Murji’ah

Murji’ah adalah salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriah. Pendirinya­ tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahristani (469 H/1076 M–548 H/1153 M; ahli perbanding­an­ agama pada abad ke-12) menyebutkan dalam bukunya al-Milal wa an-Nihal (tentang perbandingan agama serta sekte dan filsafat) bahwa orang pertama pembawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.

Kata “murji’ah” berasal dari kata Arab arja’a yang berarti “menunda”. Aliran ini disebut Murji’ah karena­ dalam prin­sipnya mereka menunda penyelesaian­ persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu‘awiyah bin Abi Sufyan, dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti.

Karena itu, mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir di antara ketiga golongan yang bertikai itu. Menurut pendapat lain, mereka disebut Murji’ah karena mereka menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya.

Adapun penyelesaian dosa besar orang tersebut ditunda di akhirat. Maksudnya, kelak di akhirat baru ditentukan­ hukuman baginya.

Munculnya aliran ini dilatarbelakangi persoalan politik, yaitu soal khilafah (kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam terpecah ke dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu‘awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula ke dalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela Ali (Syiah) dan golongan­ yang keluar dari barisan Ali (Khawarij).

Ketika berhasil mengungguli dua kelompok­ lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu‘awiyah lalu mem­bentuk Dinasti Umayah. Syiah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya­. Syiah menentang­ Mu‘awiyah karena menuduh Mu‘awiyah­ merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij tidak mendukung­ Mu‘awiyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam.

Dalam pertikaian antara ketiga go­longan tersebut terjadi saling mengafirkan. Di tengah suasana pertikaian ini muncul sekelompok­ orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah yang kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah.

Dalam perkembangannya, golongan ini ternyata tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa be­sar.

Kaum Murji’ah me­nyatakan­ bahwa orang yang berdosa besar tidak dapat di­katakan sebagai kafir selama ia tetap mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya­ dan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Pendapat ini merupakan lawan dari pendapat kaum Khawarij yang mengatakan bahwa orang Islam­ yang berdosa­ besar adalah kafir (hukumnya).

Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek­ iman dan kemudian amal. Jika masih beriman berarti seseorang tetap mukmin, bukan kafir, kendatipun melakukan dosa besar. Adapun­ hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan Ia ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah.

Ada dua ajaran penting bagi Murji’ah, yaitu tentang pelaku dosa besar dan tentang iman. Mengenai­ pelaku dosa besar, ditegaskan bahwa selama seseorang menyakini tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah rasul-Nya, ia tetap dianggap mukmin, bukan kafir, karena amal tidak sampai merusak iman.

Kalaupun tidak diampuni­ Allah SWT dan dimasukkan ke dalam neraka,­ ia tidak kekal di dalamnya seperti orang kafir. Iman menurut Murji’ah adalah keyakinan dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah rasul-Nya.

Dalam perjalanan sejarahnya, aliran ini terpecah­ menjadi dua kelompok, yaitu kelompok mo­derat dan kelompok ekstrem. Tokoh kelompok­ moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah (Imam Hanafi), Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis. Kelompok mode­rat tetap teguh berpegang pada doktrin Murji’ah di atas.

Kelompok ekstrem terbagi lagi ke dalam beberapa­ kelompok, seperti al-Jahamiyah, as-Salihiyah,­ al-Yunusiyah, al-Ubaidiyah, al-Gailaniyah, as-Saubaniyah, al-Marisiyah, dan al-Karamiyah.

Al-Jahamiyah dipelopori Jahm bin Safwan. Menurut paham ini, iman adalah mempercayai Allah SWT, rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang­ dari Allah SWT. Sebaliknya, kafir yaitu tidak mempercayai hal tersebut di atas.

Apabila sudah mempercayai Allah SWT, rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT, berarti seseorang­ adalah mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal yang bertentangan dengan­ imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah­ berhala, dan minum minuman keras. Golongan­ ini juga meyakini bahwa surga dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semata.

As-Salihiyah diambil dari nama tokohnya, Abu Hasan as-Salihi. Sama dengan pendapat al-Jahamiyah,­ golongan ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata makrifat kepada Allah SWT, sedangkan­ kufur (kafir) adalah sebaliknya­. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang.

Al-Yunusiyah adalah pengikut Yunus bin an-Namiri. Menurut golongan ini, iman adalah totali­tas dari penge­ tahuan tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur; sedangkan kufur adalah kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada Tuhan, melainkan karena ketakaburannya­. Mereka pun meyakini bahwa per­ buatan jahat dan maksiat sama sekali tidak merusak­ iman.

Al-Ubaidiyah dipelopori Ubaid al-Muktaib. Pada dasarnya­ pendapat mereka sama dengan sekte­ al-Yunusiyah. Pendapatnya yang lain adalah jika seseorang meninggal dalam keadaan beriman, se­mua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya­. Perbuatan jahat, banyak atau sedikit, ti­ dak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak­ atau sedikit, tidak akan memperbaiki posisi orang kafir.

Al-Gailaniyah dipelopori Gailan ad-Dimasyqi. Menurut mereka, iman adalah makrifat kepada Allah SWT melalui­ nalar dan menunjukkan sikap mahabah dan tunduk kepada-Nya. As-Saubaniyah yang dipimpin Abu Sauban mempunyai prinsip ajaran yang sama dengan paham­ al-Gailaniyah.

Hanya mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Berarti, kelompok ini mengakui adanya ke­wajiban yang dapat diketahui akal sebelum­ datangnya syariat.

Al-Marisiyah dipelopori Bisyar al-Marisi. Menurut paham ini, iman di samping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-Nya, juga harus diucapkan secara lisan. Jika tidak diyakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, bukan iman namanya. Adapun kufur merupakan kebalikan dari iman.

Al-Karamiyah yang perintisnya adalah Muhammad bin Karram mempunyai pendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya seseorang dapat diketahui melalui pengakuannya secara lisan.

Sebagai aliran yang berdiri sendiri, kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati lagi sekarang­. Walaupun demikian, ajarannya yang ekstrem itu masih didapati pada sebagian umat Islam. Adapun ajaran dari kelompok Murji’ah­ moderat, terutama mengenai pelaku dosa besar­ serta pengertian iman dan kufur, menjadi ajaran­ yang umum disepakati umat Islam.

Daftar Pustaka

Abdul Mu’in, M. Thaib Thahir. Ilmu Kalam. Jakarta: Wijaya, 1975.
Corbin, Henry. History of Islamic Philosophy, terj. Liadain Sherrard dan Philip Sherrard. London: Keegan Paul International, 1993.
Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press, 1983, London: Longman, 1983.
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang,­ 1982.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
Peters, F.E. A Reader on Classical Islam. New Jersey: Princeton, 1994.
asy-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim. al-Milal wa an-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Wolfson, Harry Austyn. The Philosophy of the Kalam. Cambridge, Massachusetts and London, England: Harvard University­ Press, 1976.

MUSDAH MULIA