Murtad

(Ar.: murtad)

Keluar dari Islam dengan niat, perkataan, atau perbuatan, yang menjadikan­ seseorang kafir atau tidak beragama­ lagi disebut murtad. Kata murtad berakar dari riddah atau irtidsd yang berarti “kembali”. Pengertian ini mencakup keluar dari iman dan kembali ke kafir, baik iman itu didahului kekafiran seperti orang kafir, beriman, dan kembali kafir maupun tidak didahului kekafiran­. Kedua bentuk itu disebut murtad millah (agama) dan murtad fitri (alami).

Pada awal sejarah Islam, istilah riddah dihubungkan­ dengan kembalinya beberapa kabilah Arab, selain kaum Quraisy dan Saqif, dari Islam kepada kepercayaan lama setelah Nabi Muhammad SAW wafat.

Di antara mereka ada yang menuntut keringanan pelaksanaan salat atau meniadakan kewajiban­ zakat. Mereka kemudian diperangi Abu Bakar as-Siddiq, sehingga kembali memeluk agama­ Islam. Perang itu disebut Perang Riddah.

Perbuatan yang dapat dikelompokkan sebagai perilaku orang murtad antara lain adalah pengingkaran adanya pencipta, peniadaan rasul Allah SWT, dan penghalalan perbuatan yang disepakati haram atau pengharaman perbuatan yang disepakati halal.

Kemurtadan membatalkan nilai religius perbuatan orang yang bersangkutan. Kembali kepada kekafiran setelah beriman mengakibatkan hubungan­ dengan Allah SWT terputus. Hal ini antara lain dijelaskan dalam surah al-Baqarah (2) ayat 217 yang berarti:

“…Barangsiapa yang murtad di antara ka­mu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia­ dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”

Seseorang dianggap murtad jika ia telah mu­kalaf dan menyatakan kemurtadannya secara terang­-terangan atau dengan kata-kata yang menjadikannya­ murtad atau dengan perbuatan yang mengandung unsur kemurtadan. Berlakunya­ kemurtadan itu ditentukan oleh dua hal:

(1) Berakal. Tidak sah kemurtadan orang gila dan anak kecil yang belum berakal karena akal menjadi sya­rat kecakapan da­lam masalah akidah (keyakinan) dan masalah lainnya.

(2) Memiliki kebebasan­ dan kemerdekaan bertindak serta menentukan pilihan. Seseorang yang dipaksa murtad, sedangkan­ hatinya masih tetap dalam keadaan beriman,­ tidak bisa disebut murtad.

Menurut fikih, orang yang murtad kehilangan hak perlindungan atas jiwanya. Jika ia berhasil ditangkap­ sebelum­ mengadakan perlawanan atau pem­berontakan, ia secara hukum wajib dibunuh. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Jamaah kecuali Muslim yang berarti: “Barangsiapa­ mengganti agamanya,­ maka bunuhlah ia” dan hadis riwayat Bukhari­ dan Muslim yang berarti:

“Tidak halal darah­ orang Islam kecuali karena salah satu dari tiga hal, yakni: janda yang berzina; jiwa dengan jiwa, atau membunuh orang Islam lainnya; orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jemaah.”

Jika tertangkap setelah melakukan pemberontakan dan perlawanan, baik dilakukan di daerah Islam (Darul Islam) atau di daerah musuh (Darul Harbi), ia dibunuh atas dasar pemberontakannya dan tidak perlu diminta untuk bertobat, kecuali kalau ia masuk Islam kembali.

Sementara masalah mengenai perempuan yang murtad masih diperselisihkan ulama, apakah dibunuh atau tidak. Menurut jumhur (mayoritas) ulama, perempuan­ yang murtad dibunuh berdasarkan keumuman­ dalil di atas, sedangkan menurut Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafi, ia tidak dibunuh karena disamakan dengan perempuan kafir sejak asalnya.

Di samping itu, orang yang murtad gugur dan hilang atau batal hak perdata (al-Huquq al-‘ainiyyah), kepemilikan, dan perkawinannya. Kesepakatan­ ulama menetapkan bahwa jika ia masuk Islam kembali, semua haknya yang telah hilang itu akan dikembalikan lagi.

Jika ia mati terbunuh­ atau tertangkap di daerah musuh, semua hak miliknya gugur dan hilang. Hal itu sejalan dengan hilangnya hak perlindungan atas jiwa dan hartanya.

Dalam hal pewarisan, secara umum orang murtad tidak dapat mewarisi dari pihak mana pun, baik dari pihak muslim maupun kafir, karena ia tidak mempunyai wali dan tidak diakui Islam.

Sebagian­ ulama memandang kemurtadan sebagai penghalang­ khusus atas pewarisan, bukan perbedaan agama. Menurut jumhur ulama, harta benda orang murtad tidak dapat diwarisi, sedangkan sebagian pengikut Abu Hanifah berpendapat bahwa hartanya­ dapat diwarisi.

Harta menurut Abu Hanifah adalah harta yang didapatkan dalam keadaan Islam, sedangkan yang didapatkan dalam keadaan murtad menjadi rampasan (fai‘) bagi kas negara (Baitulmal).

Semua bentuk tindakan orang murtad yang berkaitan­ dengan kebendaan ditangguhkan (mauquf); kecuali jika ia masuk Islam kembali, semua menjadi sah.

Apabila ia mati terbunuh, tindakan hukumnya menjadi batal. Imbalan bagi orang murtad di akhirat adalah kekekalan di neraka jika ia tidak sempat bertobat.

Daftar Pustaka

al-Asqalani, Syihabuddin Abu Fadl Ibnu Hajar. Fath al-Bari fi Syarh al-Bukhari. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladih, 1951.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Singapura: Sulaiman Mar’i, 1960.
Rasyid Rida, Muhammad. Tafsir Al-Qur’an al-Hakim (al-Manar). Cairo: Dar al-Manar, 1953.
at-Thabathabai, Muhammad Husain. al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Mu’as-sasah al-A’la, 1973.
Zainu, Muhammad bin Jamil. Jadikanlah Akidah Anda Bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Jakarta: Kedutaan Besar Saudi Arabia, t.t.

Zuhad