Mukti Ali adalah menteri Agama RI pertama yang bukan dari partai politik, lain dari sebelumnya. Ia menjadi menteri Agama pada Kabinet Pembangunan I (1971–1973) dan II (1973–1978). Ketika menjadi menteri Agama, ia melakukan banyak pembaruan dan muncul istilah “pembangunan manusia Indonesia seutuhnya”.
Ketika masih kecil, anak ke-5 dari 7 bersaudara pasangan Abu Ali dan Khadidjah ini bernama Boedjono. Ia memperoleh pendidikan di Pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur, kemudian juga pernah belajar di Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta, yang merupakan cikal bakal Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Tidak seperti mahasiswa pada umumnya, yang menempuh pendidikan pada S1, S2, dan S3 secara bertingkat, Mukti Ali justru mengambil pendidikan doktoral lebih dulu, baru mengambil master. Doktor di bidang Sejarah Islam diperolehnya dari Universitas Karachi, Pakistan, 1955.
Master of arts di bidang Perbandingan Agama diperolehnya dari McGill University, Canada, 1957. Selanjutnya ia meraih gelar guru besar (profesor) di bidang Perbandingan Agama dari IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Sebagai seorang ilmuwan, kedudukan di Departemen Agama tidak membuat Mukti Ali kehilangan semangat intelektualnya. Ketika menjadi orang nomor satu di Departemen Agama, ia melakukan banyak pembaruan. Pada masa Mukti Ali muncul istilah “pembangunan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya”.
Konsep “pembangunan manusia seutuhnya”, bertitik tekan pada aspek manusia de ngan religiositasnya. Dalam pandangan Mukti Ali, menekankan pembangunan ekonomi saja akan menyebabkan tumbuh suburnya kapitalisme dan imperialisme; sedangkan dengan konsep “pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya” diharapkan diskriminasi pembangunan antar kelompok etnik dan daerah dapat dihindari.
Kelahiran Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga tak lepas dari usaha Mukti Ali. Dasar pemikirannya adalah bahwa komunitas agama seperti Katolik, Protestan, Hindu, dan, Buddha sudah mempunyai wadah, sedangkan umat Islam yang merupakan jumlah terbesar di republik ini justru belum mempunyai wadah yang menampung mereka secara keseluruhan. Yang ada baru berupa organisasi yang mewakili suatu golongan tertentu saja.
Karena itu, Mukti Ali membentuk MUI yang diwakili semua umat Islam. MUI diharapkan menjadi media komunikasi antara pemerintah dan umat Islam, atau kelompok tertentu dan kelompok sejenis.
Dengan adanya media sebagai wadah komunikasi itu, diharapkan tidak ada lagi saling curiga antara pemerintah dan umat Islam sehingga pembangunan pun berjalan dengan baik.
Ketika pertama kali MUI dibentuk, kedudukan ketua dipegang Prof. Dr. HAMKA, dan wakilnya adalah KH Syukri Ghozali. Pada saat pelantikan pengurus baru MUI itulah Mukti Ali menyatakan, “Mulai saat ini dikubur saling mencurigai dan dibentuk kerja sama antara ulama dan umara.” Pada waktu itu saling curiga antara umat Islam dan pemerintah, atau sebaliknya, cukup mewarnai suhu politik Indonesia.
Sebagai seorang ilmuwan dalam bidang Perbandingan Agama, Mukti Ali adalah pencetus konsep agree in disagreement, yang merupakan bekal buat mereka yang mendalaminya atau siapa saja yang hidup di negeri yang pluralis.
Tentang konsepnya itu, Mukti Ali menjelaskan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Yogyakarta pada 12 Juli 1964 bahwa agree in disagreement (setuju dalam ketidaksetujuan atau setuju dalam perbedaan) harus menjadi pegangan bagi orang yang terjun dalam Perbandingan Agama.
Malah bukan dalam Perbandingan Agama saja, dalam segi pergaulan hidup pun semboyan agree in disagreement itu harus diterapkan. Dengan konsep agree in disagreement tersebut, menurut Mukti Ali, orang yang mempelajari ilmu Perbandingan Agama tidak perlu mengorbankan keyakinannya karena mempelajari agama tertentu.
Konsep tersebut pada abad milenium ini dikenal dengan istilah “lintas batas agama”. Artinya, seseorang bisa saja mempelajari agama tertentu tanpa masuk dan larut ke dalam agama yang dipelajarinya. Apabila ia seorang muslim, ia tetap menjadi seorang muslim meskipun mempelajari selain agama Islam, baik untuk kepentingan ilmiah maupun spiritualitasnya.
Mukti Ali juga meluncurkan konsep “kerukunan hidup umat beragama”. Konsep ini adalah kelanjutan dari konsep agree in disagreement. Dalam konsep ini, masyarakat dengan agama yang beragam dapat hidup rukun.
Dalam pandangan Mukti Ali, apabila masyarakat beragama di Indonesia tidak dapat hidup rukun, maka pembangunan nasional akan terhambat, bahkan gagal di tengah jalan. Karena itu, sewaktu ia menjadi menteri Agama, dengan semangat yang tinggi Mukti Ali aktif mengadakan dialog antar-umat beragama.
Kemudian pada era H Alamsjah Ratu Perwiranegara menjadi menteri Agama menggantikan Mukti Ali konsep ini dikembangkan menjadi Trilogi Kerukunan, yang terdiri dari kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan ke-rukunan antara umat beragama dan pemerintah.
Pembaruan di IAIN juga digulirkan Mukti Ali. Ketika masih menjadi menteri Agama, dalam berbagai forum yang terkait ia menggugat beberapa kelemahan IAIN, yakni dalam penguasaan bahasa asing selain Arab (khususnya Inggris), minat ilmu, dan metode penelitian ilmu Islam.
Kelemahan pertama menyebabkan orang tidak dapat mengakses sumber Islam yang berasal dari bahasa Inggris. Padahal, sumber Islam yang berbahasa Inggris itu banyak tersebar di negara Eropa dan Amerika, yang sebagian juga ditulis ilmuwan muslim.
Selain itu, karena tidak menguasai bahasa Inggris, pikiran keislaman para sarjana dari Indonesia tidak bergaung di dunia internasional; kalaupun bergaung, hanya sebatas kawasan negeri yang berbahasa Melayu.
Untuk mengatasinya, Mukti Ali membangun pusat bahasa di setiap IAIN. Adapun untuk mengatasi kelemahan kedua dan ketiga, pintu belajar ke luar negeri, ke Timur Tengah dan Barat, harus dibuka lebar-lebar.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Burhanuddin Daya, dan Djam’annuri, ed. 70 Tahun H A. Mukti Ali: Agama dan Masyarakat. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993.
Mukti Ali, A. Metode Memahami Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Tim Redaksi Tempo. Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985–1986. Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1986.
Herry Mohammad