Secara kebahasaan, al-munajah berarti “berbisik atau berbicara secara rahasia”. Sebagai istilah, munajat berarti “beribadah (perbuatan, ucapan, maupun doa sepenuh hati, khusyuk, dan tawaduk) dengan suara lembut hingga terasa dekat dengan Allah SWT” untuk mengharap rida, ampunan, hidayah, dan pertolongan-Nya. Ini bisa tercapai dalam posisi dekat; yang dicapai dalam posisi tidak dekat disebut al-munada (memanggil).
Munajat dalam arti “berbisik atau berbicara secara rahasia”, dapat dilihat dalam beberapa firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, yakni dalam surah al-Mujadilah (58) ayat 12 yang berarti:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu meng adakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Demikian pula dalam surah al-Mujadilah (58) ayat 7 yang berarti:
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jum-lah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Dan Allah SWT juga berfirman dalam surah Yusuf (12) ayat 80 yang berarti: “Maka tatkala mereka berputus asa, dari pada (putusan) Yusuf, mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik….”
Munajat dalam arti posisi yang sangat dekat kepada Allah SWT pernah dialami Nabi Musa AS ketika ia dipanggil Allah SWT. Ia berkata, “Ya Tuhan, adakah Engkau jauh, sehingga aku memanggil-Mu? Ataukah dekat sehingga aku berbisik (munajat) kepada-Mu?” Kemudian Allah SWT berfirman,
“Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan Gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami)” (QS.19:52).
Munajat dilakukan dengan cara memusatkan konsentrasi dan mengosongkan hati, sehingga yang ada hanya perasaan selalu dekat kepada Allah SWT dengan sedekat-dekatnya. Hal ini bisa ditempuh dalam salat, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.
Yang termasuk bermunajat kepada Allah SWT adalah membaca Al-Qur’an, berdoa dengan sepenuh hati dalam segala permohonannya, atau berzikir dengan lisan melalui bacaan tahmid (alhamduli Allah: segala puji bagi Allah) atau tamjid (al-majdu li Allah: keagungan bagi Allah) dengan tujuan memperoleh rida dan dekat kepada-Nya. Karena itu Allah SWT lebih dekat pada bisikan orang yang bermunajat daripada orang tersebut dengan ucapannya sendiri.
Adapun manfaat munajat adalah untuk memperoleh kekhusyukan dan ketenangan serta dekat dan mendapat cinta Allah SWT. Permohonan dan upaya orang yang dekat kepada Allah SWT akan dikabulkan-Nya.
Para sufi tidak mencantumkan munajat sebagai satu maqam yang harus dilewati, tetapi munajat akan senantiasa dibutuhkan dalam setiap kegiatan ibadah. Beberapa kitab hadis, seperti Sahih al-Bukhari (kumpulan hadis Imam Bukhari), Sahih Muslim (kumpulan hadis Imam Muslim), Musnad Ahmad (kitab hadis Imam Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali), dan Sunan Abu Dawud (kumpulan hadis Abu Dawud), menjelaskan munajat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan salat itu sendiri.
Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dari Hammam diceritakan bahwa Hammam mendengar ucapan Abu Hurairah yang meriwayatkan hadis dari Nabi SAW.
“Jika salah seorang kamu mengerjakan salat, maka janganlah meludah di depannya, karena sesungguhnya ia sedang bermunajat kepada Allah selama berada pada tempat salatnya, juga jangan ke samping kanannya, karena pada samping kanannya terdapat malaikat, dan hendaklah meludah ke samping kirinya atau di bawah kakinya, kemudian memendamnya.”
Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang salat itu sedang bermunajat kepada Allah SWT. Begitu juga hadis riwayat Bukhari dari Anas bin Malik. Nabi SAW bersabda,
“Tegaklah dalam bersujud dan jangan gelar (lebarkan) kedua tangan (zira‘)nya seperti anjing, dan apabila meludah, janganlah meludah di antara muka dan belakangnya, juga jangan pada samping kanannya, karena sesungguhnya ia sedang bermunajat kepada Tuhannya.”
Dalam arti yang lebih umum, munajat berarti “persembahan”, sebagai ungkapan rasa hormat dan kekaguman. Misalnya, Ahmad Muhammad al-Hufy dalam mengantarkan bukunya yang berjudul Akhlak Nabi Muhammad SAW, Keluhuran dan Kemuliaannya memakai kata “munajat”.
Tetapi lebih lazim istilah ini digunakan dalam upaya manu sia mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah SWT melalui ibadah yang telah Allah SWT perintahkan kepada hamba-Nya.
Bagi seorang sufi, kedekatan dirinya dengan Tuhan merupakan tujuan maksimal. Karena itu munajat sudah tentu merupakan salah satu syarat yang tak dapat diabaikan. Selain itu seorang sufi masih harus melalui maqam seperti tobat, zuhud, sabar, kefakiran, rendah hati, takwa, tawakal, rida, cinta, dan makrifat. Semua maqam ini tidak dapat dilalui tanpa munajat.
Terhadap orang yang sedang bermunajat kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW mengajarkan dalam satu sabdanya yang berarti:
“Kalau saja salah seorang kamu mengetahui bagaimana keadaan orang yang melewati (di depan) saudaranya yang sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka sungguh ia akan berhenti di tempat itu selama seratus tahun adalah lebih ia sukai daripada apabila ia melewatinya” (HR. Imam Ahmad dari Abu Hurairah).
Hadis ini menunjukkan betapa pentingnya bermunajat kepada Allah SWT dan juga betapa sulitnya melakukan munajat yang sebenarnya. Karena itu hendaklah seseorang tidak menimbulkan gangguan terhadap orang yang sedang berkonsentrasi dalam munajatnya kepada Allah SWT. Gang guan tersebut dinilai demikian buruknya sehingga lebih baik menunggu begitu lama daripada menimbulkan gangguan yang dapat merusak munajatnya.
Daftar Pustaka
Abu Dawud. Sunan Abu Dawud. Cairo: Maktabah al-Babi al-Halabi, 1952.
al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
al-Hufi, Ahmad Muhammad. Akhlak Nabi Muhammad SAW: Keluhuran dan Kemuliaannya, terj. Masdar Helmi dan Abd Khalik Anwar. Jakarta: Bulan Bintang, t.t.
Ibnu Hanbal, Ahmad. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Muhasibi, Haris bin Asad. al-Masa’il fi A‘mal al-Qulub wa al-Jawarih wa al-Makasib wa al-‘Aql. Cairo: ‘Alam al-Kutub, t.t.
an‑Naisaburi, Ibnu al‑Husain Muslim. Sahih Muslim. Beirut: Dar al‑Fikr, 1988.
Ahmad Rofiq