Muhammadiyah adalah salah satu organisasi massa Islam dan organisasi dakwah amar makruf nahi munkar yang berakidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan sunah. Secara etimologis nama ini berasal dari kata “Muhammad”, yaitu nama Rasulullah SAW yang ditambah ya’ nisbah dan ta’ marbutah yang berarti “pengikut Nabi Muhammad SAW”.
KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) menegaskan, “Muhammadiyah bukanlah nama perempuan melain kan berarti umat Muhammad, pengikut Muhammad, Nabi Muhammad SAW utusan Tuhan yang penghabisan.”
Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah yang baru, yang disesuaikan dengan Undang Undang No. 8 tahun 1985 dan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-41 (Surakarta, 7–11 Desember 1985), Bab I Pasal 1, dinyatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi munkar yang berakidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan sunah.
Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, didirikan KH Ahmad Dahlan pada 8 Zulhijah 1330 (18 November 1912) di Yogyakarta. Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang telah mengembuskan jiwa pembaruan pemikiran Islam di Indonesia dan bergerak di berbagai bidang kehidupan umat.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan kalangan Muhammadiyah yang menjadi faktor didirikannya organisasi ini oleh KH Ahmad Dahlan, antara lain:
(1) Ia melihat bahwa umat Islam tidak memegang teguh Al-Qur’an dan sunah dalam beramal sehingga takhayul dan syirik merajalela, akhlak masyarakat runtuh. Akibatnya, ama-lannya bercampur antara yang benar dan yang salah.
(2) Lembaga pendidikan agama yang ada pada waktu itu tidak efisien. Pesantren, yang menjadi lembaga pendidikan kalangan bawah, pada masa itu dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.
Pada waktu itu pendidikan di Indonesia telah terpecah dua, yaitu pendidikan sekuler yang dikembangkan Belanda dan pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ilmu yang berhubungan dengan agama.
Akibatnya, terjadi jurang pemisah yang sangat dalam antara golongan yang mendapat pendidikan sekuler dan golongan yang mendapat pendidikan di pesantren. Ini juga mengakibatkan terpecahnya rasa persaudaraan (ukhuwah islamiah) di kalangan umat Islam dan semakin melemahnya kekuatan umat Islam.
(3) Kemiskinan menimpa rakyat Indonesia, terutama umat Islam, yang sebagian besar adalah petani dan buruh.
Orang kaya hanya mementingkan diri sendiri, bahkan banyak ulama lupa mengingatkan umatnya bahwa Islam mewajibkan zakat bagi si kaya, sehingga hak orang miskin terabaikan.
(4) Aktivitas misi Katolik dan Protestan sudah giat beroperasi sejak awal abad ke-19 dan bahkan sekolah misi mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda.
(5) Kebanyakan umat Islam hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta, serta berpikir secara dogmatis. Kehidupan umat Islam masih diwarnai konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.
Melihat keadaan umat Islam yang demikian dan didorong pemahamannya terhadap surah Ali ‘Imran (3) ayat 104, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaru dan mengajak umat Islam untuk kembali menjalankan syariat sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.
Pada mulanya Muhammadiyah, sesuai dengan perkembangan yang ada pada masa awal kelahirannya, melakukan aktivitas sebagai berikut:
(1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang non-Islam. Hal ini dilakukan dengan mempergiat dan memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurniannya; memperteguh iman; menggembirakan (memotivasi dan memasyarakatkan) dan memperkuat ibadah; mempertinggi akhlak; mempergiat dan menggembirakan dakwah Islam serta amar makruf nahi munkar; serta mendirikan, menggembirakan, dan memelihara tempat ibadah dan wakaf.
(2) Mengadakan reformulasi doktrin Islam dengan pan-dangan alam pikiran modern.
(3) Mengadakan reformasi ajaran dan pendidikan Islam. Pembaruan Muhammadiyah terlihat dari dua sisi ketika itu, yaitu memberikan pelajaran agama Islam di sekolah Belanda dan mendirikan sekolah sendiri yang berbeda dengan sistem pesantren. Di sekolah ini, di samping pendidikan agama juga diberikan pendidikan umum; tidak dilakukan pemisahan antara murid laki-laki dan perempuan.
(4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan dari luar. Untuk itu Muhammadiyah berusaha membentengi para pemuda, pelajar, dan rakyat biasa dengan menimbul kan kesadaran beragama, dan berusaha untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupan mereka sesuai ajaran Islam. Di samping itu, rasa persatuan di kalangan umat Islam perlu digalang kembali.
Keempat hal yang merupakan tujuan ini, telah menjadi aktivitas Muhammadiyah sejak awal berdirinya. Tujuan ini dapat dilihat pada Anggaran Dasar Muhammadiyah ketika mengajukan permohonan kepada pemerintah kolonial Belanda mengenai pengesahan Perserikatan Muhammadiyah pada 20 Desember 1912. Di sana terlihat bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah itu disusun secara sederhana dalam dua kalimat, yaitu:
(1) memajukan serta menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam di kalangan sekutunya; dan
(2) memajukan serta menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam di kalangan sekutunya.
Kedua rangkaian kalimat tersebut mengandung arti yang sangat dalam yang dijabarkan dalam berbagai aktivitas Muhammadiyah ketika itu.
Sebagai badan hukum, Muhammadiyah baru diakui secara resmi oleh pemerintah Hindia Belanda pada 22 Agustus 1914, 2 tahun setelah KH Ahmad Dahlan mengajukan permohonannya.
Pengakuan pemerintah Hindia Belanda atas Muhammadiyah tercantum dalam Gouvernement Besluit No. 81 (Surat Keputusan Pe-merintah Hindia Belanda), tertanggal 22 Agustus 1914. Surat pengakuan atas berdirinya Perserikatan Muhammadiyah ini menyatakan bahwa Muhammadiyah diizinkan hanya untuk daerah Yogyakarta, serta berlaku selama 29 tahun.
Pengakuan ini kemudian diperbarui pada 16 Agustus 1920 melalui Gouvernement Besluit No. 40, tertanggal 16 Agustus 1920, yang mengizinkan Muhammadiyah untuk memperluas geraknya di seKaresidenan Yogyakarta.
Kemudian, pengakuan diperbarui lagi melalui Gouvernement Besluit No. 36, tertanggal 2 September 1921, yang mengizinkan Muhammadiyah bergerak mengembangkan aktivitasnya di luar Yogyakarta.
Jika masa berlakunya izin telah habis, yang dibatasi selama 29 tahun, harus diajukan permohonan perpanjangan waktu kembali. Namun, sebelum masa berlakunya habis, Belanda telah terusir dari Indonesia.
Oleh karena itu, permohonan izin diajukan kepada pemerintah Jepang yang menggantikan Belanda. Izin dari pemerintah Jepang tertuang dalam Surat Keputusan Pemerintahan Militer Jepang di Jawa-Madura pada 10 September 1943, dengan syarat:
(1) tidak boleh mengorganisasi kaum wanita sendiri seperti Fujinkai, dan tidak boleh mengorganisasi pemuda dan anak-anak seperti Seinendan dan Syenendam; dan
(2) dalam anggaran dasar harus dinyatakan bahwa kemakmuran bersama di Asia Timur Raya berada di bawah pimpinan Dai Nippon, dan hal itu harus diyakini sebagai yang diperintahkan oleh Tuhan Allah SWT.
Dengan syarat yang dikemukakan pemerintah militer Jepang ini maka Aisyiyah, Hizbul Wathan, serta bagian kepemudaan ditiadakan, dan semuanya digabung dalam Muhammadiyah; padahal ketiga bagian tersebut merupakan organisasi otonom di bawah Muhammadiyah.
Selanjutnya, kehendak Jepang pada butir (2) juga harus dimasukkan ke dalam anggaran dasar dan diikuti demi kesinambungan pergerakan Muhammadiyah.
Rumusan “Maksud dan Tujuan Muhammadiyah,” sejak berdirinya sampai sekarang, telah mengalami perubahan sebanyak enam kali. Di samping dimaksudkan untuk menyesuaikan gerak perjuangan yang akan dicapai Per serikatan Muhammadiyah dengan program yang dihasilkan, perubahan ini juga disebabkan ini paling penting–oleh penyesuaian yang dilakukan berdasarkan keinginan peratur-an perundang-undangan di Indonesia. Penyesuaian Maksud dan Tujuan Muhammadiyah tersebut secara berurutan adalah sebagai berikut:
(1) Pada awal berdirinya, Maksud dan Tujuan Muham madiyah dirumuskan sebagai berikut:
(a) menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada pen duduk bumiputra di dalam Karesidenan Yogyakarta; dan
(b) memajukan agama Islam kepada anggotanya.
(2) Setelah Muhammadiyah meluas ke luar daerah Yogy-akarta, dan setelah berdirinya beberapa cabang di wilayah Indonesia lainnya, rumusan Maksud dan Tujuan Muhammadiyah disempurnakan menjadi:
(a) memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Belanda; dan
(b) memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam kepada sekutunya.
(3) Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), sesuai dengan keinginan Jepang, rumusan Maksud dan Tujuan Muhammadiyah berbunyi:
“Sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan ke-makmuran bersama seluruh Asia Timur Raya di bawah pimpinan Dai Nippon, dan memang diperintahkan Tuhan Allah SWT, maka perkumpulan ini:
(a) hendak menyiarkan agama Islam serta melatihkan hidup yang selaras dengan tuntutannya;
(b) hendak melakukan pekerjaan kebaikan umum; dan
(c) hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada anggotanya; kesemuanya ini ditujukan untuk berjasa mendidik masyarakat ramai.”
(4) Setelah masa kemerdekaan, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada 1950, rumusan Maksud dan Tujuan Muhammadiyah diubah dan disempurnakan sehingga lebih mendekati jiwa dan gerak yang sesungguh-nya dari Muhammadiyah, dan berbunyi:
“Maksud dan Tujuan Persyarikatan adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”
(5) Maksud dan Tujuan Muhammadiyah hasil Muktamar Muhammadiyah ke-34 pada 1959 merupakan penyem purnaan dari Maksud dan Tujuan Muhammadiyah hasil Muktamar Muhammadiyah ke-31 pada 1950. Penyempurnaan ini hanya mengubah dua kata, yaitu kata “dapat mewujudkan” diubah menjadi “terwujud”.
Selengkapnya, Maksud dan Tu-juan Muhammadiyah hasil Muktamar Muhammadiyah ke-34 tahun 1959 tersebut adalah: “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”
(6) Setelah keluarnya Undang-Undang No. 8 tahun 1985 yang mewajibkan organisasi kemasyarakatan mencantumkan satu asas, yaitu Pancasila, maka terjadilah perubahan asas Muhammadiyah dari “Islam” menjadi “Pancasila”.
Akibatnya, rumusan Maksud dan Tujuan Muhammadiyah juga berubah. Perubahan ini dihasilkan melalui Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta, menjadi: “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridai Allah Subhanahu wa Ta‘ala.”
Tujuan Muhammadiyah sebagai yang dikemukakan di atas menjadi titik tolak dalam merumuskan landasan ideal atau cita-cita Muhammadiyah yang disebut dengan “Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah.”
Landasan ideal ini memberikan gambaran tentang pandangan hidup Muhammadiyah, tujuan hidup, serta metode untuk mencapai tujuan hidup tersebut.
Matan “Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah”, yang dirumuskan dalam Sidang Tanwir (institusi tertinggi dalam Muhammadiyah, setingkat di bawah muktamar) pada 1978 menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogya karta, memuat prinsip sebagai berikut:
(1) Muhammadiyah adalah gerakan yang berasaskan Islam, bekerja dan bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah di muka bumi.
(2) Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah SWT yang diwahyukan kepada para rasul-Nya sejak Nabi Adam AS, Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS, dan seterusnya sampai kepada nabi penutup, Muhammad SAW, sebagai hidayat dan rahmat Allah SWT kepada umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.
(3) Muhammadiyah mengamalkan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW, serta menggunakan akal pikiran sesuai ajaran Islam.
(4) Muhammadiyah bekerja demi terlaksananya ajaran Islam yang meliputi bidang akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah (kemasyarakatan) duniawi.
(5) Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat kurnia Allah SWT, berupa tanah air yang mempunyai sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berfilsafat Pancasila, untuk berusaha bersama-sama menjadikannya suatu negara adil dan makmur yang diridai Allah SWT.
Kelima butir matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, dalam penjelasannya, mengandung tiga pokok persoalan, yaitu ideologi pada butir (1) dan (2), paham agama menurut Muhammadiyah pada butir (3) dan (4), dan fungsi serta misi Muhammadiyah dalam masyarakat Negara Republik Indonesia pada butir (5).
Dalam perjuangan dan pergerakannya di tengah masyarakat Indonesia, Muhammadiyah juga merumuskan kepribadiannya yang berfungsi sebagai landasan, pedoman, dan pegangan bagi gerak perjuangannya menuju cita-cita terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (sekarang masyarakat utama, adil dan makmur diridai oleh Allah SWT).
Kepribadian Muhammadiyah ini berawal dari pidato KH Faqih Usman, seorang tokoh Muhammadiyah pada 1961, yang ia beri judul “Apakah Muhammadiyah Itu?” Pidato ini disampaikan di depan peserta kursus pimpinan Muhammadiyah seluruh Indonesia dan mendapat tanggapan serius dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang membentuk tim perumus materi “Kepribadian Muhammadiyah” tersebut.
Bahan untuk penyusunan rumusan Kepribadian Muhammadiyah ini berasal dari KH Faqih Usman, KH Farid Ma’ruf, KH Wardan Diponingrat, Dr. HAMKA, H Djarnawi Hadikusumo, M. Djindar Tamimy, dan M. Saleh Ibrahim. Rumusan Kepribadian Muhammadiyah tersebut adalah sebagai berikut:
(1) beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan;
(2) mem perbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah islamiah;
(3) berlapang dada dan berpandangan luas dengan memegang teguh ajaran Islam;
(4) bersifat keagamaan dan kemasyarakatan;
(5) mengindahkan segala hukum, undang-undang, dan peraturan serta dasar dan filsafat negara yang sah;
(6) amar makruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik;
(7) aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud islah dan pembangunan sesuai dengan ajaran Islam;
(8) bekerjasama dengan golongan Islam mana pun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya;
(9) membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai mas-yarakat yang adil dan makmur yang diridai Allah SWT; dan
(10) bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana.
Hasil rumusan Kepribadian Muhammadiyah ini disahkan oleh Sidang Tanwir Muhammadiyah yang diadakan pada 25– 28 Agustus 1962, dan dibawa ke Muktamar Muhammadiyah ke-35 serta diterima sebagai pegangan organisasi Muham madiyah dan sekaligus sebagai ciri dan sifat Muhammadiyah.
Kemudian, rumusan matan Kepribadian Muhammadiyah ini mendapat perubahan dan perbaikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah atas kuasa Sidang Tanwir pada 1970 di Yogyakarta, dan disesuaikan dengan keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta.
Dalam melaksanakan usaha di berbagai bidang ke hidupan, sebagai yang tercantum dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Pasal 4 (11 butir) dan hasil penyesuaian dalam Muktamar Muhammadiyah ke-40 tahun 1978 di Surabaya, Muhammadiyah berpedoman pada Khittah Perjuangan yang terdiri atas dua pola, yaitu Pola Dasar Perjuangan dan Program Dasar Perjuangan.
Pola Dasar Perjuangan Muhammadiyah terdiri atas:
(1) Muhammadiyah berjuang untuk mencapai/me wujudkan suatu cita-cita dan keyakinan hidup yang ber sumber pada ajaran Islam.
(2) Dakwah Islam dan amar makruf nahi munkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dituntun oleh Rasulullah SAW adalah satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita dan keyakinan hidup tersebut.
(3) Dakwah Islam dan amar makruf nahi munkar tersebut harus melalui dua saluran secara serempak, yaitu:
(a) saluran politik kenegaraan (politik praktis), dan
(b) saluran masyarakat.
(4) Untuk melakukan perjuangan dakwah Islam amar makruf nahi munkar seperti yang dimaksud di atas, dibuat alat-alatnya yang berupa organisasi, yaitu:
(a) untuk saluran/ bidang politik kenegaraan (politik praktis) dengan alat organisasi politik (partai), dan
(b) untuk saluran/bidang masyarakat dengan alat organisasi non-partai.
(5) Muhammadiyah sebagai organisasi memilih dan menempatkan diri sebagai “Gerakan Islam dan Amar Makruf Nahi Munkar dalam Bidang Masyarakat.”
Untuk alat perjuangan dalam bidang kenegaraan (politik praktis), Muhammadiyah menyerahkannya kepada partai politik di luar organisasi Muhammadiyah.
(6) Muhammadiyah harus menyadari bahwa partai tersebut adalah sasaran amar makruf nahi munkar.
(7) Antara Muhammadiyah dan partai tidak ada hubungan organisatoris tetapi tetap mempunyai hubungan kemasyar-akatan.
(8) Masing-masing berdiri dan berjalan sendiri-sendiri menurut caranya sendiri-sendiri.
(9) Pada prinsipnya tidak dibenarkan adanya perangkapan jabatan, terutama jabatan pimpinan antara keduanya, demi tertibnya pembagian pekerjaan (spesialisasi).
Program Dasar Perjuangan Muhammadiyah dirumuskan dalam langkah kebijaksanaan sebagai berikut:
(1) memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai per serikatan yang menghimpun sebagian anggota masyarakat yang terdiri atas muslimin dan muslimat yang beriman teguh, taat beribadah, berakhlak mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat;
(2) meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara Republik Indonesia dan meningkatkan ke-pekaan sosialnya terhadap pesoalan dan kesulitan hidup masyarakat; dan
(3) menempatkan kedudukan Perserikatan Muham madiyah sebagai gerakan untuk melaksanakan dakwah amar makruf nahi munkar ke segenap penjuru dan lapisan mas-yarakat serta di segala bidang kehidupan di Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam besar di Indonesia, saat ini telah menjangkau seluruh wilayah Nusantara. Pertumbuhan ini dimulai sejak masa pemerintahan Hindia Belanda yang telah memberi izin kepada Muhammadi-yah untuk berdiri di luar Yogyakarta melalui Surat Keputusan No. 36 tertanggal 2 September 1921.
Dengan izin tersebut cabang-cabang Muhammadiyah bermunculan tidak saja di Pulau Jawa, tetapi juga telah menyeberang ke Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Di Sumatera Barat (Minangkabau) Muhammadiyah perta-ma kali didirikan di Sungai Batang Maninjau oleh Dr. Abdul Karim Amrullah pada 1925. Cikal-bakal Muhammadiyah di Sumatera Barat ini adalah Sandi Aman, organisasi yang didirikan H Abdul Karim Amrullah di Sungai Batang Maninjau pada pertengahan 1924.
Dalam waktu yang bersamaan Muhammadiyah juga didirikan di Padangpanjang oleh anak-anak muda, antara lain Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
Akan tetapi, Muhammadiyah yang secara resmi berdiri di Sumatera Barat dengan pengakuan Hoffbestuur (jaksa) Muhammadiyah Yogyakarta adalah Muhammadiyah Cabang Padangpanjang dengan Ketetapan Hoffbestuur (HB) No. 36 tertanggal 20 Juli 1927, yang dipelopori Saalah Yusuf Sutan Mangkuto dan Datuk Sati.
Di Aceh pertama kali benih Muhammadiyah dibawa Djajasukarta dan ditaburkan di Seutuy sekitar 1922/1923. Namun benih ini semakin subur dan menampakkan dirinya setelah A.R. Sutan Mansur melawat ke Seutuy, Sigli, Lhokseumawe, dan Kualasimpang pada 1927, sesudah Muktamar Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan.
Di Sumatera Timur Muhammadiyah baru tumbuh pada 1927 dibawa orang-orang dari Tapanuli, Sumatera Barat, dan Jawa. Para pendatang inilah yang pertama kali mendirikan cabang Muhammadiyah di Sumatera Timur.
Di Kalimantan Muhammadiyah masuk melalui para saudagar yang datang ke sana. Perintis berdirinya Muham madiyah di Kalimantan adalah H Usman Amin yang berasal dari Alabio, Hulu Sungai Utara. Dari catatan sejarah yang ada H Usman Amin dikenal sebagai anggota Muhammadiyah sejak 1923.
Ia kembali ke Alabio pada 1925. Dari Alabio Muhammadiyah masuk ke daerah Kuala Kapuas (Kalimantan Tengah) dibawa oleh seorang tokoh yang bernama Tamin pada 1925, dan secara resmi menjadi Cabang Kuala Kapuas pada 1927.
Di Kalimantan Selatan Muhammadiyah berdiri berkat pen-garuh dari Muhammadiyah di Alabio dan pedagang Alabio yang memasuki Kalimantan Selatan, yaitu kota Banjarmasin yang mempropagandakan Muhammadiyah di sana.
Mereka itu antara lain adalah Bastami Djantera. Muhammadiyah di Banjarmasin untuk pertama kalinya didirikan oleh seorang guru yang bernama Ushul di Teluktiram, Banjarmasin, pada 1926. Secara resmi Muhammadiyah di Banjarmasin menjadi cabang sejak 1931 yang diresmikan langsung oleh A.R. Sutan Mansur.
Di daerah Kalimantan Timur terdapat dua cabang Muhammadiyah, yaitu Cabang Balikpapan dan Cabang Samarinda. Muhammadiyah di Balikpapan pertama kali diperkenalkan oleh H Achmad Khudari dan disambut oleh H Dachlan, penduduk asli.
Di Martapura Muhammadiyah dibawa dari Banjarmasin oleh para mubalig. Pendiri Muhammadiyah Martapura adalah KH Muhammad Hasan Tjorong, yang kelak dikenal sebagai Konsul Hoffbestuur Ketua Majelis Perwakilan Pusat Pimpinan Muhammadiyah Daerah Kalimantan (Selatan, Tengah, dan Timur).
Di Sulawesi Muhammadiyah dipelopori oleh H Abdullah yang dikenal sebagai seorang orator dalam bahasa Bugis yang jarang ada tandingannya ketika itu. Pada 1928 M. Yunus Anis diutus Pimpinan Pusat Muhammadiyah ke Sulawesi.
Sejak saat itu Muhammadiyah makin berkembang di Sulawesi. H Abdullah juga meminta kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah agar HAMKA diutus tinggal di Sulawesi dengan maksud untuk kemapanan Muhammadiyah di Sulawesi. Permintaan ini dikabulkan pada pertengahan 1932. HAMKA dan keluar-ganya menetap di Sulawesi hingga 1934.
Dengan berkembangnya Muhammadiyah di seluruh pelosok Nusantara pada waktu itu, maka pembenahan organisasi secara menyeluruh mulai dilakukan sehingga struktur organisasi semakin baik.
Menurut Anggaran Dasar Pasal 6 dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, Perserikatan Muhammadiyah terdiri atas beberapa tingkat, yaitu:
(1) Ranting: kesatuan anggota di suatu tempat; dan merupakan satuan organisasi terbawah. Ranting ini dapat berdiri jika anggota Muhammadiyah di tempat tersebut telah lebih dari lima orang dan mempunyai amal usaha sebagai wadah gerakan mereka.
(2) Cabang: kesatuan Ranting-Ranting dalam suatu tempat. Untuk itu satu cabang dapat didirikan apabila di daerah tersebut sudah ada paling sedikit tiga Ranting, dan mempunyai amal usaha sebagai wadah gerakan dalam mencapai tujuan. Cabang ini setingkat dengan kecamatan dalam pemerintahan.
(3) Daerah: kesatuan Cabang dalam sebuah kabupaten atau kota madya, yang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga Cabang yang telah disahkan, dan mempunyai amal usaha sebagai wadah perjuangan dalam mencapai tujuan perserikatan.
(4) Wilayah: kesatuan Daerah-Daerah dalam sebuah propinsi atau yang setingkat, serta berkedudukan di ibukota propinsi. Suatu Wilayah dapat terbentuk jika di wilayah tersebut telah ada paling tidak tiga Daerah yang disahkan dan mempunyai amal usaha sebagai wadah perjuangan untuk tercapainya tujuan Perserikatan Muhammadiyah.
Pimpinan dalam Muhammadiyah juga bertingkat, mulai dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting.
Susunan pimpinan ini bersifat vertikal. Adapun secara horizontal, pimpinan Muhammadiyah dalam seluruh tingkat bisa berwujud ma jelis atau bagian. Untuk tingkat Daerah ke atas, pimpinannya secara horizontal disebut majelis, di samping juga dikenal badan-badan tertentu sesuai dengan kebutuhan. Untuk tingkat Cabang dan Ranting pimpinan secara horizontal ini disebut bagian.
Dalam melaksanakan program yang telah disusun oleh masing-masing tingkat pimpinan ini, majelis atau bagian yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan bekerja sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
Pimpinan dalam segala tingkat struktur Muhammadiyah, vertikal dan horizontal, adalah orang-orang yang telah memenuhi syarat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 5 Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, yaitu: telah menjadi anggota paling kurang 1 tahun, setia kepada asas, tujuan dan perjuangan perserikatan, taat kepada garis kebijaksanaan pusat, mampu dan cakap menjalankan tugas, dapat menjadi teladan yang baik bagi umat, tidak merangkap pimpinan organisasi politik, dan lain sebagainya.
Adapun majelis, sebagai pembantu pimpinan perseri katan, dalam melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya, antara Pusat, Wilayah, dan Daerah bisa berbeda.
Artinya, ada majelis atau badan yang di tingkat Pusat diadakan, sedangkan di tingkat di bawahnya tidak perlu ada. Majelis atau badan yang ada di dalam Perserikatan Muhammadiyah sebelum Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta pada 1985 terdiri atas: Majelis Tarjih, Majelis Tabligh, Majelis Pembina Kesejahteraan Umat, Majelis Pendidikan & Pengajaran, Majelis Hikmah, Majelis Ekonomi, Majelis Wakaf & Kehartabendaan, dan Majelis Pustaka.
Dalam perkembangannya kemudian, Majelis Pendidikan & Pengajaran yang selama ini membawahi antara lain masalah pendidikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-41 dibagi dua dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, yaitu Majelis Pendidikan & Kebudayaan, yang bertanggung jawab terhadap pendidikan mulai tingkat TK sampai tingkat SLTA, dan Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (Diktilitbang) yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan perguruan tinggi, bidang penelitian, dan lain-lain.
Pelaksanaan pembagian ini sangat mendesak karena jumlah sekolah-sekolah Muhammadiyah dari tingkat TK sampai perguruan tinggi sangat banyak, yang tidak mung-kin lagi ditangani oleh satu majelis. Data sebelum Muktamar Muhammadiyah ke-41 menunjukkan bahwa lembaga pendidikan Muhammadiyah berjumlah 12.400 lebih, yang terdiri atas pendidikan Muhammadiyah umum dan pendidikan agama.
Dari jumlah tersebut tercatat 15 universitas dan 23 perguruan tinggi lainnya; sisanya adalah sekolah TK sampai tingkat SLTA (agama dan nonagama). Agaknya berdasarkan data inilah Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan perlu didirikan. Akan tetapi untuk tingkat Wilayah dan seterusnya ke bawah, majelis ini tidak diperlukan, maka tidak didapati Diktilitbang ini di tingkat Wilayah.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta pada 15–19 Desember 1990, sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan, majelis-majelis ini mengalami perubahan dan penyempurnaan lagi, di samping adanya badan-badan khusus lainnya yang diperlukan.
Hasil Muktamar Muhammadiyah ke-42 tersebut menyebutkan bahwa majelis untuk tingkat Pusat terdiri atas: Majelis Tarjih, Majelis Tabligh, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah, Majelis Pendidikan Tinggi, Majelis Kebudayaan, Majelis Pustaka, Majelis Pembinaan Kesejahteraan Sosial, Majelis Ekonomi, Majelis Pembina Kesehatan, Majelis Wakaf & Kehartabendaan.
Di samping itu ada lagi lembaga lain yang setingkat majelis, yaitu Bidang Perencanaan & Evaluasi, Lembaga Bimbingan dan Pengawa-san Keuangan, Badan Pembinaan Kader, Badan Hubungan & Kerjasama Luar Negeri, Lembaga Hikmah & Studi Kemasyar-akatan, Lembaga Dakwah Khusus, Lembaga Pengembangan Masyarakat & Sumber Daya Manusia, Lembaga Pengkajian dan Pengembangan, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek).
Dengan memperbandingkan bentuk-bentuk majelis sebelum dan sesudah Muktamar Muhammadiyah ke-42 terlihat bahwa struktur dan lembaga majelis atau badan yang dibutuhkan Muhammadiyah semakin berkembang.
Hal ini sesuai dengan keinginan kalangan Muhammadiyah sendiri, yakni bahwa organisasi mereka sebagai Gerakan Tajdid dikelola secara profesional sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi Indonesia yang semakin berkembang.
Perangkat majelis yang dihasilkan oleh Muktamar Muhammadiyah ke-42 dan hasil sidang Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1990–1995 disesuaikan dengan tekad yang telah dicanangkan oleh Muhammadiyah sebelum muktamar, bahwa Muhammadiyah harus dikelola secara profesional dan dalam organisasi yang modern.
Setelah Muktamar Muhammadiyah ke-42, pengembangan seksi-seksi yang ada dalam majelis sudah sangat luas. Hal ini mencerminkan betapa Muhammadiyah ingin mengelola organisasinya dengan baik dalam rangka mencapai tujuan yang telah dicanangkan.
Majelis Tarjih mempunyai lima seksi, yaitu Seksi Pengkajian Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Seksi Pengkajian & Pengembangan Keputusan, Seksi Organisasi dan Kaderisasi Ulama, dan Seksi Hisab.
Majelis Pembina Kesehatan yang merupakan lembaga baru dalam Muhammadiyah juga dibagi atas beberapa bidang, yaitu Bidang Pembinaan & Pengem-bangan Pelayanan Medik, Bidang Pembinaan & Pengembangan Pendidikan Tenaga Kesehatan, Bidang Pengembangan Pembinaan Kesehatan Umat, Bidang Pengembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Umat, dan Bidang Usaha Obat dan Peralatan Medik.
Majelis-Majelis lainnya masih terdiri atas susunan kepengurusan karena keberadaannya belum diperlukan. Mayoritas personalia Pimpinan Pusat Muham-madiyah beserta majelis, badan, dan lembaganya terdiri atas para cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu di samping para kiai dan ulama.
Selanjutnya, majelis, badan, dan lembaga untuk tingkat Wilayah, Daerah, dan Cabang sesuai dengan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 38 tahun 1991, terdiri atas Majelis Tarjih, Majelis Tabligh, Majelis Pustaka, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah, Majelis Kebudayaan, Majelis Wakaf dan Kehartabendaan, Majelis Ekonomi,
Majelis Pembina Kesejahteraan Sosial, dan Majelis Pembina Kesehatan. Majelis-Majelis ini ditentukan untuk tingkat Wilayah dan Daerah; adapun untuk tingkat Cabang, majelis disebut sebagai bagian yang pembentukannya disesuaikan dengan kondisi objektif Cabang tersebut.
Badan atau lembaga yang dapat dibentuk untuk tingkat Wilayah sesuai dengan kondisi objektif adalah Badan Perencanaan & Evaluasi, Badan Pendidikan Kader, Lembaga Hikmah dan Studi Kemasyarakatan, dan Lembaga Pembinaan dan Pengawasan Keuangan.
Untuk tingkat Daerah, yang dibenarkan dibentuk sesuai dengan kebutuhan adalah Lembaga Pembinaan dan Pengawasan Keuangan dan Badan Pendidikan Kader. Di samping majelis, badan, dan lembaga yang ada, pimpinan perserikatan di setiap tingkat juga mempu nyai sekretariat eksekutif yang bertugas sebagai pembantu pimpinan di bidang administratif.
Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi yang besar juga mempunyai beberapa organisasi otonom yang gerak dan tujuannya sama dengan gerak dan tujuan Muhammadiyah.
Organisasi otonom yang dimaksud adalah Aisyiyah, Nasyi’atul Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, dan Tapak Suci. Secara rinci organisasi-organisasi otonom dalam Muhammadiyah dan bidang garapannya adalah sebagai berikut:
(1) Aisyiyah, bergerak dan berjuang di tengah-tengah kaum ibu atau muslimat Indonesia. Aisyiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada April 1917 karena didorong oleh kesadaran bahwa kaum wanita itu sejajar dengan pria dalam berbakti kepada Allah SWT.
KH Ahmad Dahlan melihat bahwa untuk itu Muhammadiyah harus menyiapkan wahana untuk membina kaum muslimat sehingga mereka dapat ikut serta bersama kaum pria menjunjung tinggi agama Islam dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.
(2) Nasyi’atul Aisyiyah, yaitu perkumpulan para putri Mu-hammadiyah, yang bidang garapannya adalah pembinaan remaja putri Islam, berdiri sejak 1930. Perkumpulan ini pada mulanya bernama Siswa Praja Wanita yang didirikan oleh Sitti Wasilah Hadjid.
Ketika itu Siswa Praja Wanita ini belum merupakan bagian dari Aisyiyah tetapi baru merupakan suatu perkumpulan remaja putri di Kauman Yogyakarta. Bersama dengan berdirinya Siswa Praja Wanita ini, juga berdiri Siswa Praja Pria. Kedua perkumpulan ini sering kali mengadakan rapat bersama dalam rangka mengembangkan gerakan mereka.
Setelah 5 tahun berdiri Siswa Praja Wanita, pimpinannya dipegang oleh Sitti Umniyah. Ketika itu perkumpulan Siswa Praja Wanita telah maju dengan pesat dan telah mampu berdiri sendiri tanpa bantuan Siswa Praja Pria.
Pada 1929 Siswa Praja Wanita telah menjadi bagian dari Aisyiyah, yang dipimpin oleh Sitti Zuchriyah. Organisasi ini semakin baik dan berkembang, berdiri dengan cabang-cabang dan ranting-ranting di luar Yogyakarta, bahkan di luar Jawa. Setelah itu nama Siswa Praja Wanita ditukar dengan Nasyi’atul Aisyiyah.
(3) Pemuda Muhammadiyah, dimaksudkan untuk membina dan menggerakkan potensi para pemuda Islam. Organisasi ini didirikan pada 2 Mei 1932/25 Zulhijah 1350 berdasarkan hasil keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Ujungpandang.
Pendirian organisasi ini juga dijiwai oleh firman Allah SWT dalam surah al-Kahfi (18) ayat 13, yang berarti, “Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahi mereka dengan petunjuk.”
Dalam Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke-4 di Jakarta pada 18–24 November 1986 dinyatakan bahwa pemuda Muhammadiyah merupakan pelopor gerakan, penyempurna amal usaha dan perjuangan, serta pelangsung kegiatan dan perjuangan Islam.
(4) Ikatan Pelajar Muhammadiyah, disingkat IPM, bertugas untuk membina dan menggerakkan potensi para pelajar Islam. Didirikannya organisasi ini bermula dari salah satu kepu-tusan Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke-1 pada 1956 di Palembang, yang isinya menetapkan “Langkah ke depan Pemuda Muhammadiyah Tahun 1956–1959” untuk menghimpun para pelajar Muhammadiyah agar menjadi pemuda Muhammadiyah.
Berdasarkan pemikiran ini, maka pada saat berlangsungnya Konferensi Daerah Pemuda Muhammadiyah se Indonesia di Surakarta pada 18 Juli 1961/5 Safar 1381 secara resmi didirikan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).
(5) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, disingkat IMM, ber-tugas membina dan menggerakkan potensi para mahasiswa Islam. Secara khusus IMM bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan, dan kemahasiswaan. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ini didirikan pada 14 Maret 1964/29 Syawal 1384.
(6) Tapak Suci, yang juga disebut Persatuan Pencak Silat Putra Muhammadiyah, pertama kali didirikan di Kauman Yogyakarta pada 31 Juli 1963 dengan mendapat restu dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pelopor pendirian Tapak Suci ini adalah tiga perguruan pencak silat di Kauman yang telah berdiri sejak 1925. Keanggotaan Tapak Suci terdiri atas
(a) Tingkat Anak-Anak untuk umur antara 12–16 tahun, dibagi atas 5 tingkat dengan tanda “teratai putih”;
(b) Tingkat Dewa-sa, untuk anggota yang berumur 17 tahun ke atas, juga dibagi atas 5 kelas dengan tanda “teratai cokelat”; dan
(c) Tingkat Pelatih, terbagi atas 4 kelas dengan tanda “teratai merah.”
(7) Hizbul Wathan (Kepanduan Muhammadiyah). Semula bernama Padvinder Muhammadiyah, didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 1918.
Pelopor berdirinya antara lain Siradj Dahlan dan Sarbini. Atas usul H Agus Salim, istilah Belanda tersebut diindonesiakan dengan “Kepanduan Muhammadiyah.”
Pada 1920, atas usul R.H Hadjid, Kepanduan Muhammadiyah berganti nama menjadi Hizbul Wathan (HW). Ada beberapa tingkatan pada HW: Tingkat Athfal untuk usia 8–11 tahun, Tingkat Pengenal untuk usia 12–16 tahun, dan Tingkat Penghela untuk usia 17 tahun ke atas.
Dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia HW banyak memberikan andil dalam mempersiapkan para pemuda untuk menghadapi penjajah Belanda, antara lain Jenderal Sudirman yang pada 18 Desember 1945 diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi panglima besar Tentara Keamanan Rakyat.
Berdasarkan SK Presiden RI No. 238/1961 tertanggal 20 Mei 1961, HW ditiadakan dan disatukan ke dalam Gerakan Pramuka (Praja Muda Karana).
Seluruh organisasi otonom Muhammadiyah tersebut di atas mempunyai tujuan dan maksud yang sama dengan tujuan dan maksud Muhammadiyah.
Struktur organisasinya juga bertingkat-tingkat, mulai dari Ranting, Cabang, Daerah, Wilayah sampai ke Pusat; mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta program sendiri.
Perangkat organisasi Muhammadiyah, amal usaha, dan perjuangan yang dilakukan telah memberikan andil yang cukup besar dalam mencapai dan mengisi kemerdekaan Indonesia.
Dari segi pendidikan, Muhammadiyah melalui sekolah-sekolahnya telah banyak melahirkan para pemimpin bangsa dan pemimpin masyarakat.
Kemudian dari segi dakwahnya, Muhammadiyah telah berusaha dan banyak menghasilkan pemberantasan terhadap ajaran-ajaran yang datang dari luar Islam; dari segi santunan sosial, Muhammadiyah juga telah ikut aktif menangani permasalahan yatim piatu dan kesehatan masyarakat melalui panti-panti asuhan dan rumah sakit serta klinik yang mereka miliki.
Muhammadiyah juga ikut secara aktif dalam memberikan saran dan pendapatnya terhadap suatu undang-undang yang akan ditetapkan oleh pemerintah melalui DPR/MPR, yang dimulai dari keikutser-taannya dalam merumuskan Dasar Negara dan Undang-Un-dang Dasar RI 1945, UU Perkawinan, UU Pendidikan, dan RUU Peradilan Agama.
Sejak berdirinya pada 1912, Muhammadiyah telah mengadakan beberapa kali muktamar dan mengalami beberapa kali pergantian pemimpin. Masing-masing periode pimpinan tersebut mempunyai ciri khas tersendiri.
Periode KH Ahmad Dahlan dikenal sebagai periode perintisan, pembentukan jiwa, amal usaha, dan organisasi Muhammadiyah, sehingga Muhammadiyah menduduki tempat terhormat sebagai pergerakan Islam Indonesia yang berpaham modern.
Periode KH Ibrahim adalah periode pengembangan Muhammadiyah ke luar Pulau Jawa, mulai berdirinya Majelis Tarjih sebagai wadah pembaruan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah, serta pada periode ini pula angkatan muda memperoleh organisasi yang nyata, seperti lahirnya Nasyi’atul Aisyiyah pada 1930, yang disusul kemudian oleh Pemuda Muhammadiyah pada 1932.
Periode KH Hisyam menumpukan perhatiannya pada masalah pendidikan dalam rangka mempersiapkan kader pemimpin.
Periode KH Mas Mansur membentuk dan mengisi jiwa gerakan Muhammadiyah. Perhatian terhadap Majelis Tarjih mendapat prioritas utama dengan merumuskan “Masalah Lima” yang terdiri atas masalah dunia, agama, kias, sabilillah, dan ibadah.
Untuk mendinamisasi Muhammadiyah disusun pula pada periode ini “Langkah Dua Belas” (suatu strategi yang ditetapkan Muhammadiyah dalam memasyarakatkan dan mengembangkan dakwah Islam, yang berisikan 12 butir), yang terdiri atas Langkah Ilmi dan Langkah Amali.
Periode Ki Bagus Hadikusumo terkenal dengan lahirnya Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang berisi pokok pikiran KH Ahmad Dahlan dalam melahirkan Muhammadiyah, yang digambarkan secara singkat dan sederhana. Muqaddimah ini menjadi landasan berpijak yang kuat dalam melancarkan amal usaha dan perjuangan Muhammadiyah.
Periode A.R. Sutan Mansur merupakan penanaman kembali dan pemantapan “Ruh Tauhid” (semangat tauhid) dalam Muhammadiyah, dan berhasil disusun langkah perjuangan yang dikenal dengan “Khittah Palembang” (langkah dan strategi Muhammadiyah dalam dakwah amar makruf nahi munkar yang dihasilkan Muktamar Muhammadiyah di Palembang) untuk periode 1956–1959.
Periode H M. Yunus Anis adalah periode ketika Indonesia mengalami kegoncangan sosial dan politik. Untuk menganti-sipasi keadaan tersebut Muhammadiyah perlu menunjukkan dirinya sehingga disusunlah “Kepribadian Muhammadiyah” sebagai pedoman penting dalam menentukan kedudukan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam, amar makruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan.
Periode KH Ahmad Badawi dikenal dengan semakin gi-atnya gerakan Partai Komunis sehingga di berbagai tempat Muhammadiyah mendapat kesulitan.
Muhammadiyah ikut serta berperan untuk menumbangkan Partai Komunis Indonesia. Dengan fatwa tegas KH Ahmad Badawi mengatakan bahwa “membubarkan PKI adalah ibadah.”
Periode KH Faqih Usman dan KH Abdur Rozzaq Fakhruddin dikenal dengan semboyan “Memuhammadiyahkan kembali Muhammadiyah” yang dilakukan dengan empat prioritas program, yaitu
(1) Program Gerakan Jemaah dan Dakwah Jemaah,
(2) Pemurnian Amal Usaha Muhammadiyah,
(3) Peningkatan Mutu Anggota dan Pimpinan, dan
(4) Pembinaan Angkatan Muda dalam Muhammadiyah.
Pada periode 1990–1995, di bawah pimpinan KH Ahmad Azhar Basyir, M.A., perhatian ditujukan pada pengembangan organisasi secara profesional dengan manajemen masa kini, kemudian peningkatan penyantunan kaum du‘afa’ (kaum lemah), peningkatan kualitas pimpinan, dan strategi dakwah pada era informasi dan industrialisasi.
Sesuai dengan zamannya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada periode ini menghadapi tantangan yang lebih sulit dan memerlukan penanganan secara profesional.
Untuk itu struktur organisasi lebih dikembangkan sehingga diharapkan tujuan Muham madiyah dapat dicapai secara terencana, terarah, dan berkesinambungan di berbagai bidang kehidupan sesuai dengan gerak langkah Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang telah tersebar di seluruh pelosok Tanah Air, juga oleh sebagian umat Islam di luar negeri.
KH Ahmad Dahlan sendiri pernah mengatakan bahwa “Muhammadiyah ini menjadi ‘bapak dunia’, sebagaimana juga Aisyiyah menjadi ‘ibu dunia’.” Ungkapan ini menggambarkan keinginan KH Ahmad Dahlan untuk juga memperluas Muhammadiyah ke luar negeri.
Ketika KH Fakhruddin menjabat sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah, permasalahan mendirikan Muhammadiyah di luar negeri menjadi salah satu topik pembahasan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta pada 8–16 Mei 1931. Dari 25 cabang yang hadir, hanya satu yang tidak menyetujui ide pendirian Muhammadiyah di luar negeri, yaitu Cabang Sragen yang menganggap bahwa belum masanya Muham madiyah melebarkan sayapnya ke luar negeri.
Kemudian, pada Muktamar Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada 1933 permasalahan ini dibicarakan lagi. Memang ada suatu usaha untuk membentuk suatu komisi yang akan menyelidiki dan membuat peraturan akan berdirinya Muhammadiyah di luar negeri, namun agaknya realisasinya amat sulit karena adanya perbedaan pemerintahan.
Beberapa kali dari “tanah seberang” (Tanah Melayu) datang permintaan agar didirikan Muhammadiyah di negeri mereka. Keinginan sebagian umat Islam di Singapura, Malaysia, dan Thailand untuk mendirikan Muhammadiyah sulit untuk dipatahkan sehingga pada 25 Desember 1957 berdirilah Muhammadiyah Singapura, dengan perintis pertamanya, Ustad Abdul Rahman Haron.
Dari latar belakang pendirian Muhammadiyah Singapura ini terlihat bahwa permasalahan yang dihadapi Abdul Rahman Haron sama dengan persoalan yang dihadapi KH Ahmad Dahlan ketika akan mendirikan organisasi Muhammadiyah.
Di Pulau Penang, Malaysia Muhammadiyah didirikan buat pertama kali oleh Ustad Zainal Abidin Zam Zam pada 1967. Di samping itu Muhammadiyah di Malaysia juga mempunyai dua organisasi otonom, yaitu Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah.
Di Thailand Muhammadiyah didirikan secara resmi pada 11 Agustus 1988 di Kabupaten Canak, Propinsi Songkhla, Thailand Selatan. Berdirinya Muhammadiyah di daerah ini diawali dengan pertemuan para cendekiawan Islam yang umumnya bekas alumni pendidikan di Indonesia.
Pertemuan ini diadakan di Pattani. Ketua pertama pengurus Muhammadiyah yang dihasilkan pertemuan tersebut adalah Abdul Halim Dinaa, yang dikenal sebagai pelopor dan perintis Muhammadiyah di Thailand, alumni Fakultas Ilmu Agama Jurusan Dakwah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Banyak kaum muslimin dari berbagai negara ingin mendirikan Muhammadiyah di kampung mereka masing-masing, namun Muhammadiyah Indonesia hanya dapat memberikan semangat dan bantuan serta petunjuk pendirian organisasi karena campur tangan langsung ke negeri tersebut tidak sesuai dengan peraturan yang ada baik di Indonesia maupun di negeri itu sendiri.
Sekalipun Muhammadiyah di luar negeri tidak terkait secara organisatoris dengan Muhammadiyah di Indonesia, keterkaitan moral tetap berlangsung sehingga setiap kali Muhammadiyah melakukan muktamarnya, utusan-utusan dari Muhammadiyah di luar negeri senantiasa diundang, dan mereka hadir.
Cita-cita KH Ahmad Dahlan untuk menggairahkan dan menggembirakan pelaksanaan ajaran Islam sesuai Al-Qur’an dan sunah agaknya mulai terlihat setahap demi setahap, baik di Indonesia sendiri maupun di beberapa bagian dari umat Islam di luar negeri.
Di dalam sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya (1993), wakil ketua PP Muhammadiyah, M. Amien Rais, melontarkan konsep “Suksesi 1998: Suatu Keharusan”.
Pandangan ini dianggap cukup berani, karena saat itu Soeharto masih kuat berkuasa dan memimpin rezim Orde Baru. Dengan pemikiran ini, Muhammadiyah dipandang mulai memasuki wilayah politik praktik.
Kecenderungan Muhammadiyah untuk terlibat dalam dunia politik sebenarnya telah menjadi pembicaraan serius sejak 1918, lima tahun sebelum Ahmad Dahlan meninggal dunia (w. 23 Februari 1923).
Saat itu muncul dualisme gagasan dalam rapat tahunan (algemeene vergadering) istilah ini diganti menjadi kongres pada 1924, lalu istilah kongres diganti lagi menjadi muktamar, dan waktu pelaksanaan rapat tersebut berubah menjadi tiga tahun sekali–kemudian berubah lagi menjadi lima tahun sekali pada Muktamar-nya ke-40 di Surabaya (1978).
Dua gagasan itu adalah bahwa Mu-hammadiyah sebaiknya menjadi organisasi politik. Gagasan pertama ini diwakili Agus Salim yang menandatangani Piagam Jakarta; dan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan.
Gagasan kedua ini diwakili Ahmad Dahlan sendiri. Sekalipun ditetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik, tapi gagasan dan gerak pembaruannya berimplikasi kuat dan nyata dalam dunia politik Indonesia.
Perilaku dan langkah politik Muhammadiyah juga muncul pada awal persiapan kemerdekaan (1945). Saat itu, Muhammadiyah mendukung Islam sebagai dasar negara.
Bahkan pada Pemilu 1955 Muhammadiyah menjadi anggota istimewa Masyumi–partai politik Islam yang menampung kalangan modernis. Pada awal masa Orde Baru Muhammadiyah membidani lahirnya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), menerima Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara, dan memperbolehkan para elitenya tersebar ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Gerak dan aksi Muhammadiyah semakin cenderung ke wilayah politik sejak Muktamar ke-43 di Aceh (1995) dengan terpilihnya ketua umum M. Amien Rais.
Muhammadiyah tampaknya terlibat dalam “romantisme politik praktik” yang pernah dialaminya pada Pemilu 1955. Bahkan ketika kekuasaan rezim Orde Baru runtuh, pimpinan puncak Muhammadiyah, Amien Rais, mengundang anggota PP Muhammadiyah dan ketua-ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammad seluruh Indonesia.
Pada saat itu Amien Rais menjelaskan rencana pendeklarasian sebuah partai politik. Dalam kesempatan itu juga Amien Rais sekaligus mengundang elite-elite pimpinan Muhammadiyah untuk menghadiri deklarasi Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpinnya. Karena kesibukannya di dalam partai politik Amien Rais mengundurkan diri dari kursi kepemimpinan Muhammadiyah.
Pucuk pimpinan Muhammadiyah dijabat A. Syafii Ma’arif yang kemudian terpilih sebagai ketua PP Muhammadiyah dalam Muktamar ke-44 di Jakarta pada 2000. Syafii pun memimpin Muhammadiyah untuk periode 2000–2005.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah terlibat juga di beberapa partai politik, antara lain mereka aktif di PPP, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), Partai Ummat Islam (PUI), dan partai-partai Islam kalangan modernis lainnya.
Keterlibatan tidak langsung Muhammadiyah dalam politik praktis melalui para tokoh dan anggotanya merupakan “ij-tihad politik” pribadi-pribadi mereka sendiri. Pada akhirnya Muhammadiyah sebagai organisasi tidak terlibat langsung dalam politik sehari-hari atau politik praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan. Bandung: Rosdakarya, 1999.
Fakhruddin, Abdurrazak. Pedoman Anggota Muhammadiyah. Yogyakarta: Persatuan, 1968.
Hadikusumo, Djarnawi. Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin al-Afghani sampai K.H. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Persatuan, t.t.
Jainuri, A. Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa Pada Awal Abad Keduapuluh. Surabaya: Bina Ilmu, 1981.
Mulkhan, Abdul Munir. Menggugat Muhammadiyah. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000.
Najib, Muhammad. Ijtihad Politik Poros Tengah dan Dinamika Partai Amanat Nasional. Jakarta: Serambi, 2000.
Nashir, Haedar. Perilaku Politik Elit Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang, 2000.
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat. Muhammadiyah dari Masa ke Masa di Minangkabau (Sumatera Barat). Padang: t.p., 1991.
Puar, Yusuf Abdullah. Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Antara, 1989.
Sairin, Weinata. Gerakan Pembaruan Muhammadiyah. Jakarta: Sinar Harapan, 1995.
Salam, M. Yunus. Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya. Jakarta: PP Muhammadiyah, 1968.
Shihab, Alwi. Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Pentrasi Misi Kristen di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.
Sukrianta, AR dan Abdul Munir Mulkan. Perkembangan Pemikiran Muhammadi-yah dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985.
Syaifullah. Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.
NASRUN HAROEN dan IDRIS THAHA