Moor

Moor dalam bahasa Inggris digunakan untuk orang Maroko atau orang muslim di Spanyol, yang terdiri atas campuran Arab, Spanyol, dan Barbar, yang membentuk peradaban Andalusia dan kemudian bermukim di Afrika Utara antara abad ke-11 dan ke-17.

Dalam bahasa Spanyol, moro dikaitkan dengan orang muslim pada umumnya, seperti di Sri Lanka dan Filipina. Istilah itu berasal dari bahasa Latin (Mauri), yang digunakan untuk penduduk propinsi Romawi di Mauritania.

Sampai pada abad ke-19, nama Moor masih digunakan untuk kelompok masyarakat muslim yang mendiami kota tertentu di pantai utara Afrika di sepanjang Laut Tengah, karena pada umumnya mereka adalah keturunan imigran dari Spanyol, yang lari ke Afrika utara setelah pengusiran­ besar-besaran terhadap umat Islam oleh pa­ra penguasa Spanyol. Pengusiran itu mencapai puncaknya pada 1610.

Para penulis Eropa menggunakan nama Moor untuk orang Arab-Barbar yang tinggal di sepanjang pantai Laut Tengah dan di sekitar Sahara Afrika. Kemudian secara perlahan, mereka membatasi penggunaan nama tersebut hanya untuk orang Islam­ di Afrika utara, terutama mereka yang hidup sebagai nomad di Sahara Barat.

Orang Arab-Barbar yang beragama Islam dan hidup sebagai nomad di Sahara Barat, yang oleh orang Eropa disebut bangsa Moor, pada abad ke-9 mencapai suatu daerah pemukiman Negro, yang kini disebut Mauritania. Mereka pada umumnya merupakan kelompok suku Sanhaja yang terdiri dari puak Lemtuna, Gudala, dan Bani Waret.

Konfederasi tiga puak di bawah pimpinan Tilutan, kepala­ puak Lemtuna, itu mampu mengalahkan kekuatan­ Negro di bawah kekuasaan suku Takrur yang berpusat di Ghana. Dua puluh kepala suku Negro menyatakan tunduk pada orang Sanhaja dengan­ memberikan upeti secara rutin.

Kekuatan orang Sanhaja dipusatkan di Azugi, kira-kira 40 mil di sebelah timur laut kota Kiffa (Mauritania), tetapi pada umumnya orang Sanhaja bermukim di Audaghost, pusat transit perdagangan­ Sahara, yang kini diperkirakan­ berada dekat Tamchaket, Mauritania.

Kekuasaan mereka berlangsung amat singkat. Tahun 919 konfederasi puak Moor itu pecah, sehingga dengan­ mudah dikalahkan orang Negro. Kekuatan Negro yang berpusat di Ghana segera dapat memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Audaghost.

Memasuki abad ke-11 (1020), orang Sanhaja kembali mengadakan konfederasi. Tarsina, pemim­pin puak Lemtuna,­ mencoba mendekati para pemimpin puak lainnya untuk bersatu kembali seperti pada masa kepemimpinan Tilutan. Upaya tersebut berhasil, dan Tarsina diserahi tugas me­mimpin persekutuan tersebut.

Dalam kedudukannya sebagai kepala persekutuan,­ Tarsina mencanangkan program untuk mengislamkan­ orang Negro. Maka sepulangnya dari ta­nah suci Mekah 1023, ia bersama pasukannya­ melakukan perang suci. Namun ia tewas dalam peperangan tersebut, dan kepemimpinan­ konfederasi San-haja diserahkan kepada Yahya bin Ibrahim dari puak Gudala.

Sebagaimana Tarsina, Yahya berangkat ke tanah­ suci melaksanakan ibadah haji. Pada waktu pulang ia membawa serta seorang ulama dari Maroko bernama Abdullah bin Yasin untuk meng­ajar saudaranya yang belum mengerti aga­ma Islam.

Pada awalnya ajaran Abdullah bin Yasin amat dipatuhi orang Sanhaja, tetapi lama-lama ajaran­ itu menimbulkan kesulitan bagi kehidupan mereka­ yang masih punya tradisi nomad, sehingga mereka berontak. Abdullah bersama para pengikut setianya kemudian mengungsi ke sebuah pulau dan mendirikan bangunan di dalam benteng pertahanan­.

Bangunan serupa dalam bahasa mereka disebut ribath. Dalam benteng itu, Abdullah mengajar para pengikutnya yang kian lama kian banyak. Merekalah­ yang kemudian menjadi kelompok al-Murabitun­ dan menjadi suatu kekuatan politik setelah mereka bergabung kembali dengan kekuatan Yahya bin Ibrahim.

Bersama-sama dengan Yahya bin Ibrahim, Abdullah bin Yasin melakukan serangan ke arah Sa­hara Barat. Mereka berhasil kembali menguasai daerah tersebut, bahkan sampai ke Senegal. Tetapi Yahya bin Ibrahim tewas dalam serangan tersebut (1050). Ia kemudian digantikan Yahya bin Umar dari puak Lemtuna.

Yahya bin Umar, bersama-sama dengan Abdullah bin Yasin, kemudian melakukan serangkaian ekspedisi. Ia memimpin ekspedisi ke Adrar (Aljazair), pusat pergerakan suku Takrur (Negro), sementara­ Abdullah bin Yasin memimpin ekspedisi ke pusat puak Barghawata di Afrika utara.

Tetapi keduanya tewas dalam serangan tersebut. Pimpin­an al-Murabitun kemudian dipegang oleh Abu Bakar­ bin Umar (w. 1080), saudara Yahya bin Umar. Akan tetapi, melihat bahwa keponakannya yang bernama Yusuf bin Tasyfin mempunyai ambisi yang cukup besar, Abu Bakar menyerahkan sepenuhnya­ ekspedisi ke arah utara kepada keponakannya itu.

Sementara itu Abu Bakar sendiri menjadi penguasa­ di bagian selatan. Ia berhasil menguasai Ghana dan menyebarkan­ Islam sampai ke Nigeria. Tetapi dia tewas tahun 1080 dalam serangan ke Tagant. Kematiannya menimbulkan perpecahan kembali dalam konfederasi Sanhaja.

Dengan hilangnya kekuatan Sanhaja, pendukung­ utama gerakan al-Murabitun yang amat di­pengaruhi ide Abdullah bin Yasin, berakhirlah kekuasaan Islam tradisional tersebut. Kekuasaan Islam di Mauritania muncul kembali pada abad ke-14, dipelopori bangsa Barbar dari puak Tashumsha.

Mereka mewarisi perjuangan al-Murabitun,­ tetapi setelah memperoleh berbagai kemenangan,­ mereka dapat dipukul kembali oleh kekuatan­ Negro, bahkan seluruh wilayah Mauritania dapat dikuasai orang Negro.

Konflik antara Negro dan Moor terus berlangsung­ selama beberapa abad, dan kedua kekuatan itu terus silih berganti berkuasa sampai abad ke-17, saat kedatangan para amir dari tanah Arab, yang menguasai Mauritania hingga abad ke-19.

Setelah itu mereka berhadapan dengan kekuatan Eropa, yang mulai menjarah Mauritania untuk kepentingan­ dagang. Para penguasa dari tanah Arab itu di­usir secara total oleh orang Eropa yang jauh lebih maju. Perancis mengusai Mauritania hingga awal abad ke-20, baik dalam bidang perdagangan maupun politik.

Daftar Pustaka

Brockelman, Carl. History of the Islamic Peoples. London: Routledge and Kegan Paul, 1980.
Dozy, Reinhart. Spanish Islam: A History of Moslems in Spain, terj. Francis Griffin Stokes. London: Darf Publishers Limited, 1988.
von Grunebaum, Gustave E. Classical Islam: A History 600–1258. London: George Allen and Unwin Ltd., 1970.
Saunders, J.J. A History of Medieval Islam. London: Routledge and Kegan Paul, 1980.

Dede Rosyada