Muawiyah bin Abu Sufyan (lengkap: Mu‘awiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayah bin Abdi Syam bin Manaf) adalah bangsawan Quraisy, pendiri dan khalifah pertama Dinasti Umayah (41 H/661 M–61 H/680 M).
Sebagai keturunan Abdi Manaf, Mu‘awiyah mempunyai hubungan keluarga dengan Nabi SAW. Mu‘awiyah yang lahir di zaman Jahiliah menganut Islam bersama tokoh Quraisy lain pada hari penaklukan Mekah 629.
Karier politik Mu‘awiyah bin Abu Sufyan dimulai ketika ia diangkat oleh al-Khulafa’ ar-Rasyidin (empat khalifah besar) sebagai panglima pasukan angkatan perang (632–661). Ia ditugaskan untuk merebut wilayah Palestina, Suriah, dan Mesir dari tangan orang Romawi yang menguasai kawasan itu sejak 63 SM.
Mu‘awiyah agak terlambat memeluk Islam, bahkan termasuk salah seorang yang pernah melakukan banyak kekejaman terhadap orang Islam. Akan tetapi, prestasi yang dicapainya setelah memeluk Islam membuat umat Islam ketika itu melupakan hal yang pernah dilakukannya sebelum memeluk agama Islam.
Ambisi politiknya sudah terlihat ketika ia baru saja masuk Islam. Ia selalu bersaing dengan pamannya, Hasyim. Wibawanya di mata kaum Quraisy memang tidak pernah rendah. Selain keturunan bangsawan, ia juga kaya dan mempunyai pengaruh luas di dalam masyarakat. Atas dasar itulah, ia merasa pantas menjadi pemimpin dalam dunia Islam.
Mu‘awiyah mendirikan Dinasti Umayah pada 41 H/662 M di Damascus. Dengan berdirinya pusat pemerintahan Islam yang baru tersebut berarti bergeserlah pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Damascus.
Perpindahan ibukota tersebut terjadi melalui proses yang panjang dengan didukung strategi politik yang dibangun Mu‘awiyah. Mu‘awiyah memperoleh pengalaman politik dalam masa yang cukup lama, yakni mulai masa Rasulullah SAW sampai masa khalifah yang terakhir, Ali bin Abi Thalib.
Selama masa kekuasaannya, ia mencapai banyak keberhasilan, terutama penaklukan sejumlah kota penting di kawasan Asia Tengah, seperti Kabul, Herat, dan Ghazna. Dalam bidang pemerintahan, ia mendirikan beberapa departemen yang mengurus masalah kepentingan umat, seperti pela yanan pos, pembagian tugas pemerintahan pusat dan daerah, pemungutan pajak, dan pengangkatan gubernur di daerah.
Pengangkatan dirinya sebagai pemegang pucuk pemerintahan berlangsung melalui proses yang panjang; bermula dari terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan dan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Semula Mu‘awiyah mempunyai ambisi untuk menggantikan Usman, tetapi gagal karena Ali telah dibaiat.
Meskipun demikian, Mu‘awiyah tidak kehabisan akal dalam merongrong pemerintahan khalifah keempat ini. Ia menuntut bela atas kematian Usman, tetapi Ali tidak segera mengindahkan seruannya.
Di samping itu, kebijakan Ali yang terlalu cepat memecat gubernur dan pejabat pemerintah yang diangkat Usman serta pengambilalihan tanah dan kekayaan negara yang telah dibagi-bagikan Usman kepada keluarganya mengakibatkan meletusnya suatu pertempuran dahsyat yang dikenal dalam sejarah dengan Perang Siffin.
Ketika Ali sudah hampir memenangkan peperangan tersebut, Mu‘awiyah bersama kelompoknya mengusulkan gencatan senjata dan menyelesaikan persoalan dengan tahkim (menggunakan hakim).
Tahkim antara pihak Ali dan pihak Mu‘awiyah dilangsungkan dengan masing-masing pihak mengirim utusannya. Pihak Ali diwakili Abu Musa al-Asy’ari, sedangkan pihak Mu‘awiyah diwakili Amr bin As.
Perundingan kedua hakim ini dimenangkan Amr bin As dengan licik. Pihak Ali tidak menyetujui cara yang dilakukan pihak Mu‘awiyah sehingga peperangan antara keduanya meletus lagi.
Semenjak terjadinya peristiwa tahkim itu, sebagian pasukan Ali memisahkan diri karena tidak setuju dengan tahkim tersebut. Kelompok yang memisahkan diri ini menamakan dirinya kelompok Khawarij. Sebaliknya, tentara Mu‘awiyah masih kuat karena tetap utuh.
Akhirnya kemenangan jatuh di tangan Mu‘awiyah, terutama karena kematian Ali di tangan salah seorang kaum Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada 24 Januari 661. Mu‘awiyah menggunakan kesempatan itu untuk menyusun strategi dengan baik dalam rangka mengambil alih kekosongan pemerintahan.
Semula ada upaya dari pihak Hasan, putra Ali, untuk menuntut balas kematian ayahnya. Selain itu, ada yang mengusulkan supaya Hasan menggantikan posisi ayahnya. Akan tetapi, Hasan menyangsikan kemampuan diri dan kekuatan yang dimilikinya, sehingga pada akhirnya ia bersedia mengakui Mu‘awiyah sebagai khalifah dengan syarat sebagai berikut:
(1) Mu‘awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorang pun dari penduduk Irak (karena sebelumnya penduduk Irak adalah pendukung Ali bin Abi Thalib dan merupakan orang-orang yang membaiat Hasan sebagai khalifah);
(2) Mu‘awiyah menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan mereka;
(3) pajak tanah negeri Ahwaz (sekarang kota di Provinsi Khuzistan, Iran) diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun;
(4) Mu‘awiyah membayar kepada saudaranya, Husein, dua juta dirham; dan
(5) pemberian untuk Bani Hasyim harus lebih banyak daripada Bani Abdi Syam (karena jasanya terhadap Islam dan mereka lebih dahulu masuk Islam).
Bagi Mu‘awiyah semua persyaratan tersebut tidak menjadi masalah. Yang penting baginya adalah Hasan mengakuinya sebagai khalifah. Hasan dan Husein bersama penduduk Kufah membaiat Mu‘awiyah sebagai khalifah ketika Mu’awiyah berkunjung ke sana pada Rabiulawal 41. Karenanya tahun tersebut dalam sejarah Islam dikenal dengan “tahun persatuan”.
Dengan berdirinya Dinasti Umayah, sistem politik dan pemerintahan berubah. Pemilihan khalifah tidak lagi dilakukan secara musyawarah sebagaimana proses pergantian khalifah sebelumnya. Suksesi pemerintahan dilakukan secara turun-temurun tanpa melalui pemilihan.
Seorang khalifah tidak lagi harus sekaligus pemimpin agama sebagaimana khalifah sebelumnya. Urusan agama diserahkan kepada ulama. Ulama hanya dilibatkan dalam pemerintahan jika dipandang perlu oleh khalifah.
Meskipun demikian, peranan Mu‘awiyah dalam menyebarluaskan Islam cukup besar. Pada masa pemerintahannya banyak daerah yang dikuasai umat Islam. Daerah penting yang ditaklukkan Mu‘awiyah antara lain adalah Turki dan Armenia. Kedua daerah ini berada di bawah kekuasaan Bizantium.
Selanjutnya pasukan Mu‘awiyah mengambil alih Laut Tengah dengan kekuatan armadanya yang tidak tertandingi pada waktu itu. Dengan armada tersebut pasukan Mu‘awiyah dapat menguasai pulau di sekitar Arkhabil (Archipel) yang terletak antara Yunani, Turki, dan Pulau Kreta, dan berani menantang kekuatan Bizantium.
Tidak puas dengan penyerbuan di wilayah timur ini, pasukan Bani Umayah ini mengalihkan penaklukannya ke arah barat dan berhasil menguasai Afrika Utara, Andalusia, bahkan sampai ke Perancis pada masa berikutnya.
Selain menambah daerah taklukan, Mu‘awiyah berjasa pula dalam mengembangkan wawasan berpikir umat Islam. Umat Islam memperoleh banyak tambahan pengetahuan dari daerah-daerah yang direbut, terutama dari kota penting, antara lain pengetahuan filsafat dan ilmu hitung.
Untuk memelihara keutuhan dan mencegah perpecahan umat Islam karena suksesi kepemimpinan, sebagaimana yang pernah ia saksikan pada masa beberapa khalifah sebelumnya, Mu‘awiyah mencalonkan putranya, Yazid, sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya jika ia meninggal.
Pencalonan tersebut dilakukannya pada 679. Untuk mengamankan pencalonan itu, Mu‘awiyah melakukan berbagai pendekatan kepada para pemuka masyarakat hingga seluruh lapisan masyarakat.
Rencana Mu‘awiyah tersebut mendapat tantangan dari beberapa pihak, terutama pemuka-pemuka masyarakat Hijaz, seperti Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abi Bakar, Husein bin Ali, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Abbas.
Penolakan mereka didasari atas suatu keinginan agar khalifah yang diangkat tidak melalui penunjukan, melainkan dengan musyawarah sebagaimana yang pernah dipraktekkan khalifah sebelumnya. Sementara itu ada pula tokoh masyarakat yang tidak berani menolak usul Mu‘awiyah, misalnya al-Mugirah dan Ziyad dari daerah Kufah dan Basrah.
Tokoh masyarakat yang dekat dengan Mu‘awiyah tetap mempunyai pandangan yang lebih luas. Mereka menasihati Mu‘awiyah agar tidak tergesa-gesa menunjuk Yazid sebagai putra mahkota dengan pertimbangan bahwa Yazid memiliki sifat tidak serius dan menganggap remeh semua urusan.
Tokoh yang berpandangan seperti ini antara lain Ziyad bin Abihi. Selain tidak serius, Yazid juga mempunyai akhlak yang tidak terpuji, zalim, suka bermabuk-mabukan, pemboros, dan ibadahnya tidak terpelihara.
Upaya Mu‘awiyah untuk menghadapi para penentang usulnya adalah dengan mendekati para penentang tersebut satu per satu, agar mereka bersedia menerima gagasannya. Sebagian usahanya itu berhasil sekalipun dengan cara menakut-nakuti beberapa orang penentang tersebut.
Setelah Mu‘awiyah wafat, pembaiatan terhadap Yazid diulangi lagi. Setelah dibaiat, Yazid menginstruksikan gubernur yang diangkatnya supaya memberikan tindakan tegas terhadap para penentangnya.
Daftar Pustaka
Baihaqi, Muhammad bin Salim. al-Asyi’ah al-Anwar ‘Ala Maruyat al-Akhbar. Cairo: al-Madani, t.t.
Goldschmidt, Arthur Jr. A Concise History of the Middle East. Cairo: Westview Press, 1983.
Hodgson, Marshal G.S. The Venture of Islam. Chicago: Chicago University Press, 1974.
Muhammadunnasir, Syed. Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, terj. Adang Affandi. Bandung: CV Rosda, 1988.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Mukhtar Yahya. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1990.
Nasaruddin Umar