adalah seorang terpelajar dan tokoh nasional tiga zaman: penjajahan Belanda, Jepang, dan Indonesia merdeka. Ia juga pemimpin, politikus, pendidik, dan perunding, yang mengikuti perundingan penting, antara lain Perundingan Renville, Persetujuan Roem-Royen, dan Konferensi Meja Bundar.
Roem adalah anak keenam dari tujuh bersaudara dari pasangan Siti Tarbiyah dan Dulkarnaen Jayasasmito seorang lurah Klewogan. Roem menikah dengan Markisah Dahlia di Malang, Jawa Timur, pada 11 Juni 1932. Mereka dikaruniai dua anak: Roemoso dan Rumeisa.
Nurcholish Madjid (cendekiawan muslim Indonesia) mengatakan bahwa Roem adalah orang yang paling berjasa di urutan ketiga setelah Soekarno (proklamator, presiden pertama Indonesia; 1901–1970) dan Mohammad Hatta (negarawan, proklamator, wakil presiden pertama Indonesia; 1902–1980).
Ia berperan sebagai ketua delegasi Indonesia dalam Persetujuan Roem-Royen (7 Mei 1949) yang membuka jalan ke Konferensi Meja Bundar (KMB), dan kemudian menghasilkan kedaulatan resmi bagi Indonesia pada 27 Desember 1949. Ia masuk dalam deretan para pahlawan nasional.
Roem memulai pendidikannya dari Volkschool (semacam Sekolah Rakyat/Dasar), Hollandsche Indandsche School (HIS), STOVIA Jakarta, Algemene Middelbare School (AMS), Geneeskundige Hoge School (GHS), dan Rechts Hoge School (RHS). Dari lembaga pendidikan terakhir inilah Roem memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr) pada 1939.
Ia seorang aktivis dalam organisasi kepemudaan, ke agamaan, dan politik, misalnya Jong Java, Jong Islamieten Bond (JIB), dan Nationale Indonesische Padvinderij (Natipij, Kepanduan Nasional Indonesia).
Bersama Jusuf Wibisono dan kawan-kawannya, ia mendirikan Studenten Islam Studie Club, dan menjadi ketuanya. Ketika organisasi kemahasiswaan ini menerbitkan majalah Muslimche Reveille, ia menjadi anggota dewan redaksinya.
Untuk mengembangkan ilmu hukum yang diperolehnya di RHS, ia membuka kantor advokat dan procereue dengan papan nama “Mr. Mohamad Roem” di Jakarta. Ia juga menjadi pengacara pada Rumah Piatu Muslim di Jakarta dan Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di Purwokerto.
Di dalam dunia politik, ia aktif dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Karena terjadi kemelut dalam partai ini, ia bersama Haji Agus Salim (pejuang kemerdekaan Indonesia; 1884–1954) mendirikan Partai Penyadar. Dalam partai baru ini, ia menjadi ketua Komite Central Executif (Lajnah Tanfidziyah).
Ia juga pernah menjadi ketua muda Hizbullah Jakarta. Pada masa kemerdekaan, ia menduduki berbagai jabatan penting, antara lain ketua KNIP Jakarta (1945), menteri Dalam Negeri (1946–1948), delegasi Indonesia dalam Persetujuan KMB (1949), anggota Pimpinan Pusat Masyumi (1950), menteri Luar Negeri (1950–1951), wakil perdana menteri (1956–1957), wakil ketua Masyumi (1958–1960), dan ketua umum Parmusi (1968).
Selama aktif pada partai politik Islam, Masyumi, ia pernah tiga kali menjabat sebagai menteri Dalam Negeri (dalam Kabinet Sjahrir III dan Kabinet Amir Syarifuddin), pernah menjadi wakil perdana menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo, kabinet pertama setelah pemilu 1955.
Roem lebih dikenal sebagai mantan menteri Luar Negeri, walaupun ia memangku jabatan ini hanya sekali pada masa Kabinet M. Natsir. Ia pernah menjadi menteri pertepel (portofolio) dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) di bawah pimpinan Perdana Menteri Mohammad Hatta.
Roem adalah seorang diplomat ulung. Banyak pertemuan dan perundingan penting yang diikutinya, baik berskala nasional maupun internasional, antara lain penandatanganan Perundingan Renville (17 Januari 1948), Persetujuan Roem-Royen (14 April 1949), KMB di Den Haag, Belanda (2 November 1949), Conference for Moeslim and Christian Cooperation di Iskandariah, Mesir (1955), dan berbagai perjalanan penting ke beberapa negara.
Di dunia pendidikan, ia pernah menjadi rektor Universitas Islam Sumatera Utara (1953–1956) dan wakil ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta (1971) setelah keluar dari tahanan politik.
Sejak Partai Masyumi dibubarkan pada 17 Agustus 1960, Roem tidak aktif lagi di pemerintahan. Namun, ia masih menghadiri dan memberikan ceramah pada beberapa pertemuan ilmiah internasional. Ia juga menjadi anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami (1975) dan aktif sebagai tokoh Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Roem adalah seorang penulis produktif, yang banyak mewariskan beberapa buku penting, antara lain Bunga Rampai dari Sejarah (4 jilid), Diplomasi: Ujung Tombang Perjuangan RI, dan Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid–Mohamad Roem.
Dalam salah satu tulisannya, Roem membuat catatan pribadi tentang beberapa perundingan dengan Belanda yang diikutinya. Ia mengakui, bahwa pada setiap perundingan yang akan atau sedang berlangsung memang selalu ada pro dan kontra di tengah masyarakat.
Menurut Roem, hal itu bisa dimaklumi, karena banyak pendapat yang timbul, tergantung pada sisi mana perundingan itu dilihat. Ia menyadari bahwa tidak sedikit yang tidak sepakat dengan Persetujuan Roem-Royen yang pernah dilakukannya.
Menurut Roem, seusai perundingan di KMB yang membawa penyerahan dan pengakuan kedaulatan Indonesia, negara-negara di dunia seolah-olah berlomba mengakui Indonesia. Dengan pengakuan itu, dirasakan perlunya formulasi politik luar negeri, lebih-lebih PBB telah menerima Indonesia sebagai anggotanya.
Formulasi politik luar negeri itu adalah, seperti disebut Roem, “politik bebas tidak tanpa batas dan aktif tidak immoral”. Pemikiran ini membuktikan bahwa Roem termasuk tokoh yang turut memberi corak politik luar negeri bebas dan aktif.
Roem juga berbicara mengenai masalah politik Islam. Ia, misalnya, membenarkan pendapat Amien Rais yang menyatakan bahwa tidak ada negara Islam dalam sunah Rasulullah SAW. Juga, istilah itu tidak ditemukan dalam anggaran dasar Masyumi sebagai partai politik Islam.
Bagi Roem, pandangan Amien Rais tidak hanya benar, tapi juga bijaksana. Roem menganjurkan, agar istilah itu tidak dipakai di Indonesia, karena banyak yang tidak menyukainya, bahkan alergi mendengarnya. Roem sebenarnya tidak pernah mengecek atau membaca teks Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW mengenai kebenaran tidak adanya negara Islam.
Namun, ia menegaskan, bahwa adalah perbuatan sia-sia kalau istilah itu dicari di dalam sunah Nabi SAW, yang jumlahnya sangat banyak. Nabi SAW memang menyusun dan memimpin masyarakat Islam di Yatsrib (Madinah), dan kemudian mempersatukannya dengan Mekah, yang pada hakikatnya adalah suatu negara.
Namun, Nabi SAW sendiri tidak menyebutnya dengan nama negara Islam. Negara yang dipimpin Nabi SAW sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara, tetapi Nabi SAW tidak memberinya nama negara Islam. Roem mengakui, di dunia ini memang pernah ada “negara Islam”, tidak dalam nama, tetapi dalam substansi atau hakikatnya.
Dalam soal perjuangan, Roem menyarankan agar umat Islam di Indonesia mengembangkan dialog berdasarkan niat amar makruf nahi munkar. Dialog ini harus bertujuan untuk ikut berpartisipasi ke arah membangun masyarakat yang adil dan makmur.
Peserta dialog pun tidak hanya terbatas dengan sesama umat Islam. Semua kalangan masyarakat di Indonesia harus dilibatkan dalam dialog tersebut. Mereka membicarakan kepentingan bangsa, bukan hanya kepentingan umat Islam.
Daftar Pustaka
Hatta, Mohammad. Permulaan dan Pergerakan Nasional. Jakarta: Idayu Press, 1977.
Madjid, Nurcholish. Islam Kerakyatan dan Keindonesian. Bandung: Mizan, 1994.
Musthofa, Hadi. “Seluar Cakrawala Pandang Sang Diplomat,” Republika, edisi Jumat, 5 Mei 1995.
Santoso, Agus Edi, ed. Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid–Mohamad Roem. Jakarta: Djambatan, 1997.
Soemarsono, Soemarso. Mohamad Roem 70 Tahun: Pejuang-Perunding. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Roem, Mohamad. Bunga Rampai dari Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Rais, Amien. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, 1987.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993.
Idris Thaha