Secara kebahasaan, al-munasabah berarti “berdekatan, bertalian darah, atau berserikat”. Dengan kata lain, munasabah berarti “mencari hubungan atau keterkaitan antara sesuatu dan yang lain”. Istilah ini dipakai dalam ilmu usul fikih dan tafsir dengan pengertian sama. Dalam usul fikih, munasabah dilihat dalam hubungan suatu kasus dan makna yang dikandung nas (ayat atau hadis), sehingga hukumnya dapat ditentukan.
Istilah “munasabah” muncul ketika para ahli usul fikih membicarakan konsep maslahat. Misalnya, Imam al-Ghazali (450 H/1058 M–505 H/1111 M) mengatakan bahwa kemaslahatan yang dapat diterima harus terkait dengan tujuan syariat secara umum agar dapat memelihara kebutuhan pokok manusia, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kata “munasabah” dalam hubungan ini tetap diartikan sebagai “keterkaitan antara sesuatu dan yang lainnya”.
Dalam ilmu tafsir, munasabah didefinisikan dengan “keterkaitan antara satu ayat dan ayat lain atau satu surah dan surah lain”. Dalam ayat serta surah ada hubungan antara yang satu dan yang lain, yang umum dan khusus, yang konkret dan abstrak, atau ada hubungan sebab akibat, hubungan keseimbangan, dan hubungan yang berlawanan, atau ada keserasian informasi Al-Qur’an dalam bentuk kalimat berita tentang alam semesta.
Ulama tafsir mengelompokkan hubungan di atas ke dalam dua kelompok besar, yaitu hubungan dalam bentuk keterkaitan redaksi dan hubungan dalam bentuk keterkaitan makna (kandungan) ayat atau surah. Karena pembahasan munasabah dianggap sebagai bagian penting dalam memahami ayat Al-Qur’an, para mufasir menjadikannya ilmu tersendiri dalam cakupan ilmu Al-Qur’an.
Munasabah adalah ilmu yang baru dibandingkan dengan ilmu Al-Qur’an lainnya. Tidak banyak mufasir yang menggunakan ilmu ini di dalam kitab tafsir mereka karena ilmu ini dipandang sulit dan rumit. Selain itu, ilmu ini juga kurang diminati untuk dikembangkan.
Orang yang pertama kali membahas ilmu munasabah adalah Abu Ja‘far bin Zubair, ahli ilmu Al-Qur’an abad ke-3 H atau 4 H. Kemudian ia diikuti Fakhruddin ar-Razi (543 H/1149 M–606 H/1209 M) dalam tafsirnya Mafatih al-Gaib (Pembuka yang Gaib). Menurut Jalaluddin as-Suyuti (849 H/1445 M–911 H/1505 M), ilmu ini pertama kali dikembangkan Imam Abu Bakar an-Naisaburi (w. 324 H/936 M) di Baghdad, Irak.
Buku yang dipandang terlengkap membicarakan ilmu munasabah Al-Qur’an adalah Nazm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-suwar karya Ibrahim bin Umar al-Biqa‘i. Buku ini secara khusus membicarakan keterkaitan antara satu ayat dan ayat lain atau antara satu surah dan surah lain dalam Al-Qur’an.
Tidak semua ulama sependapat dengan adanya munasabah dalam Al-Qur’an karena penemuan terhadap munasabah itu merupakan masalah ijtihadi (masalah yang dihasilkan melalui pengerahan kemampuan intelektual, bukan dari ayat atau hadis Rasulullah SAW). Karena itu, tidak semua bentuk munasabah terdapat dan ditemukan dalam Al-Qur’an.
Imam Izz bin Abdussalam (577 H/1181 M–660 H/1262 M), misalnya, mengatakan bahwa munasabah merupakan satu cabang ilmu yang baik, tetapi untuk menentukan adanya hubungan dan jalinan antara satu ayat dan ayat lain dalam Al-Qur’an amat sulit karena konteks ayat itu berbeda. Jika konteksnya berbeda, munasabah tidak boleh dipaksakan hingga antara satu ayat dan ayat lain atau antara satu surah dan surah lain saling berkaitan.
Orang yang berusaha mencari keterkaitan tersebut berarti menyiksa diri sendiri. Karena, selain dapat berbeda dalam konteks, ayat tersebut dapat pula berbeda dalam sebab turunnya. Di samping itu, Al-Qur’an sendiri diturunkan Allah SWT dalam rentang waktu yang be gitu panjang dengan kasus dan hukum yang berbeda. Oleh sebab itu, ketidaktersusunan dan tidak adanya hubungan antara ayat yang berbeda-beda itu wajar terjadi.
Akan tetapi, mayoritas ulama membantah pendapat Imam Izz bin Abdussalam ini. Mereka mengatakan, sudah menjadi kesepakatan seluruh umat Islam bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan peran taraan Malaikat Jibril adalah Al-Qur’an yang sama dengan yang terdapat di lauh mahfuz (catatan tentang ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT).
Oleh karena itu, ayat dan surahnya telah tersusun rapi. Tugas para mufasir adalah meneliti dan membahas dengan cermat keterkaitan antara satu ayat dan ayat lain atau satu surah dan surah lain. Hanya saja, menurut al-Biqa‘i, setiap orang memiliki kelebihan dan kelemahan. Demikian pula halnya dengan para mufasir. Mereka juga mempunyai keterbatasan, sehingga tidak perlu memaksakan diri untuk mencari-cari munasabah ayat atau surah.
Dalam kaitan inilah ulama tafsir membuat kaidah “al-munasabah amr ma‘qul idza ‘aradha ‘ala al-‘uqul talaqqathu bi al-qabul” (munasabah adalah perkara rasional; apabila didasarkan pada logika yang benar, akal akan menerimanya).
Az-Zarkasyi, ahli tafsir, dalam bukunya al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Pedoman dalam Ilmu Al-Qur’an) menyebutkan tujuh macam munasabah.
(1) Munasabah antara satu surah dan surah berikutnya. Misalnya, surah al-Fatihah berkaitan erat dengan surah al-Baqarah dan ungkapan alhamdulillah (segala puji bagi Allah) berkaitan dengan surah al-Baqarah (2) ayat 152 dan 186.
(2) Munasabah antara akhir satu surah dan awal surah berikutnya. Misalnya, akhir surah al-Fatihah berkaitan erat dengan awal surah al-Baqarah. Jika akhir surah al-Fatihah mengandung doa agar umat Islam diberi jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang diberi nikmat, awal surah al-Baqarah menjawab doa tersebut dengan petunjuk agar umat Islam berpedoman pada Al-Qur’an. Orang yang menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya akan mendapat nikmat dan tidak dimurkai Allah SWT.
(3) Munasabah antara pembuka dan kandungan sebuah surah, seperti surah Qaf yang mayoritas ayatnya mengguna kan huruf qaf. Sebagai contoh, al-qaul (perkataan), al-qurb (dekat), al-qalb (hati), dan Al-Qur’an. Demikian juga dalam surah ar-Ra‘d yang dimulai dengan kalimat alif lam ra, seperti kata al-‘arsy, al-qamar (bulan), ats-tsamarat (buah-buahan), al-ardh (bumi), at-turab (tanah), an-nar (neraka), al-arham (hu bungan silaturahmi), an-nahr (sungai), dan ar-ra‘d (guruh).
(4) Munasabah antara awal dan akhir sebuah surah. Awal surah al-Qasas menceritakan perjuangan Nabi Musa AS dalam melawan kekuasaan Fir’aun dan usahanya untuk keluar dari Mesir atas perintah dan bantuan Allah SWT. Adapun pada akhir surah tersebut Allah SWT menyampaikan berita gembira kepada Nabi Muhammad SAW dengan menjanjikan akan mengembalikan beliau ke Mekah setelah sebelumnya melakukan hijrah ke Madinah karena adanya tekanan dan siksaan dari kafir Quraisy Mekah. Pada awal surah itu diceritakan juga bahwa Nabi Musa AS tidak akan menolong orang yang berbuat dosa, sementara pada akhir surah itu juga Allah SWT melarang Nabi SAW untuk menolong orang kafir.
(5) Munasabah antara nama dan isi sebuah surah. Misalnya, surah al-Fatihah (Pembukaan) memiliki banyak nama, antara lain Fatihah al-Kitab (Pembuka Kitab), Umm Al-Qur’an (Induk Al-Qur’an), Sab‘ al-Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang dalam Salat), al-Kanz (Perbendaharaan), dan al-Asas (Fondasi). Nama ini sesuai dengan kandungan yang ada dalam surah al-Fatihah itu; nama satu surah menggambarkan isi surah atau isinya mendominasi surah tersebut.
(6) Munasabah antara satu ayat dan ayat lain dalam sebuah surah. Misalnya, surah al-Baqarah (2) ayat 1–20. Keduapuluh ayat ini membicarakan tiga kelompok sosial, yaitu orang mukmin (ayat 1–5), orang kafir (ayat 6 dan 7), dan orang munafik (ayat 8–20). Pada setiap kelompok dibicarakan pula sifat ketiga kelompok tersebut. Jika suatu surah cukup pendek, seluruh ayatnya saling mendukung. Misalnya, surah al-Ikhlas yang terdiri dari 4 ayat. Keterkaitan antara keempat ayat itu sangat terlihat dan semuanya saling mendukung.
(7) Munasabah antara penutup satu ayat dan isi ayat itu sendiri. Misalnya, firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah as-Sajdah (32) ayat 26:
“Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu. Sesungguh-nya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Tuhan). Maka apakah mereka tidak men dengarkan (memperhatikan)?”
Dalam ayat ini Allah SWT mempertanyakan apakah hukuman yang diberikan-Nya kepada umat sebelumnya yang tidak mematuhi perintah-Nya tidak dapat menjadi petunjuk bagi umat Nabi SAW. Hal itu ditegaskan kembali oleh Allah SWT di akhir ayat.
Berdasarkan beberapa riwayat dari Rasulullah SAW yang berkaitan dengan susunan ayat Al-Qur’an, terlihat bahwa susunan ayat itu bersifat tauqifi (atas petunjuk Allah SWT atau Rasul-Nya). Adapun yang berkaitan dengan susunan surah Al-Qur’an, terdapat tiga pendapat.
Pendapat pertama mengatakan bahwa susunan surah juga bersifat tauqifi. Pendapat ini dianut jumhur (mayoritas) ulama tafsir. Pendapat kedua mengatakan bahwa susunan surah dalam Al-Qur’an bersifat ijtihadi. Pendapat ketiga mengatakan bahwa seba-gian susunan surah bersifat tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, para ahli tafsir memberikan petunjuk bagaimana cara mengetahui munasabah antara satu surah dan surah lain atau satu ayat dan ayat lain. Abdul Qadir Ahmad Ata, ahli tafsir, dalam bukunya yang berjudul Dirasah fi al-Wahdah al-Maudhu‘iyyah li Al-Qur’an (Pembahasan tentang Kesatuan Topik Al-Qur’an) mengemukakan cara mengetahui munasabah tersebut:
(1) melihat tema sentral surah, (2) mencari premis yang di perlukan untuk mendukung tema sentral itu, (3) mengadakan pengelompokan terhadap premis itu, dan (4) melihat pernyataan yang saling mendukung antara yang satu dan lain.
Di samping keempat langkah tersebut sebagai petunjuk umum, pengetahuan munasabah harus didukung pula dengan berbagai pengetahuan lain mengenai Al-Qur’an, terutama pengetahuan Dzauq adabi (rasa bahasa). Dalam kaitan ini para mufasir mengatakan bahwa urutan turunnya ayat dan sebab turun ayat yang tidak sejalan tidak selalu menjadi pertimbangan dalam mencari munasabah.
Ilmu asbab an-nuzul (sebab turunnya ayat Al-Qur’an) merupakan salah satu faktor pendukung dalam mengetahui munasabah ayat; sewaktu-waktu faktor tersebut dapat dikesampingkan jika dengan cara itu akan terlihat munasabah ayat atau surah.
Bagi para mufasir, ilmu munasabah lebih penting daripada ilmu asbab an-nuzul. Subhi as-Salih (ahli ilmu tafsir) mengatakan, wajar jika penjelasan tentang munasabah didahulukan dari asbab an-nuzul karena begitu banyak manfaat yang timbul dari ilmu munasabah. Apalagi kaidah tafsir mengatakan, “Patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum, bukan penyebab turunnya ayat yang bersifat khusus (al-‘ibrah bi umum al-lafz la bi khusus as-sabab).”
Daftar Pustaka
Ata, Abdul Qadir Ahmad. Dirasah fi al-Wahdah al-Maudhu‘iyyah li Al-Qur’an. Cairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t.
Qaththan, Manna’. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1976.
as-Salih, Subhi. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayiyin, 1977.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar. al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.
Syahbah, Muhammad bin Muhammad Abu. al-Madkhal li Dirasah Al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Jail, 1992.
az-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdullah. al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1957.
az-Zarqani, Muhammad Abdul Azim. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an. t.tp.: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.
Nasrun Haroen