986.
Daruzah, Muhammad Izzah. Sirah ar-Rasul. Cairo: Matba‘ah ‘Isa al-Babi al-Halabi wa Syirkah, 1965.
Ibnu Kasir. al-Bidayah wa an-Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
an‑Naisaburi, Abu Ishak Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim. Qaœaœ al‑Anbiya’. Singapura: Sulainian Nar’i, t.t.
as-Sa’labi, al-Imam bin Ishaq Ahmad bin Ibrahim. Qisas al-Anbiya’ al-Musamma bi al-‘Ara’is. Beirut: asy-Sya‘biyah, t.t.
asy-Syami, Muhammad Yusuf as-Salihi. Subul al-Huda wa ar-Rasyad. Cairo: Jumhuriyah Misr al-Arabiyah li Jinnah Ihya at-Turas al-Islami, 1973.

Nasaruddin Umar